Lahan Basah; Hunian Manusia Sejak Lama
Lingkungan & Krisis Iklim
November 17, 2024
Jon Afrizal
Kondisi lahan basah di Tahura Orang Kayo Hitam, sebagai buffer zone TN Berbak, Tanjungjabung Timur. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)
LAHAN basah (wetland), telah menjadi hunian manusia Nusantara sejak lama. Ini diketahui dengan banyak situs arkeologi yang ditemukan di lahan basah, dan memiliki karakter peradaban tersendiri.
Lahan basah dikenal sejak adanya Konvensi Ramsar pada tahun 1971 yang dihadiri oleh 18 negara, di Kota Ramsar, Iran. Konvensi Ramsar adalah perjanjian internasional untuk konservasi dan pemanfaatan lahan secara berkelanjutan.
Pemerintah Indonesia pada tahun 1991 telah dirativikasi dengan Keppres nomor 48 tahun 1991 tentang “Pengesahan Convention On Wetlands Of International Importance Especially As Waterfowl Habitat”. Ratifikasi ini menjadi tonggak awal kebijakan perlindungan ekosistem lahan basah.
Saat ini, sebanyak 172 negara telah meratifikasi Konvensi Ramsar.
Sebagai negara yang telah meratifikasi Konvensi Ramsar, maka Indonesia berkewajiban tidak hanya melakukan perlindungan terhadap lokasi lahan basah yang terdaftar dalam Situs Ramsar. Namun juga Pemerintah bisa merencanakan pembangunan untuk memanfaatkan lahan basah di wilayah – wilayah tersebut secara bijaksana.
Menuurt Global Wetland Outlook 2021, dunia telah kehilangan sekitar 64 persen lahan basah sejak tahun 1900, termasuk Indonesia. Penyusutan ini terjadi karena perubahan iklim, meningkatnya populasi, urbanisasi, dan perubahan pola konsumsi.
Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra (OR Arbastra), Herry Yogaswara, mengutip BRIN menyatakan bahwa dari sisi produksi ilmu pengetahuan, luas lahan basah mencapai 20 persen dari daratan Indonesia.
Namun, terdapat hal yang belum tersentuh oleh pemerintah. Wilayah Muaro Jambi dan sekitarnya di Provinsi Jambi, sebagai contoh, dengan ditemukannya berbagai tinggalan di daerah rawa atau daerah gambut yang ada di sana.
“Harus ada perlakuan khusus terhadap tinggalan atau situs-situs yang ada di suatu wilayah tertentu. Pun pengetahuan tentang berbagai arkeologi, termasuk juga temuan dan juga hal-hal yang terkait dengan situs yang ada di daerah lahan basah ini perlu dieksplorasi lebih jauh,” katanya.
Ini dilakukan untuk menjaga keberadaan tinggalan atau situs-situs yang ada di wilayah tersebut, termasuk dari ancaman kebakaran hutan dan lain-lain. Karhutla bukan hanya persoalan bagi Sumatera tetapi juga wilayah-wilayah gambut lainnya, seperti Kalimantan, khususnya Kalimantan Timur dan daerah-daerah lain.
Arkeologi lahan basah, mengutip The Oxford Handbook of Wetland Archaeology: A comprehensive survey of global wetland archaeology, adalah studi tentang situs arkeologi dan bentang alam tempat air memainkan peran penting dalam mengawetkan material. Studi ini melibatkan eksplorasi tentang bagaimana orang-orang di masa lalu berinteraksi dengan lahan basah, dan bukti yang dapat ditemukan di sana.
Lahan basah dapat mengawetkan material arkeologi dengan cara yang luar biasa. Misalnya, beberapa situs, seperti jalur setapak, kolam ikan, dan perahu kayu, hanya ditemukan di lahan basah.
Situs lain, seperti pemukiman, lebih tersebar luas tetapi lebih terpelihara di lahan basah.
Lahan basah terjadi dimana air bertemu dengan tanah. Contohnya adalah kawasan bakau, lahan gambut, rawa-rawa, sungai, danau, delta, daerah dataran banjir, sawah, dan terumbu karang. Jadi, lokasinya bisa di mana saja, misalnya di setiap zona iklim, kutub sampai tropis, dan dari dataran tinggi sampai dataran rendah.
Meskipun hanya meliputi 6 persen permukaan bumi, tetapi peranannya seperti urat nadi bagi seluruh bentang alam. Kekayaan alamnya yang besar dan penting untuk kehidupan.
Lahan basah berfungsi sebagai sumber dan pemurni air, pelindung pantai dan daratan, penyimpan karbon terbesar, serta menyimpan kekayaan keanekaragaman hayati dan keindahan alam. Selain itu juga penting bagi pertanian dan perikanan serta potensi pemanfaatan lainnya.
Lokasi lahan basah yang dilindungi oleh Konvensi Ramsar disebut dengan Situs Ramsar. Mengacu pada situs resmi Ramsar, terdapat 2.503 situs yang mencakup luasan 257.182.372 hektare.
Mengutip menlhk, Indonesia memliki lahan basah seluas 40,5 juta hektar. Dari jumlah tersebut, tercatat seluas 1,37 juta hektare lahan basah yang masuk ke dalam situs Ramsar di Indonesia. Yakni mencakup tujuh kawasan taman nasional (TN).
Ketujuh TN itu adalah; TN Berbak (141.261,94 hektare), TN Sembilang (202.896,31 hektare), TN Danau Sentarum (130.000 hektare), TN Wasur (431.425,12 hektare), TN Rawa Aopa Watumoha (105.194 hektare), Suaka Margasatwa Pulau Rambut (90 hekatre), dan TN Tanjung Putting (415.040 hektare).
Selain ketujuh kawasan tersebut, Indonesia masih memproses dan melengkapi dokumen dan persyaratan-persyaratan pada kawasan lahan basah yang tersebar di Indonesia untuk menjadi Situs Ramsar.*