Belanda Masuk Hutan

Hak Asasi Manusia

October 7, 2024

Jon Afrizal*

Keluarga indigenous people Batin Sembilan di Sungai Batang Meranti, Musi Banyuasin. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)

Hidup adalah pilihan. Dan, Peter Van Kan memilih untuk meninggalkan kehidupan sosialnya, dan masuk hutan untuk tinggal bersama sub kelompok indigenous people Batin Sembilan.

KAWASAN hutan yang berada di wilayah Provinsi Jambi – Sumatera Selatan, yang disebut Hutan Harapan menyimpan banyak misteri. Misteri yang tidak hanya tentang alam dan metafisika saja, tetapi juga tentang sebuah nama: Peter Van Kan.

Adalah Ferina Istiani, seorang warga Indonesia yang bertempat tinggal di Netherland yang memposting tentang berita “Orang Hilang” di akun Facebook-nya pada 26 November 2009. Orang yang dicari itu bernama Peter Van Kan, seorang kebangsaan Belanda berkewarganegaraan Indonesia. Peter adalah kerabatnya.

Peter, katanya, hilang di kawasan hutan Bentayan yang kini berada di Kabupaten Musi Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan, pada tahun 1964 lalu.

Saat itu, katanya, Peter dan beberapa temannya tengah berburu satwa liar di sana.

Tetapi, seluruh temannya dan juga kendaraan yang mereka tumpangi kembali pulang ke Kota Palembang Provinsi Sumatera Selatan. Sementara Peter, tidak kembali.

Ketika aku hubungi, Ferina mengatakan, pada tahun 2009 itu Peter berusia 69 tahun. Berdasarkan informasi awal, katanya, Peter telah memilih untuk meninggalkan dunia nyata, dan bergabung dengan Suku Batin Sembilan, dan berganti nama menjadi Mat Liar.

“Semua ini berawal dari perkataan seorang cenayang di Netherland kepada Helga Van Kan, saudara perempuan Peter,” kata Ferina.

Menurut Ferina, cenayang itu berkata kepada Helga bahwa Peter masih hidup. Lalu informasi demi informasi dikumpulkan. Tetapi hingga kini, masih tetap menjadi misteri.

Sungai Batang Kapas, Musi Banyuasin. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)

Aku pun pernah ikut dalam sebuah sesi liputan untuk mencari keberadaan rombong (kelompok) Mat Liar ini di kitaran 2014. Bersama NGO Burung Indonesia dan Warsi, kami melakukan empat hari pencarian di sepanjang aliran Sungai Batang Kapas di Kabupaten Musi Banyuasin. 

Kami sempat berhenti sejenak di kawasan Rumah Tinggi. Sebuah kawasan sakral dan menjadi tempat persinggahan bagi indigeneous people Batin Sembilan jika bergerak dari Jambi ke Sumatera Selatan, ataupun sebaliknya. 

Tetapi, empat hari perjalanan liputan itu tidak membuahkan hasil. Kami tidak berhasil menemukan kelompok mereka.

Sesuai namanya, ia memang susah dicari. Kata “liar” dalam kazanah Melayu sama artinya dengan sesuatu yang sukar untuk ditangkap. Semisal burung, atau hewan yang tidak dapat dengan mudah untuk masuk jerat atau perangkap yang dibuat warga.

Adalah Mat Taufik, seorang yang bertempat tinggal di tepian Sungai Kapas. Ia adalah jenang, yakni sejenis penghubung antara Rombong Mat Liar dengan kelompok Suku Batin Sembilan lainnya yang telah memilih untuk tinggal menetap.

Mat Taufik memiliki sebuah cangkang kura-kura. Cangkang ini, katanya, biasa digunakan sebagai alat untuk memanggil rombong ini, dengan cara memukul cangkang yang mengeluarkan bunyi yang keras dan “bernada” sesuai pemahaman Suku Batin Sembilan.

“Itu dulu, tapi sekarang mereka tidak mau lagi untuk dipanggil. Entah mengapa, saya juga tidak mengerti,” katanya.

Di lingkungan penduduk Melayu di sekitar kawasan yang kini disebut Suaka Margasatwa Bentayan yang luasannya 19.300 hektare itu, memang beredar kisah tentang seorang Belanda yang memilih untuk hidup bergabung dengan Suku Batin Sembilan.

Tetapi, Suku Batin Sembilan sendiri adalah masyarakat peburu dan meramu. Mereka hidup berpindah-pindah dari satu areal tutupan hutan ke hutan lainnya di kawasan itu.

Aku bertemu dengaan seorang anggota Suku Batin Sembilan yang pada saat itu bertempat tinggal di pinggiran Sungai Meranti di Kabupaten Musi Banyuasin di kawasan Hutan Harapan, Mat Attam, namanya.

Mat Attam mengatakan masih satu keluarga dengan Mat Liar. Ia berasal dari Muaro Bahar, atau di kawasan di sekitar tempat Peter dinyatakan hilang.

Mat Attam sendiri kulitnya berwarna putih pucat dan berperawakan tinggi di atas rata-rata warga Suku Batin Sembilan pada umumnya. Begitu pula dengan anak lelakinya, Mat Rinah, hanya saja kulitnya cenderung gelap dan cenderung sawo matang.

Isteri Mat Attam adalah Induk Seri, seorang warga Suku Batin Sembilan. Dengan perawakan umumnya warga indigenous people itu. Yakni memiliki tinggi badan sekitar 150 centimeter hingga 160 centimeter. 

Sedangkan Mat Attam dan Mat Rinah memiliki tinggi badan sekitar 180 centimeter. Sementara Peter sendiri, berdasarkan penuturan keluarganya, tingginya sekitar 190 centimeter.

Seorang kerabat mereka di kawasan Sungai Bahar Kabupaten Muarojambi Provinsi Jambi, Mat Tanding mengatakan hidup di hutan adalah pilihan kelompok itu. Sebab, katanya, mereka beranggapan “dunia belum berubah” atau masih jaman kolonial Belanda.

Tuturan warga Suku Melayu menyebutkan bahwa Suku Batin Sembilan adalah kelompok orang yang tidak mau tunduk dengan pemerintah setempat, seperti kesultanan yang sewaktu itu mereka anggap sebagai perpanjangantangan pemerintah kolonial.

Sehingga kelompok ini menghindar, dan melarikan diri ke dalam hutan.

Setiap lelaki Suku Batin Sembilan umumnya dipanggil Mat. Sebuah kata yang umum di masyarakat Melayu, yang berasal dari kata “Ahmad”. Sementara perempuan umumnya dipanggil Siti.

Ini adalah bukti telah adanya sentuhan budaya Islam pada keompok masyarakat ini. Meskipun beberapa kelompok hingga saat ini tetap menganut ataupun menjalankan pola aninisme/dinamisme.

Kelompok Mat Liar sendiri diperkirakan berjumlah sekitar 20 hingga 30 orang. Mereka kemudian terbagi ke dalam kelompok yang lebih kecil lagi, dengan jumlah tujuh hingga 10 orang, atau satu keluarga.

Mat Rinah mengatakan saat ini tiga kelompok kecil dari kelompok Mat Liar sedang berada di Kawasan Rumah Tinggi. Tempat mereka berlindung atas kesakralan tempat itu, atau, mungkin juga kawasan itu adalah awal berkehidupan kelompok ini.

“Kebanyakan dari mereka kini tengah menderita wabah demam panas,” katanya.

Pada ekspedisi 2014 itu, seorang peneliti dari Burung Indonesia, Marahalim Siahaan menemukan sebuah lesung kecil yang terbuat dari kayu di kawasan Rumah Tinggi. Lesung ini digunakan untuk menumbuk buah cabai hingga halus.

“Ini jelas peradaban yang amat maju untuk suku berburu-meramu pada umumnya,” katanya.

Mat Rinah sendiri menggunakan tombak. Ujung tombak yang tajam itu, ketika ditanya, ia mengatakan membuatnya sendiri. Caranya dengan memukul besi yang berasal dari parang bekas hingga tajam.

Pengetahuan ini pun bukanlah budaya suku berburu-meramu di sana. Seperti kerabat mereka, Orang Rimba, indigenous people yg hidup di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) juga telah mengenal kegunaaan tombak dan beliung atau sejenis kapak untuk menebang kayu. Tetapi mata beliung yang tajam tidak mereka buat sendiri, melainkan dibeli di desa sekitar taman nasional.

Tetapi, komunikasi dengan Mat Attam maupun Mat Rinah tidak berjalan dengan baik. Sebab logat bahasa Melayu yang digunakannya sangat jauh berbeda dengan Melayu Jambi ataupun Palembang.

Bahkan, kata Mat Tanding, beberapa dari mereka yang masih hidup di hutan memiliki logat seperti suara orang gagu yang tengah berbicara. 

“Saat ini, hanya sedikit orang yang mengerti bahasa yang mereka gunakan. Hanya tetua Suku Batin Sembilan saja,” katanya.

Marahalim mengatakan, jika satu per satu bukti itu dikaitkan, memang ada kemungkinan Kelompok Mat Liar lebih tinggi budayanya dari kelompok Suku Batin Sembilan lainnya. Atau, jika disimpulkan mengarah kepada pengetahuan yang datang dari luar. 

“Itupun jika diasumsikan bahwa pengetahuan itu berasal dari Peter, yang telah mengenyam kebudayaan modern,” katanya.

Tetapi, kepada Marahalim, pernah ada seorang yang menyebut dirinya sebagai Mat Liar di Sungai Bahar. Usianya sekitar 40-an tahun. 

Di lain waktu, ia pun pernah bertemu sekelompok kecil manusia yang tengah bergerak berpindah-pindah di kawasan Hutan Harapan.

Anggota kelompok itu mengatakan ketua kelompok mereka bernama Mat Liar. Ia kini sudah sangat tua dan ditandu.

Ketika ia meminta bertemu dengan Mat Liar, anggota kelompok berkata tegas, “Pantang”, atau tabu dalam kazanah umum. Sehingga ia pun memutuskan untuk tidak melanjutkan niat itu.

Apakah Mat Liar itu adalah Peter dan masih hidup di kawasan Hutan Harapan meskipun sudah jompo? Begitu banyak kemungkinan terbuka untuk menduga-duga.

Beberapa tahun setelah menghilang, kata pihak keluarga, Peter pernah berkunjung ke rumah kerabatnya di Kota Palembang.

Ia hanya tegak berdiri di depan pintu masuk rumah dan tidak ingin masuk. Kondisinya awut-awutan, dengan rambut dan cambang bawuk yang tak terurus, dan pakaian kumal compang-camping.

Saat itu Peter bertanya kepada kerabatnya itu, tentang kondisi keluarganya. Kerabat yang ditemuinya mengatakan seluruh keluarganya berada dalam kondisi sehat.

Dikarenakan ingin menahannya untuk tinggal lebih lama, si kerabat kemudian menawarkan segelas air minum kepadanya, dan segera mengambilnya ke dalam rumah. Tetapi, tepat setelah keluar rumah dan hendak memberikannya kepada Peter, ternyata Peter telah pergi. Setelah itu, Peter tidak pernah datang berkunjung lagi.

“Kami berharap untuk bertemu dengan Opa sebagai pengobat rindu,” kata Icha Marissa, seorang cucu Peter yang tinggal di Kota Palembang.

Memang, ada banyak cara untuk hidup di hutan bagi mereka yang memahami alam. Tetapi juga tidak tertutup banyak kemungkinan untuk mati di sana, juga dengan berbagai cara.*

*Dari buku “Belacu Ditukar Lada” dengan judul tulisan “Mat Liar: Belanda Masuk Hutan”

avatar

Redaksi