Cek Fakta Untuk Pilkada Serentak

Daulat

October 6, 2024

Zulfa Amira Zaed/Kota Jambi

Penyebaran misinformasi, disinformasi dan malinformasi pada kampanye Pilkada Serentak 2024 sangat mengkhawatirkan. (credits: purera)

PILKADA serentak di Provinsi Jambi dan kabupaten/kota pada tahun 2024 ini diperkirakan akan banyak disusupi hoaks. Tindakan yang berpotensi menciderai demokrasi ini, harus ditangkal dengan cek fakta.

Terlebih, pilkada serentak mulai dari pemilihan gubernur, bupati dan wali kota, saat ini telah memasuki tahapan kampanye. Dimana eskalasi penyebaran misinformasi, disinformasi ataupun malinformasi pun telah mengkhawatirkan.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jambi telah berkolaborasi dengan Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Thaha Saefuddin Jambi untuk melakukan cek fakta. Tujuannya, untuk menangkal penyebaran hoaks pada masa pilkada serentak ini.

Sebagai organisasi profesi jurnalis, AJI Jambi berkolaborasi dengan UIN STS Jambi menginisiasi sebuah proyek kolaboratif pengecekan fakta pilkada. Kolaborasi ini melibatkan jurnalis profesional anggota AJI Jambi yang sebelumnya telah dibekali melalui pelatihan cek fakta.

“Kami melakukan verifikasi berlapis. Selain itu, kami juga menggunakan tools yang disediakan oleh Google untuk prebunking dan debunking,” kata Ketua AJI Jambi, Suwandi, Selasa (1/9).

Hoaks, katanya,dapat merusak proses pemilu yang berkualitas dan bermartabat. Namun, jurnalis mempunyai peran penting untuk menangkal gangguan informasi dan menyajikan informasi berkualitas kepada publik.

Data dari Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo), selama semester satu 2024 penyebaran hoaks di ruang digital terkait tahapan Pemilu 2024 melonjak signifikan. Yakni mencapai 2.119 hoaks. Jumlah tersebut hampir menyamai total hoaks sepanjang tahun 2023.

Tren ini menimbulkan kekhawatiran terdapat penyebaran hoaks yang masif dengan menyerang penyelenggara pemilu, kontestan, serta partai pendukung menjelang Pilkada 2024.

“Upaya pencegahan, pembatasan, pengurangan dan penghilangan penyebaran hoaks harus dilakukan maksimal, agar residunya tak berdampak pada publik,” katanya.

Perkembangan teknologi saat ini, katanya, dapat mempercepat penyebaran dan meningkatkan produksi hoaks. Artificial Intelligence (AI) generatif yang canggih diketahui dapat membuat kloning suara manusia, gambar, dan video yang sangat realistis dalam hitungan detik, dengan biaya minimal.

Jika dikaitkan dengan algoritma media sosial yang canggih, maka konten palsu yang dibuat secara digital dapat menyebar jauh dan cepat serta mentargetkan audiens yang sangat spesifik.

Gangguan informasi ini menyasar pemilih sampai ke ruang private mereka. Seperti Whatsapp Group (WAG) keluarga.

Penyesatan informasi dilakukan dengan menyamar menjadi salah satu kandidat, dengan tujuan untuk merusak reputasinya.

“Daya rusaknya terhadap demokrasi dalam skala dan kecepatan yang belum pernah terlihat sebelumnya,” lanjutnya.

Selain ancaman hoaks, pers juga menghadapi tantangan berat karena digoda oleh calon kepala daerah untuk masuk ke wilayah politik praktis. Belakangan banyak muncul media partisan yang tak berimbang bahkan ada iktikad buruk untuk memfitnah.

Maka AJI Jambi menyerukan kepada para calon kepala daerah untuk tidak menyeret pers dan jurnalis ke politik praktis. Sebab, pekerjaan jurnalis telah diatur melalui Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, dan dipagari kode etik dan perilaku.

Pengalaman Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 lalu pun harus menjadi pembelajaran. Dimana dampak runtuhnya independensi pers, membuat kepercayaan publik terhadap media menurun. Meskipun, harus diakui juga, bahwa tidak semua media dan jurnalis terlibat politik praktis.

Terhadap persoalan ini, AJI Jambi menyerukan agar kontestan pilkada mulai dari calon gubernur, wali kota dan bupati hingga pada tim sukses atau pemenangan, dapat menghormati independensi pers dan jurnalis.

Selain itu, AJI Jambi juga menolak segala bentuk penyensoran, pemaksaan, penggiringan materi dan sudut pandang jurnalis pada pemberitaan tentang pilkada. Sebab intervensi dari pihak manapun terhadap kerja jurnalis dan ruang redaksi mencederai kemerdekaan pers dan demokrasi.

AJI Jambi pun mendorong Bawaslu dan KPU untuk melakukan pengawasan terhadap kerja sama media massa dengan kontestan pilkada sesuai dengan ketentuan Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Yakni mematuhi aturan pagar api dan transparansi. Sehingga media dan jurnalis tidak menjadi corong pemberitaan calon secara subjektif dan tidak berimbang.

Kontestan pilkada juga diharapkan tidak melibatkan jurnalis aktif sebagai tim sukses baik yang masuk struktur maupun yang tidak. Pelibatan jurnalis sebagai tim sukses pasangan calon (paslon) tertentu, jelas melanggar Undang-Undang Pers, Kode Etik dan Pedoman Perilaku Jurnalis yang telah disusun Dewan Pers.

AJI Jambi pun mendorong kontestan pilkada untuk tidak memberi suap, imbalan, janji dan atau fasilitas lain kepada jurnalis peliput, redaktur, editor sampai level teratas dalam sebuah struktur keredaksian.

Sebab perbuatan ini melanggar Undang-Undang Pers. Teruatama pada Pasal 7 (2) yang berbunyi “Wartawan memiliki dan mentaati Kode Etik Jurnalistik”, dan Pasal 6 ayng berbunyi “Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap”.

Perusahaan media dan paslon dihimbau untuk mentaati aturan terkait iklan yang telah ditetapkan Komisi Pemilihan umum (KPU) RI dan mematuhi Undang-Undang Pers dengan tetap menjaga independensi pers.

Jurnalis, sebagai profesi yang diatur undang-undang dihimbau untuk tetap menjaga independensi dan memberikan informasi ke publik secara transparan, objektif dan tidak menggiring publik pada pilihan politik tertentu.

AJI Jambi pun mendorong sentra penegakan hukum terpadu (Gakkumdu) untuk responsif, transparan dan memenuhi keterbukaan informasi publik terkait penanganan penyebaran isu SARA, kampanye hitam, hoaks, politik uang dan data pribadi.*

avatar

Redaksi