Colliq Pujie; Penyalin Epic “La Galigo”

Budaya & Seni

October 3, 2024

Jon Afrizal

Padewakang, perahu tradisional masyarakat Makassar, Bugis, dan Mandar dari Sulawesi Selatan. (credits: tropenmuseum)

“Puluhan ribu pendamping Sawerigading, La Galigo dan anak datu tujuh-puluh beriringan di tengah laut, saling bersorakan menuju ke Senrijawa menghadiri upacara saudara La Mappanyompa. La Mappanyompa adalah anak angkat Sawerigading.
Dalam pelayarannya ke Senrijawa mereka singgah di suatu pulau dan memerintahkan supaya Ladunrung Sereng, komandan burung beserta kelompoknya pergi mencari mangga manis yang ada di pulau itu. Hanya sebuah mangga saja yang didapat.”

PUCUK Yang Terpuji. Itulah arti dalam bahasa Bugis bagi nama kecil dari seorang perempuan istimewa yang bernama: Retna Kencana Colliq Pujie Arung Pancana Toa Matinroe ri Tucae. Atau dikenal dengan Colliq Pujie.

Colliq Pujie adalah wanita bangsawan berdarah Bugis-Melayu. Ia adalah penyalin epic suku bangsa Bugis, yang dikenal dengan La Galigo atau Sureq Galigo .

Mengutip Unesco, La Galigo yang dinyatakan sebagai Memory of The World adalah teks puisi yang disusun dalam metrik yang ketat dan menggunakan kosakata Bugis tertentu. Bahasanya dianggap indah dan sulit.

Sureq Galigo adalah tradisi sastra lisan yang berasal dari sekitar abad ke-14 Masehi. Isi dari La Galigo adalah pra-Islam dan bersifat epik-mitologis dengan kualitas sastra yang tinggi.

Ukuran keseluruhan karya ini sangat besar. Dengan perkirakan total 6.000 halaman folio. Sehingga Sureq Galigo dapat dianggap sebagai karya sastra paling tebal di dunia.

La Galigo adalah karya terpanjang di dunia. Karya sastra lisan ini Lebih panjang daripada epic India: Mahabarata dan Ramayana, dan lebih panjang daripada epic Yunani: Homerus.

Retna Kencana Colliq Pujie (: pucuk yang terpuji) Arung Pancana Toa (:Raja Pancana Tua) adalah gelarnya secara kerajaan, Matinroe ri Tucae (: yang tidur di Tucae) sebagai “anumerta” setelah ia “ditidurkan” oleh Yang Maha Esa.

Mengutip lontaraproject, Colliq Pujie tumbuh menjadi seorang perempuan cerdas yang memiliki kreatifitas, dan mempunyai banyak kemampuan.

Ia menguasai bahasa dan sastra Bugis. Ia mengerti bahasa La Galigo, meskipun, pada zamannya telah tidak dituturkan lagi.

Ia mendapat mandat dari ayahnya, La Rumpang, raja di Tanete untuk urusan surat menyurat resmi kerajaan. Bahkan, ia digelari Datu Tanete karena memainkan peranan utama di kerajaan.

Sebab aktifitas kerajaan lebih banyak dikontrol oleh Colliq Pujie.

Ayahnya kerap diintimidasi oleh Belanda. Sehingga hampir tidak pernah berada di istana.

Colliq Pujie menikah dengan La Tanampareq (To Apatorang Arung Ujung). Ia mendapatkan tiga orang anak. Yakni; La Makkawaru, Siti Aisyah We Tenriolle, dan I Gading.

Suaminya meninggal dunia pada tahun 1852. Ia pun menetap di Tanete bersama ayahnya.

Keindahan syair La Galigo telah mulia dikenal dunia, yakni ketika Sir Thomas Stamford Raffles menjabat Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tahun 1811 hingga 1816.

Raffles menulisnya pada catatan The History of Java, yang terbit pada 1817. Sureq Galigo dinyatakannya sebagai syair kepahlawanan yang dibacakan dengan suara bernyanyi.

Pada tahun 1847, Nederlandsch Bijbelgenootschap (organisasi Alkitab Belanda) menugaskan Benjamin Frederik Matthes menjadi misionaris di Sulawesi Selatan. Matthes, lalu, menerjemahkan Alkitab ke bahasa Bugis dan bahasa Makassar.

Tugas tambahan; Matthes ditunjuk untuk meneliti sastra Bugis secara ilmiah. Temasuk juga La Galigo.

Pada tahun 1852, Matthes bertempat tinggal di Makassar. Ia mengunjungi daerah-daerah Bugis, seperti Maros, Pangkajene, dan Tanete.

Di Tanete, Matthes bertemu dengan Colliq Pujie. Terlebih, pada keinginan Matthes untuk mempelajari bahasa Bugis. Sebab, menurut Matthes, bahasa Bugis lebih sulit ketimbang bahasa Makassar.

Setelah La Rumpang mangkat pada tahun 1855, atas permintaan La Rumpang, posisi Datu Tanete diwariskan oleh We Tenriolle, putri dari Colliq Pujie.

Namun, Datu Tanete yang baru dua tahun dilantik ini ternyata bekerja sama dengan Belanda. Ia juga bermusuhan dengan banyak anggota keluarganya, termasuk ibunya.

Colliq Pujie adalah penentang Belanda. Ia marah dan melakukan perlawanan.

Akibat perlawan itu, Colliq Pujie pun diasingkan di Makassar, dengan uang tunjangan seadanya.

Colliq Pujie diizinkan kembali ke Tanete pada tahun 1859, atas permintaan putrinya.

Selama di Makassar, ia bekerjasama dengan Matthes untuk menyalin naskah La Galigo. Sebuah kerjasama, yang saling menguntungkan. Sebab, tanpa kerjasama itu, Sureq Galigo tak akan terdata pada hari ini.

Berdasarkan perjalanan Matthes ke banyak wilayah di Sulawesi Selatan, Matthes berhasil mengumpulkan cukup banyak naskah La Galigo.

Penyalinan naskah Sureq Galigo ini berlangsung selama 20 tahun lamanya. Waktu yang panjang, untuk menorehkan sejarah tradisi di catatan dunia.

Meskipun, diperkirakan hasil kerja keras ini hanyalah dapat menyalin sepertiga dari total naskah I La Galigo. Sebab, banyak naskah La Galigo yang tidak sempat disalin ke atas kertas karena hilang ataupun rusak.

Colliq Pujie meninggal pada tanggal 11 November 1876. Selain naskah La Galigo yang disalinnya, Colliq Pujie juga menghasilkan banyak karya sastra.

Pada tahun 1852, ia menulis “Sejarah Kerajaan Tanete” atau dalam bahasa Bugis disebut “Lontaraqna Tanete”. Naskah ini kemudian dicetak dan diterbitkan oleh G.K Niemen dengan judul Geschiedenis van Tanette.

Ia juga menulis Sureq Baweng, suatu syair yang terkenal di kalangan masyarakat Bugis dan pernah diterbitkan oleh Matthes. Colliq Pujie juga menulis beberapa elong (sejenis pantun Bugis) dan tulisan tentang kebudayaan dan upacara Bugis.

Karya-karya Colliq Pujie kini tersimpan di beberapa museum dan perpustakaan di Leiden, Belanda. Serta di Yayasan Matthes Makassar.

Mengutip indonesia.go.id, La Galigo menceritakan kisah asal-usul manusia. Bercorak pra-Islam dan bersifat epik-mitologis. 

Tokoh utama La Galigo ialah Sawerigading, cucu dari Batara Guru. Cerita dimulai dari dunia yang kosong dan turunnya Batara Guru ke bumi. Dikisahkan, manusia pertama ini turun di daerah Luwu di utara Teluk Bone. Batara Guru, sebagai raja digantikan oleh anaknya, La Tiuleng, dan bergelar Batara Lattu.

La Tiuleng atau Batara Lattu punya anak kembar, yakni; Sawerigading dan We Tenriabeng. Keduanya sengaja dibesarkan secara terpisah terpisah.

Mereka berdua, sebagai saudara kembar, kembali bertemu ketika keduanya telah menginjak usia dewasa.

Sawerigading pun takjub dan jatuh cinta pada saudara kembarnya. Sawerigading pun berniat untuk menikahi We Tenriabeng.

Lalu, keluarga mereka pun menceritakan rahasia yang selama ini disimpan.

Pihak keluarga menceritakan kepada Sawerigading, bahwa We Tenriabeng adalah saudara kembarnya.

Perkawinan saudara sedarah diyakini bakal mendatangkan bencana. Jika mengikuti pola tabu incest yang nisbi universal, maka cinta Sawerigading pun tak berbalas.*

avatar

Redaksi