Tentang Walimah Maulid Nabi Muhammad
Lifestyle
September 16, 2024
Junus Nuh
Jejak kaki di gurun sahara. (credits: islamcity)
Maulid Nabi Muhammad SAW adalah cara umat Islam untuk mengingat lahirnya Nabi Muhammad. Yakni pada setiap tanggal 12 Rabiul Awal. Imam al-Suyuthi dari kalangan ulama Syafi’iyyah mengatakan, Maulid Nabi adalah kegiatan positif yang mendatangkan pahala. Berikut adalah tiga kisah tentang umat Islam yang membaca walimah Maulid Nabi Muhammad. Disadur dari nu.or.id, dan dituliskan kembali untuk pembaca Amira.
TERSEBUTLAH seorang pemuda berandalan yang hidup di Basrah pada masa Amirul Mu’minin Harun ar-Rasyid. Perilakunya yang buruk, membuat penduduk Bashrah pun memandang hina kepadanya.
Tapi, ada yang berbeda. Terutama ketika bulan Maulid tiba. Pemuda ini menyambutnya dengan suka cita.
Ia membersihkan pakaiannya, menggunakan wewangian, berdandan, membuat walimah, dan ia membaca maulid Nabi Muhammad.
Sikap ini berlangsung dalam waktu yang lama. Bahkan, sampai ia meninggal dunia.
Pada saatnya nyawanya kembali kepada Allah, penduduk Bashrah mendengar suara tanpa wujud, yang berkata, “Wahai penduduk Bashrah hadiri dan saksikanlah oleh kalian jenazah seorang wali dari wali-walinya Allah, sesunguhnya ia mulia di sisiku.”
Selanjutnya, penduduk Bashrah pun menghadiri penguburannya, dan ikut serta menguburnya.
Banyak dari mereka yang ikut hadir disana, bermimpi yang sama pada malam hari. Pada mimpi itu, mereka melihat pemuda berandalan itu mengenakan pakaian megah yang terbuat dari sutra.
Ketika penduduk bertanya kepada pemuda itu, “Dengan apa engkau mendapatkan keutamaan ini?”
Pemuda berandalan itu menjawab, “Dengan mengagungkan Maulid Nabi Muhammad SAW.”
Kisah lain, datang dari negeri Syam di masa khalifah Abdul Malik ibn Marwan. Dimana hidup seorang pemuda gagah perkasa.
Pada suatu hari, pemuda tersebut sedang mengendarai seekor kuda. Tiba-tiba kudanya berlari dengan kencang, dan membawanya ke sebuah jalan buntu di Kota Syam.
Ternyata, jalan itu adalah menuju rumah khalifah Abdul Malik ibn Marwan. Dan, ia tidak mampu untuk mengendalikan kudanya, sehingga kudanya berlari sangat cepat dan menuju pintu rumah sang khalifah.
Kondisi ini membuat kuda yang ia kendarai berpapasan dengan putra dari khalifah Abdul Malik, dan menabraknya. Hingga putra dari sang khalifah meninggal dunia.
Kejadian ini pun sampai pada sang khalifah. Khalifah Abdul Malik memanggil pemuda penunggang kuda itu.
Ketika waktu semakin dekat, dan pemuda itu akan menghadap sang khalifah, tiba-tiba ide muncul di pikirannnya.
“Jika Allah menyelamatkanku dari peristiwa ini, maka aku akan membuat walimah yang besar dan aku akan membaca maulid Nabi Muhammad SAW di walimah itu,” demikian pikir sang khalifah.
Pada saat pemuda itu hadir di hadapan sang khalifah, sang khalifah pun memandanginya.
Tapi, melihat pemuda itu, amarahnya hilang, dan berganti dengan tawa gembira.
Kondisi ini membuat sang khalifah keheranan. Ia pun bertanya kepada pemuda itu
“Hai pemuda, apakah engkau pandai menyihir?”
Pemuda itu menjawab, “Tidak, demi Allah wahai Amirul Mu’minin.”
“Engkau aku maafkan, tetapi katakan kepadaku apa yang telah engkau ucapkan,” kata sang khalifah.
Pemuda itu menjawab, “Jika Allah menyelamatkanku dari kecelakaan jiwa ini, maka aku akan membuat walimah maulid Nabi SAW.”
Selanjutnya, sang khalifah berkata, “Sungguh aku telah memaafkanmu dan ambilah ini 100 dinar untuk merayakan maulid Nabi. Dan engkau terbebaskan dari dam (denda) pembunuhan anakku.”
Pemuda itupun keluar dengan membawa 100 dinar dan terbebaskan dari qisas, karena berkah maulid Nabi Muhammad SAW.
Kisah ketiga, adalah pada saat Sayyid Alwi menghadiri peringatan Maulid Nabi di Palestina. Beliau terheran-heran menyaksikan seseorang yang terus berdiri sejak awal pembacaan maulid.
Sayyid Alwi pun bertanya, “Duhai tuan apa yang Anda lakukan, mengapa Anda berdiri sejak awal Maulid?”
Orang itu pun menjawab, bahwa dulu ia pernah berjanji saat menghadiri sebuah Maulid Nabi untuk tidak berdiri hingga acara selesai, termasuk saat Mahallul Qiyam, momen di saat jamaah berdiri serentak sebagai tanda penghormatan kepada Rasulullah.
“Sebab menurutku itu bid’ah,” katanya.
Namun, orang itu melanjutkan, pada momen Mahallul Qiyam ia menyaksikan Rasulullah hadir dan lewat di sebelahnya.
Rasulullah berkata, “Engkaui tidak usah berdiri. Duduk duduk saja di tempatmu.”
Mendengar perkataan Rasulullah itu, ia mengulang kisahnya, “Aku ingin berdiri namun terasa susah. Sejak itulah aku sering sakit dan banyak bagian tubuhku yang bermasalah.”
Ia melanjutkan, “Sehingga aku bernazar, jika Allah menyembuhkan penyakitku maka aku berjanji setiap ada maulid aku akan berdiri dari awal maulid hingga akhir. Dan alhamdulillah, dengan izin Allah aku diberikan kesembuhan.”
Sayyid Alwi pun mempersilahkan orang itu untuk melaksanakan nazarnya.*