Lebanon; Jangan Biarkan Terjadi

Daulat

August 22, 2024

Astro Dirjo

Reruntuhan kuil peninggalan Romawi kuno di Baalbek, Lembah Bekaa, Lebanon. (credits: wikicommons)

LEBANON dikenal sebagai “Swiss-nya Timur Tengah”. Dengan penduduk berjumlah 4,4 juta, dan menerapkan sistem ekonomi bebas dan menjamin inisiatif swasta dan hak milik pribadi.

Perekonomian Lebanon mengikuti model laissez-faire. Yakni doktrin ekonomi yang berpendapat bahwa suatu private-enterprise economy  (perekonomian perusahaan swasta) akan mencapai tingkat efesiensi yang lebih tinggi dalam pengalokasian dan penggunaan sumber-sumber ekonomi yang langka dan akan mencapai pertumpuhan ekonomi yang lebih besar bila dibandingkan dengan centrally planned economy (perekonomian yang terencana secara terpusat).

Sehingga, pemerintah tidak boleh membuat monopoli legal atau menggunakan kekuasaan dan paksaan untuk merusak monopoli de facto. Dan, mendukung ide perdagangan bebas, dalam artian pemerintah tidak boleh melakukan proteksi, seperti tarif dan subsidi, di wilayah ekonominya.

Lebanon adalah kota perbankan. Dimana Dollar mengambil peran utama dalam perekonomian. Pemerintah pun tidak membatasi pergerakan modal yang melintasi perbatasan. Dapat dikatakan bahwa intervensi pemerintah Lebanon dalam perdagangan luar negeri sangatlah minim.

Sebagai sebuah republik demokratis parlementer, Lebanon memberlakukan sebuah sistem khusus, yakni konfesionalisme. Sebuah sistem politik dimana keterwakilan setiap agama didistribusikan secara adil di parlemen dan pemerintahan.

Meskipun, agama asli penduduk Arab Lebanon ialah agama Kanaan, namun, anggota parlemen Lebanon yang berjumlah total 128 kursi ini, juga diatur berdasar aliran agama yang dianut.

Dimana pembagian 64 kursi bagi Kristen/Katolik, terdiri Maronit (34), Ortodoks Yunani (14), Katolik Yunani (8), Ortodoks Armenia (5), Katolik Armenia (1), Protestan (1) dan aliran lainnya (1).

Sementara 64 kursi untuk Islam dan Druze, terdiri dari Sunni (27), Syi’ah (27), Druze (8), dan Alawi (2).

Lebanon dibagi menjadi enam kegubernuran. Yakni Kegubernuran Beirut, Nabatiye (Jabal Amel), Beqaa, Utara(al-Shamal), Gunung Lebanon (Jabal Lubnan), dan Selatan(al-Janoub).

Setelah konflik Israel-Lebanon tahun 2006, mengutip Wiki, saat serangkaian tindakan militer dan bentrokan terus-menerus di Israel utara dan Lebanon yang melibatkan sayap bersenjata Hizbullah danIsraeli Defence Force (IDF) terjadi, justru perekonomian Lebanon mengalami ekspansi yang signifikan. Dengan pertumbuhan rata-rata 9,1 persen antara tahun 2007 hingga 2010.

Namun, krisis Suriah telah mempengaruhi situasi ekonomi dan keuangan Lebanon secara signifikan. Tekanan demografis yang dipaksakan oleh para pengungsi Suriah yang kini tinggal di Lebanon pun telah menimbulkan persaingan di pasar tenaga kerja.

Konsekwensinya, pengangguran meningkat drastis, dan mencapai 20 persen pada tahun 2014. Termasuk juga hilangnya 14 persen upah terkait gaji pekerja yang kurang terampil juga telah tercatat.

Selain itu, tingkat kemiskinan meningkat dengan 170.000 orang Lebanon jatuh di bawah ambang kemiskinan. Pada periode antara 2012 dan 2014, belanja publik meningkat sebesar USD 1 miliar dan kerugian sebesar USD 7,5 miliar.

Pengeluaran negara terkait dengan pengungsi Suriah, menurut Bank Sentral Lebanon, mencapai USD 4,5 miliar per tahun.

Perang Saudara pada tahun 1975 hingga 1990, adalah sebab utama yang menghancurkan negara ini. Mengutip kemlu.go.id, insiden di Ain ar-Rummanah, Beirut pada bulan April 1975 adalah titik awal yang kemudian menjadi pemicu perang saudara ke seluruh wilayah Lebanon.

Insiden yang kemudian berubah menjadi perang saudara, yang melibatkan kelompok-kelompok yang bersaingan, dan didukung oleh sejumlah negara tetangga.

Orang-orang Kristen Maronit, yang dipimpin oleh partai Phalangis dan milisi, mula-mula  bersekutu dengan Suriah, dan kemudian dengan Israel, yang mendukung mereka dengan senjata dan latihan untuk memerangi fraksi PLO (Organisasi Pembebasan Palestina).

Sementara itu fraksi-fraksi lainnya bersekutu dengan Suriah, Iran dan negara-negara lain di wilayah itu. Sejak 1978 Israel telah melatih, mempersenjatai, memasok dan menyediakan seragam bagi tentara Kristen Lebanon Selatan, yang dipimpin oleh Saad Haddad.

Pertempuran dan pembunuhan antar kelompok-kelompok ini mengakibatkan korban hingga ribuan orang.

Beberapa pembunuhan yang terjadi selama periode ini; termasuk pembunuhan di Karantina pada Januari 1976 oleh pihak Phalangis terhadap para pengungsi Palestina, dan pembunuhan di Damour oleh PLO terhadap orang-orang Maronit pada Januari 1976, dan, pembunuhan di Tel el-Zaatar oleh Phalangis terhadap pengungsi-pengungsi Palestina pada Agustus 1976.

Dua penyerbuan besar atas Lebanon oleh Israel (1978 dan 1982) mengakibatkan tewasnya 20.000 orang, kebanyakan kaum sipil Lebanon dan Palestina. Jumlah korban keseluruhan selama masa perang saudara ini di perkirakan sampai 150.000 orang.

Perang itu juga menambah jumlah imigran Lebanon yang eksodus ke luar negeri dimana hingga saat ini diperkirakan mencapai 14 juta jiwa.

Melalui Taif Agreement pada tahun 1989, perang saudara berakhir.

Namun, api konflik tetap terjadi secara terus menerus, dan terbakar hingga kini.

Kita akan kembali kepada prasa laissez-faire. Sebuah frasa bahasa Prancis yang artinya adalah: “biarkan terjadi” atau “biarkan berbuat”.

Istilah yang digunakan pertama kali oleh para psiokrat pada abad ke 18 sebagai bentuk perlawanan terhadap intervensi pemerintah dalam perdagangan.

Dimana seharusnya, tanah dan pertanian di Lebanon harus dinilai lebih tinggi, tetapi pada kenyataannya, sektor perbankan dan perdagangan telah mengalahkannya.  

Dan, ketika krisis terjadi pada negara-negara tetangganya, akhirnya, penduduk emigran lebih banyak dibanding dengan penduduk yang masih menetap di tanah airnya, maka, prasa “biarkan terjadi” tentunya tidak harus terjadi di Lebanon.*

avatar

Redaksi