Pelecehan Seksual Di Penjara Israel
Hak Asasi Manusia
December 24, 2025
Zachary Jonah

Penjara Megiddo. (credits: Active Stills)
DUA pria Palestina yang ditahan di penjara Israel menyatakan bahwa mereka mengalami pemukulan dan pelecehan seksual. Tindakan ini mendapat sorotan dalam laporan-laporan terbaru tentang perlakuan terhadap tahanan di pusat penahanan Israel.
Korban pertama, Sami al-Saei (46), adalah seorang jurnalis lepas di kota Tulkarm, di utara Tepi Barat yang diduduki oleh Israel. Ia ditangkap oleh tentara Israel pada Januari 2024 setelah bekerja sama untuk mengatur wawancara dengan anggota Hamas dan kelompok bersenjata lainnya.
Ia ditahan tanpa didakwa selama 16 bulan, di bawah sistem Israel yang kontroversial yang dikenal dengan istilah: penahanan administratif, sebelum dibebaskan pada musim panas tahun 2025 ini.
Saat ditahan di penjara Megiddo di Israel utara, katanya, para penjaga menelanjanginya dan memperkosanya, juga memukulnya dengan pentungan, sekitar tanggal 13 Maret 2024.
“Sekitar lima atau enam penjaga. Mereka tertawa dan sepertinya menikmati penyiksaan yang mereka lakukan,” kata Sami al-Saei, mengutip BBC.
Ia mengatakan, bahwa pada waktu itu ia berharap mati agar semunya dapat berakhir. Sebab, rasa sakit itu bukan hanya disebabkan oleh pemerkosaan saja, tetapi juga oleh pemukulan yang kejam dan menyakitkan.
Pun, katanya, para penjaga itu juga mengejeknya.
Ia mengatakan penyerangan itu berlangsung sekitar 15 hingga 20 menit. Di mana selama waktu itu para penjaga juga meremas alat kelaminnya, menyebabkan rasa sakit yang luar biasa.
“Meskipun saya hanya satu kali mengalami pelecehan seksual, tetapi pemukulan dilakukan hampir setiap hari,” katanya.

Warga palestina yang ditahan di penjara Negev. (credits: Asra News)
Lembaga Pemasyarakatan Israel (IPS) menyatakan bahwa, pihaknya telah beroperasi sepenuhnya sesuai dengan hukum, sambil memastikan keselamatan, kesejahteraan, dan hak-hak semua narapidana di bawah pengawasan mereka. Mereka pun tidak mengetahui kejadian ini, dan sepengetahuan mereka, tidak ada insiden seperti itu yang terjadi di bawah tanggungjawab IPS.
Korban kedua, Ahmed, bukan nama sebenarnya, tinggal di Tepi Barat bersama istri dan 11 anaknya. Ia ditangkap oleh tentara Israel pada bulan Januari 2024, dan dinyatakan bersalah karena menghasut tindakan terorisme, setelah ia membuat unggahan di media sosial yang memuji serangan yang dipimpin Hamas pada 7 Oktober, dimana sekitar 1.200 orang, sebagian besar warga Israel, tewas dan 251 lainnya disandera.
Ia dijatuhi hukuman satu tahun penjara dan denda 3.000 shekel atau setara dengan USD 935. Ia menyatakan telah mengalami pelecehan seksual serius saat berada dalam tahanan Israel.
“Tiga orang penjaga membawa saya ke kamar mandi dan menelanjangi saya, dan memaksa saya berbaring di lantai,” kata Ahmed, mengutip BBC.
Ketiga penjaga itu, katanya memasukkan kepala saya ke dalam kloset, dengan cara seorang penjaga yang berdiri di atas kepalanya, dan memaksa tubuhnya untuk membungkuk.
Kemudian, katanya, ia mendengar satu dari tiga orang penjaga itu memberi perintah kepada seekor anjing penjaga. Selanjutnya, anjing itu digunakan oleh para penjaga untuk mempermalukannya secara seksual.
Selama masa penahanannya, katanya, para penjaga sering memukulinya, termasuk di alat kelaminnya. Ia dibebaskan 12 hari setelah dugaan pelecehan seksual itu, yakni setelah ia menjalani hukuman penuhnya.
Terdapat lebih dari 9.000 tahanan Palestina yang ditahan di penjara-penjara Israel. Jumlah itu bertambah hampir dua kali lipat sebelum serangan 7 Oktober. Banyak di antara mereka yang belum pernah diproses pengadilan.
Laporan terbaru dari Komite PBB Menentang Penyiksaan secara tegas mengutuk serangan 7 Oktober, dan juga menyatakan keprihatinan mendalam atas tindakan Israel dan hilangnya banyak nyawa di Gaza.
Beberapa sandera yang diculik pada 7 Oktober dan para penyintas serangan itu juga telah menyampaikan tuduhan pelecehan seksual, pemerkosaan, dan penyiksaan oleh Hamas dan sekutunya. Hamas juga secara terbuka mengeksekusi warga Palestina di Gaza yang dituduh berkolaborasi dengan Israel.
Terdapat pula tudingan terkait penyiksaan di dalam penjara-penjara yang dikelola oleh Otoritas Palestina (PA), yang bertanggung jawab atas sebagian wilayah Tepi Barat yang tidak berada di bawah kendali Israel dan merupakan saingan politik dan militer Hamas.
Tuduhan pelecehan terhadap warga Palestina yang ditahan di penjara-penjara Israel telah lama menjadi rahasia umum. Tetapi, baru akhir-akhir ini menjadi sorotan publik.
Komite PBB Menentang Penyiksaan pada laporannya bulan November 2025 lalu menyatakan prihatin terhadap kebijakan berbentuk penyiksaan dan perlakuan buruk yang terorganisir dan meluas yang dilakukan oleh Israel terhadap warga Palestina yang ditahan di penjara-penjara Israel. Keprihatinan ini meningkat secara signifikan, setelah serangan yang dipimpin Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023 lalu.
Laporan lain dari kelompok hak asasi manusia Israel dan Palestina juga telah merinci tentang pelanggaran sistematis ini. Tetapi, Israel membantah semua tuduhan itu.
Duta Besar Israel untuk PBB di Jenewa, Daniel Meron menolak tuduhan yang disampaikan di hadapan Komite PBB Menentang Penyiksaan, dan menyebutnya sebagai: disinformasi. Ia mengatakan kepada panel ahli bulan lalu bahwa Israel berkomitmen untuk menjunjung tinggi kewajibannya sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip moral, bahkan dalam menghadapi tantangan yang ditimbulkan oleh organisasi teroris.
Ia juga mengatakan bahwa lembaga-lembaga Israel yang terkait telah sepenuhnya mematuhi larangan penyiksaan, dan Israel menolak tuduhan penggunaan kekerasan seksual dan berbasis gender secara sistematis.*
