Orang Rimba Dan Pemilu
Resonansi
February 10, 2024
Abdul Rahman*
Sekelompok Orang RImba di Sumatera. (credits : tropenmuseum)
PEMILIHAN Umum (pemilu) adalah implementasi dari proses demokrasi langsung di Indonesia. Selain memberikan legitimasi atas keberlanjutan kehidupan kenegaraan untuk lima tahun ke depan, melihat sebesar apa dukungan masyarakat pada pemerintahan berikutnya. Besaran ini tentu saja dilihat dari seberapa besar tingkat partisipasi rakyat dalam proses pemilu itu sendiri.
Indikator yang paling jelas dalam melihat partisipasi ini tentu saja dalam hal keikutsertaan dalam memberikan hak suaranya.
Tahun 2009, sebagaimana masyarakat di daerah-daerah lain di Indonesia, Orang Rimba juga telah melakukan proses utama demokrasi langsung ini. Dari catatan lapangan Warsi selama proses pemilihan umum 2009 terdapat setidaknya enam kelompok Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Dubelas (TNBD) yang mengikuti pemilihan, dengan jumlah suara sebanyak 224.
Keenam kelompok ini adalah kelompok Grip, Tarib, Nyenong, Ngirang, Ngukir, dan Laman Senjo. Mereka dicatatkan sebagai bagian dari salah satu desa di sekeliling Bukit Duabelas, sesuai dengan akses yang paling dekat dengan kehidupan mereka.
Pemerintah sepertinya cukup mengakomodir hak mereka sebagai warga negara, walaupun dalam praktek penyaluran hak itu belum maksimal.
Persoalan-persoalan yang dihadapi Orang Rimba dalam menyalurkan haknya itu, baik sebelum dan selama proses pemilihan juga tidak jauh berbeda dengan yang dihadapi warga negara yang lain. Sosialisasi (voter education) cenderung tidak ada dilakukan secara khusus oleh penyelenggara pemilu.
Di beberapa tempat sosialisasi hanya dilakukan oleh calon legislative dan atau tim sukses calon tersebut, yang bisa diprediksi mereka dating tidak untuk memberikan pendidikan pemilihan, namun lebih pada upaya mengarahkan secara langsung untuk memilih calon-calon tertentu saja.
Sosialisasi seperti ini terjadi di Orang Rimba kelompok Grip dan Nyenong dan Ngirang. Beberapa kelompok lainnya malah tidak tersentuh sama sekali sosialisasi. Akibatnya dalam proses pemilu ini banyak sekali penyaluran hak suara yang setelah penghitungan suara dicatat sebagai suara tidak sah.
Kebanyakan suara yang tidak sah adalah karena salah contreng, dan beberapa surat suara robek dan tidak dicontreng. Walau sebenarnya dalam menyalurkan hak suaranya tersebut Orang Rimba tidak sendirian di bilik suara, mereka didampingi dua petugas yaitu seorang panitia pengawas pemilu dari kecamatan yang ditempatkan di tiap TPS dan seorang hansip jika nanti mereka membutuhkan penjelasan ulang.
Secara umum, proses pelaksanaan pemilu yang di jalani Orang Rimba tidak jauh berbeda dengan proses pemilihan pada kelompok masyarakat lain, termasuk persoalan-persoalannya. Namun yang cukup menarik adalah motivasi mereka melakukan proses besar seseorang dalam kehidupan kenegaraan ini.
Tengganai Ngembar (almarhum), salah seoarang tetua adat yang ada pada kelompok Temenggung Grip dan anggota kelompok lainnya, berjalan tiga jam dari dalam rimba tempat hidup mereka ke desa terdekat, sehari sebelum pemilihan. Dia dengan sejumlah anggota kelompok yang lain harus bermalam di desa agar bisa mengkuti proses pemilihan.
Dalam proses demokrasi yang diikuti Orang Rimba, nampaknya mereka belum menyadari sepenuhnya bahwa proses itu merupakan salah satu bentuk partisipasi sebagai warga negara. Paling tidak hal ini terungkap lewat kekecewaan yang disampaikan Orang Rimba setelah memberikan hak suaranya.
Mereka merasa tertipu oleh salah satu calon dan atau tim pemenangan calon tersebut, yang sebelumnya menjanjikan akan memberikan mie instan jika Orang Rimba memberikan hak suaranya.
Pertanyaannya, tentu berpulang kembali ke pada penyelenggara pemilu, apakah kehadiran Orang Rimba di ajang demokrasi memang betul untuk memberikan apresiasi dan pengakuan terhadap keberadaan mereka atau hanya sekedar sensasi, dan mendulang perhatian publik bahwa ada seseorang atau tim sukses yang merasa dekat dengan Orang Rimba.
Atau Orang Rimba hanya sebagai penambah suara mereka, walau pada kenyataannya tidak akan berpengaruh secara signifikan.*
*Tulisan dengan judul asli “Melihat Orang Rimba Dalam Pilar Utama Demokrasi Indonesia” ini disadur dari buku “Catatan Pendampingan Orang Rimba Menantang Zaman” dari KKI WARSI. Amira mempublikasikan kembali tulisan ini, dengan konteks kekiniannya. (Redaksi)