“Jangan Merepotkan Tetangga!”

Hak Asasi Manusia

November 10, 2025

Jon Afrizal

Ilustrasi meminta tolong. (credits: Pexels)

Kondisi perbauran; antara rasa sungkan dan ketidakpedulian?

KALIMAT itu yang selalu diingat oleh Putri Setya Gita Pratiwi (23) dan Intan Ayu Sulistyowati (19). Sebuah pesan, yang datang dari ibunya, Setyaningsih (51).

Pesan yang mereka ingat berhari-hari lamanya, sembari menunggui jenazah ibu mereka. Tanpa memberi tahu tetangga tentang keadaan mereka. Tanpa makan, dan, bertahan hidup hanya dengan meminum air putih.

Kedua remaja putri ini adalah warga Dusun Songopuro, Desa Bebengan, Kecamatan Boja, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah.

Keduanya hingga hari ini masih terbaring di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Boja, Salamsari, Kendal.

Ketika Setyaningsih mulai jatuh sakit, pada tanggal 4 Oktober 2025, mengutip Kompas, sejak itu pula ketiganya tidak makan, karena memang tidak ada yang dapat untuk dimakan.

Hingga ketika Setyaningsih lantas meninggal dunia pada tanggal 13 Oktober 2025, pun pesan itu masih diingat kedua putrinya itu.

“Pesan itu tetap kami pegang. Saya dan adik, tidak memberitahu tetangga,” kata Putri.

Setelah ibunya meninggal, Putri menutup rapat rumah. Ia dan adiknya tidak keluar rumah.

Untuk bertahan, keduanya hanya minum air sumur yang direbus.

Sebuah rumah Joglo di Kendal. (credits: Wiki Commons)

Keluarga kecil ini pindah dari Semarang ke Boja pada tahun 2019, setelah ayahnya meninggal dunia pada tahun 2017. Mereka hidup dari uang pesangon ayah yang dulu bekerja di perkebunan sawit di Pulau Kalimantan.

Tetapi, bau menyengat datang dari rumah mereka. Bau yang menyeruak, dan tercium oleh tetangga.

Hingga, pada Sabtu (1/11), tetangga mendobrak pintu rumah mereka. Para tetangga yang terperanjat, yang melihat dua orang kaki beradik ini dengan kondisi lemas di samping mayat ibu mereka yang terbujur kaku.

Terhitung hingga 1 November 2025, genap 28 hari kedua kakak beradik itu tidak mengkonsumsi makanan apapun, dan hanya meminum air putih saja.

“Keduanya masih lemas, karena dehidrasi,” kata Dokter RS Muhammadiyah Boja, Arfa Bima F.

Tetapi, secara psikis, keduanya masih menunjukkan gangguan. Dan jawabannya selalu berubah-ubah.

“Masih diawasi,” katanya.

Kepala Desa Bebengan, Wastoni, mengatakan bahwa keluarga tersebut tergolong mampu dan dikenal aktif di masyarakat. Tetapi, tetangga mulai curiga setelah mencium bau menyengat dan melihat banyak lalat di jendela rumah.

“Pintunya dikunci dan diganjal dengan kursi,” kata Wastoni.

Setelah kejadian itu, para tetangga kemudian memandikan jenazah, dan mengurus pemakaman. Sementara kedua anak dibawa ke rumah sakit.

Bupati Kendal, Dyah Kartika Permanasari mengatakan biaya perawatan keduanya ditanggung BPJS yang kini telah diaktifkan kembali. Pun, setelah pulih, keduanya akan dititipkan ke Panti Margi Utomo, dan akan diberi keterampilan kerja agar bisa mandiri.

“Setelah pelatihan, Pemkab akan memberi peralatan kerja agar mereka bisa bekerja dari rumah,” katanya.

Psikolog Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang, Dr. Hastaning Sakti, mengutip Viva, mengatkan bahwa kasus ini menunjukkan tanda-tanda depresi berat dan penutupan diri dari lingkungan sosial.

Sebab, Setyaningsih biasa bekerja memasak untuk seseorang yang mereka sebut “budhe”. Harusnya, katanya, “budhe” curiga, karena telah berhari-hari Setyaningsih tidak datang untuk bekerja.

“Persoalan ini, lebih kepada lemahnya kepedulian pada lingkungan terdekat,” katanya.

Pun terdapat adanya kesan egoisme, yang tergambar pada nilai-nilai sosial. Seperti; “tidak ingin merepotkan orang lain” atau “menjaga kehormatan diri” yang dapat memicu keputusan ekstrem.

Dan, mungkin ini yang sedang terjadi, di sana.

Tetapi, apakah itu yang menjadi gambaran nyata?

“Manusia hidup tidak bisa sendiri. Dukungan sosial, percakapan, dan kepedulian menjadi faktor penting yang sering diabaikan dalam masyarakat dengan kultur “sungkan” dan tertutup,” katanya.

Pemerintah desa, katanya, harus mengaktifkan kembali peran Dasa Wisma dan sistem sosial mikro yang dulu menjadi kekuatan masyarakat desa. Yang membuat warga dapat saling memperhatikan.

Pun, komunikasi sederhana lewat pesan singkat via Whatsapp atau kunjungan ringan bisa menjadi penyelamat bagi warga yang diam-diam tengah mengalami tekanan hidup yang berat.

“Kendal” adalah nama yang diambil dari nama sebuah pohon yakni Pohon Kendal (; Qondhali), tempat Pakuwojo bersembunyi.  Artinya, kira-kira, adalah; penerang.

Kabupaten Kendal berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Kota Semarang dan Kabupaten Semarang di timur, Kabupaten Temanggung di selatan, serta Kabupaten Batang di barat. Kendal dikenal luas sebagai Kota Santri karena terdapat ribuan pondok pesantren (ponpes), terutama di Kecamatan Kaliwungu, serta juga dikenal dengan Kota Seni dan Budaya.*

avatar

Redaksi