Gunung Yang Berselimut Kabut

Budaya & Seni

November 7, 2025

Jon Afrizal

Suasana bagian dalam Pasarean Imogiri. (credits: Kraton Jogja)

BABAD Momana menyebutkan, makam telah diselesaikan pembangunannya pada tahun 1567 Dal atau 1632 Masehi. Makam ini, yang kemudian dikenal dengan nama Kompleks Makam Imogiri atau dengan nama lengkap Pasarean Dalem Para Nata Astana Pajimatan Himagiri, didirikan oleh Sultan Agung.

Sultan Agung adalah putra dari Prabu Anjakrawati, yakni raja di Keraton Pleret atau cucu dari Kanjeng Panembahan.

Sultan Agung, atau lengkapnya Sultan Agung Adi Prabu Anyakrakusuma, adalah sultan Mataram ke-empat yang memerintah dari tahun 1613 M hingga kematiannya pada tahun 1645 M. Ia lahir di Kraton Kotagede, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta pada tahun 1593 M, dan meninggaldunia di Kraton Kartasekar, Bantul pada tahun 1645 M.

Kompleks makam yang dibangun dari bata merah ini, hingga hari ini masih bertahan, tempat dimana pemakaman Sri Susuhunan Pakubuwono XIII bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hangabehi dimakamkan, pada Rabu (5/11).

Kompleks makam Imogiri terletak di Desa Girirejo dan Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Dwi Atma Oktarini dalam penelitian berjudul “Sejarah Berdirinya Makam Imogiri: Antara Naskah Serat Pengetan Jasan Dalem Para Nata dengan Cerita Rakyat” menjelaskan bahwa awal berdirinya pemakaman Imogiri dibangun pada tahun tahun 1554 Jumakir dan selesai pada tahun 1567. Pembangunan kompleks makam dipimpin oleh Kiai Tumenggung Citrokusumo.

Adapun raja pertama yang dimakamkan di Imogiri adalah Kanjeng Prabu Anjakrakusuma atau yang dikenal dengan sebutan Sultan Agung.

Pengunjung harus melewati anak tangga untuk menuju ke makam Sultan Agung. Anak tangga tersebut berjumlah 364 dengan tinggi 69,16 meter dari Masjid Pajimatan. Masjid Pajimatan terletak di sebelah selatan makam Imogiri.

Makam Imogiri terletak di puncak Gunung Merak.

Suasana Pasarean Imogiri. (credits: Pemkab Bantul)

Pada Babad Nitik diceritakan bahwa setiap selesai salat Subuh di Mekah, Kanjeng Sultan Agung dan Kanjeng Kyai Imam Safingi mambahas bab Kewaliyan dan Keislaman. Ketika Sultan Agung bertanya dimana ia harus dimakamkan, maka Kyai Imam Safingi menunjukan arah, yang kira-kira, adalah di Gunung Pleret, yang dikelilingi banyak tanaman dan terlihat juga ada Merak di sana.

Sultan Agung lalu mengikuti jalannya tanah yang dikepal-kepal dan dilemparkan ke Pulau Jawa oleh Kyai Imam Safingi. Tanah itu, adalah tanah yang berada di dekat makam Rasulullah.

Yang kemudian tanah-tanah itu jatuh di puncak Gunung Merak dan terlempar sedikit ke timur tenggara, yaitu di Girilaya.

Lalu dibangunlah makam Girilaya. Tapi karena dengan tiba-tiba paman Sultan Agung jatuh sakit, meninggal, maka makam Girilaya digunakan untuk mengubur pamannya.

Selanjutnya, dibangun juga pemakaman Imogiri untuk Sultan Agung dan keturunannya.

Makam Raja-Raja Imogiri di Bantul, yang terletak 16 kilometer di sebelah selatan Keraton Yogyakarta dimiliki secara sah oleh Keraton Jogja dan Surakarta. Adapun pihak yang ditunjuk untuk mengelola serta merawatnya adalah Balai Pelestarian Cagar Budaya DIY.

Kata “Imogiri” mengutip kratonjogja, berasal dari kata “hima” dan “giri” yang keduanya berasal dari bahasa SansekertaHima berarti kabut, atau salju dalam bahasa aslinya, dan giri berarti gunung.

Dan, dapat pula ditarik garis, bahwa Himagiri dipadupadankan dengan pegunungan Pegunungan Himalaya (: tempat kediaman salju) dengan bentangan 2.400 kilometer memisahkan anak Benua India dari Dataran tinggi Tibet. Puncak yang terkenal adalah Everest di ketinggian 8.850 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Adapun pemilihan bukit sebagai lokasi makam tidak dapat dilepaskan dari konsep masyarakat Jawa pra Hindu yang memandang bukit, atau tempat yang tinggi, sebagai suatu tempat yang sakral dan menjadi tempat bersemayamnya roh nenek moyang.

Selain itu, pemilihan lokasi di tempat yang tinggi pun adalah satu bentuk kepercayaan masyarakat Hindu. Yang menganggap semakin tinggi tempat pemakaman, maka akan semakin tinggi pula derajat kemuliaannya.

Batu bata merah yang menyusun bangunan Pasarean Imogiri disusun dengan metode kosod (gosok).

Teknik kosod batu bata adalah metode pemasangan batu bata tanpa menggunakan spesi (adukan semen dan pasir) biasa. Dimana, batu bata saling digosokkan satu sama lain hingga permukaannya sangat halus dan pas, sehingga merekat satu sama lain dengan butiran halus yang dihasilkan dari proses penggosokan itu sendiri.

Peta Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. (credits: Google Maps)

Teknik kosod banyak digunakan dalam pembangunan candi atau bangunan kuno, terutama bangunan pada era kerajaan Majapahit.

Permukaan bata yang satu digosokkan dengan permukaan bata yang lain dengan diberi sedikit air hingga keluar semacam cairan pekat. Cairan pekat inilah yang kemudian melekatkan satu bata dengan bata lainnya. Metode ini dimungkinkan karena adanya campuran khusus pada bata masa itu yang tidak lagi terdapat pada bata masa kini. 

Selanjutnya, ratusan anak tangga digunakan ke Pesarean Imogiri memiliki. Anak-anak tangga ini dibuat pendek, dengan kemungkinan untuk memudahkan para peziarah yang mengenakan pakaian adat Jawa. Aturan untuk mengenakan pakaian adat ini masih berlaku sampai saat ini untuk area-area tertentu.

Garis anak tangga dan posisi antar gapura menuju pemakaman, dari bawah hingga ke atas, membentuk sebuah garis lurus. Gapura-gapura tersebut menjadi batas wilayah bagi area-area dalam pemakaman. 

Area pertama adalah ruang publik yang ditandai dengan adanya gapura supit urang sebagai jalan masuk menuju kompleks Kasultanagungan. Area kedua adalah area semi sakral bernama Srimanganti yang ditandai dengan gapura paduraksa.

Berbeda dengan gapura supit urang, gapura paduraksa memiliki atap. Seluruh gapura paduraksa pada Pasarean Imogiri memiliki daun pintu yang bisa dibuka tutup dan ornamen sayap pada kedua sisinya.

Ornamen sayap ini melambangkan sayap burung yang menjadi lambang lepasnya burung dari sangkar. Yakni sebuah filosofi Jawa dalam memandang arwah yang lepas dari badan.

Di atas area semi sakral itu terdapat area sakral, yakni Kedhaton. Di area sakral dan semi sakral inilah terdapat makam para Raja dan keluarga terdekatnya.

Ketika Kerajaan Mataram dibagi menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, maka Pasarean Imogiri pun berubah menjadi beberapa kompleks utama. Yakni; KasultanagunganPakubuwananKasunanan Surakarta, dan Kasultanan Yogyakarta.

Di kompleks makam Raja-raja Kasultanan Yogyakarta, terdapat tiga Astana atau Kedhaton sebagai ruang inti pemakaman Sultan. Yakni; Kedhaton Kasuwargan, sebagai makam Sri Sultan Hamengku Buwana I dan Sri Sultan Hamengku Buwana III.

Sedangkan Kedhaton Besiyaran, sebagai makam Sri Sultan Hamengku Buwana IV, Sri Sultan Hamengku Buwana V, dan Sri Sultan Hamengku Buwana VI.

Lalu, Kedhaton Saptarengga, sebagai makam Sri Sultan Hamengku Buwana VII, Sri Sultan Hamengku Buwana VIII, Sri Sultan Hamengku Buwana IX.*

avatar

Redaksi