Jambi “Siaga Darurat” Karhutla
Lingkungan & Krisis Iklim
July 25, 2024
Jon Afrizal/Kota Jambi
Bandara Sultan Thaha Jambi pada saat musim karhutla-kabut asap, 23 September 2019. (photo credits: Jon Afrizal/amira.co.id)
MUSIM Karhutla-Kabut Asap di tahun 2024 telah tiba. Ini adalah musim yang sangat tidak mengasyikan. Dimana udara bersih terasa sangat mahal sekali.
Meskipun, senyatanya, Provinsi Jambi memiliki empat taman nasional, dua areal restorasi ekosistem, tiga taman hutan raya, dan tiga hutan lindung gambut. Dan, kelompok hutan-hutan itu selalu terancam kebakaran hutan pada setiap tahunnya.
Padahal, hutan-hutan itulah yang memproduksi udara bersih yang kita hirup setiap hari. Serta sebagai tempat bagi sumber-sumber air. Dan juga, sebagai peluang carbon trade.
Pada tanggal 19 Juli 2024 lalu, kembali, Pemerintah Provinsi Jambi menetapkan status “Siaga Darurat” kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Penetapan itu dilakukan mengingat 11 dari dua kabupaten/kota di Provinsi Jambi telah terlebih dahulu menetapkan status “Siaga Darurat” Karhutla. Yakni Kabupaten Tanjungjabung Timur dan Kabupaten Muarojambi.
“Pemprov Jambi mendorong pemerintah daerah lain untuk segera menaikkan status karhutlanya dengan tujuan untuk mengoptimalkan penanganan dan pencegahan kejadian kebakaran, dan juga untuk memudahkan penggunaan anggaran pada penanganan bencana,” kata Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Jambi, Sudirman, mengutip Detik.
Adapun acuan dari penetapan status “Siaga Darurat” Karhutla adalah data Diskominfo Provinsi Jambi, yang menyebutkan bahwa 1.055 hektare hutan dan lahan terdampak karhutla pada tahun 2023 lalu.
“Kewaspadaan dan antisipasi dini sangat diperlukan. Tentunya untuk menghindari kerugian yang bakla diderita masyarakat,” katanya.
Mengutip siaran pers di laman menlhk, Indonesia telah berhasil menurunkan angka deforestasi hingga titik terendah pada tahun 2021 hingga 2022, yakni seluas 104 ribu hektare. Sementara, jika dibandingkan dengan deforestasi Indonesia pada tahun 2020 hingga 2021, yakni seluas 113,5 ribu hektare.
Indonesia pun berhasil menekan kejadian karhutla, terutama di lahan gambut.
Pada tahun 2015, terjadi karhutla di 891.275 hektar lahan gambut, atau 34 persen dari total luas karhutla. Pada tahun 2019, turun menjadi 483.111 hektare, atau 30 persen dari total luas karhutla.
Selanjutnya, pada tahun 2023, terus menurun menjadi 182.789 hektare atau 16,38 persen dari total luas karhutla.
Data Pemerintah mencatat bahwa luas kebakaran hutan dan lahan dari tahun 2015 menunjukkan tren menurun sampai dengan Oktober 2023. Sejak kejadian karhutla tahun 2015, dengan adanya perubahan paradigma pengendalian karhutla sampai dengan sekarang luas karhutla di Indonesia menurun signifikan 94 persen hingga 37 persen.
Sehingga, emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang dihasilkan oleh Indonesia, tidak lagi sebesar ditahun-tahun sebelumnya seperti pada kondisi 2015 dan 2019. Indonesia, kini, tercatat sebagai peng-emisi pada ranking ke-9, dengan angka penurunan emisi 890 juta ton CO2eq.
Data Dinas Kehutanan Provins Jambi menyebutkan luas lahan gambut di Provinsi Jambi mencapai 736.227,20 hektare, atau sekitar 14 persen dari luas Provinsi Jambi.
Adapun lahan gambut di Provinsi Jambi tersebar di enam kabupaten. Yakni, Kabupaten Tanjungjabung Timur (311.992,10 hektare), Muarojambi (229.703,90 hektare), Tanjungjabung Barat (154.598 hektare), Sarolangun (33.294,20 hektare), Merangin (5.809,80 hektare), dan Tebo (829,20 hektare).*