Hujan Di Awal Kemarau

Lingkungan & Krisis Iklim

July 11, 2025

Prameswari Rajapatni

Ilustrasi hujan. (credits: pexels)

MESKIPUN telah memasuki awal musim kemarau, tetapi curah hujan dengan intensitas tinggi akan berlangsung hingga pertengahan Juli 2025. Ini terjadi karena anomali cuaca.

Kondisi ini, mengutip Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika
(BMKG)
, dipicu oleh dinamika atmosfer yang masih aktif. Meski Madden-Julian Oscillation (MJO) berada di fase 2 (Indian Ocean), yang secara umum kurang mendukung pembentukan awan hujan.

Hujan deras yang terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia, telah terdeteksi sejak Mei 2025. Diperkirakan, hujan deras masih berada di wilayah selatan Indonesia barat hingga 8 Juli. Dan kemudian bergerak ke wilayah tengah dan timur pada 10 hingga 12 Juli.

Namun, tentu saja, ini adalah prakiraan.

Pada akhir Juni 2025, mengutip CNN Indonesia, hujan dengan intensitas sedang terjadi di sekitar 53 persen wilayah Indonesia. Yang meliputi wilayah; Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, sebagian Kalimantan, sebagian Sulawesi, Maluku, dan, Papua.

Sementara pada 2 Juli 2025, BMKG mencatat curah hujan ekstrem di Stasiun Geofisika Deli Serdang (142 mm) dan Stasiun Meteorologi Rendani, Papua Barat (103 mm).

Hujan deras ini disebabkan oleh beberapa faktor. Seperti; curah hujan di atas normal, sirkulasi siklonik di Bengkulu, badai tropis di utara Indonesia, aktivitas MJO, dan, suhu laut Indonesia yang masih hangat.

Faktor lain yang mendorong terbentuknya awan hujan yang masih intensif di wilayah Indonesia, adalah Monsun Australia. Dengan Monsun Australia terindikasi lemah, tetapi menyebabkan kondisi atmosfer di sebagian besar wilayah Indonesia bagian selatan masih lembab. Dan juga aktivitas atmosfer intra-musiman (MJO) dan Gelombang Ekuator.

Orbit bumi. (credits: NASA)

MJO masih terdeteksi di wilayah timur Indonesia, yakni di Sulawesi Selatan, Maluku, dan Papua, yang mendorong pertumbuhan awan-awan hujan.

Pun Gelombang ekuator seperti Rossby Ekuator, gelombang Kelvin, dan gelombang Low Frequency turut memperkuat proses konveksi, terutama di Sumatera bagian Timur, Kalimantan Utara, Nusa Tenggara, dan beberapa daerah di selatan Jawa.

Dan, kelembaban udara yang tinggi, dan jua suhu muka laut yang hangat semakin mendukung proses pembentukan awan hujan di berbagai wilayah.

Selain itu, bibit siklon tropis 98W masih berada di sekitar Pulau Luzon dan tidak berdampak langsung terhadap wilayah Indonesia. Tetapi, sistem ini menyebabkan low level jet (peningkatan kecepatan angin) di wilayah Laut China Selatan dan Filipina utara.

Sementara itu, sirkulasi siklonik di Samudra Hindia barat Sumatera dan Samudera Pasifik utara Papua Nugini, yang turut memperbesar peluang hujan sedang hingga lebat, telah membentuk zona konvergensi dan konfluensi di sejumlah wilayah. Termasuk Laut Jawa, Laut Flores, Sulawesi Tengah dan Tenggara, serta Maluku bagian utara.

Pada beberapa waktu terakhir ini, beredar di media social (medsos) tentang fenomen Aphelion yang telah menyebabkan berubahnya suhu menjadi lembab secara drastis. Mengutip Metro TV News, anggapan bahwa aphelion menyebabkan suhu udara menjadi lebih dingin adalah salah.

Menurut Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), jarak antara bumi dan matahari bukanlah faktor utama yang mempengaruhi suhu dan musim di bumi. Penentu utama perubahan suhu adalah kemiringan sumbu rotasi bumi terhadap orbitnya.

Sehingga, meskipun saat ini bumi sedang berada di titik terjauh dari matahari, belahan bumi utara tetap mengalami musim panas.

Aphelion adalah titik dalam orbit bumi ketika jaraknya paling jauh dari matahari. Yakni ketika bumi berada pada jarak sekitar 152,1 juta kilometer dari matahari.

Ini terjadi karena orbit bumi tidak berbentuk lingkaran sempurna, melainkan elips. Sehingga posisi bumi terhadap matahari akan bergeser mendekat dan menjauh sepanjang tahun.

Perbedaaan kondisi terjadi pada perihelion. Yakni ketika kondisi bumi berada di titik terdekat dengan matahari. Umumnya, perihelion terjadi pada bulan Januari.*

avatar

Redaksi