Di Depan Mata, Mereka Diterbangkan Ke Luar Negeri

Hak Asasi Manusia

May 20, 2024

Tim Amira/Cengkareng, Banten

(credits : devianart)

Petunjuk mengenai cara perdagangan manusia berkedok pencari kerja dari Indonesia ke luar negeri, Amira dapat dari seorang penyintas, Ngadijah (48). Berdasarkan  keterangan itu, Tim Amira mencoba memastikan kondisi sesungguhnya, menjelang keberangkatan mereka. Berikut, adalah laporan Tim Amira tentang TPPO, untuk pembaca Amira.

WAKTU menunjukkan pukul 11 siang pada medio April 2024, Terminal 3 Bandara Internasional Soekarno Hatta sangat ramai. Bukan hanya ramai pemudik, dan calon jemaah umroh saja. Tetapi juga para pekerja illegal yang akan diberangkatkan ke luar negeri. Mereka, adalah, calon korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) berikutnya, mungkin.

Tim Amira berada di ruang tunggu terminal 3 untuk keberangkatan domestik dan internasional.

Terlihat tujuh orang wanita berusia antara 35 tahun hingga 45 tahun, sedang duduk berpencar. Dari ciri-cirinya, mereka adalah pekerja illegal yang akan segera terbang.

Mereka menggunakan masker, sepeti pada masa pandemi lalu. Meskipun, senyatanya, masker digunakan untuk menutupi sebagian wajah mereka, dan agar terlihat tidak mencolok diantara ramainya orang.

Masing-masing dibagi menjadi tiga kelompok. Sebanyak tiga orang, dua orang, dan dua orang. Sementara, posisi Tim Amira, berada di tengah-tengah mereka.

Seperti penuturan Ngadijah, para calon sengaja dibuat duduk berpencar. Agar tidak terlalu mencurigakan.

Mereka sibuk memegang telepon selular (ponsel) masing-masing. Menunggu perintah dari seseorang, yakni calo yang akan memberangkatkan mereka.

Tepat seperti penuturan Ngadijah, 15 menit selanjutnya, datang seorang laki-laki, berumur sekitar 40-an tahun. Ia memanggil ketujuh perempuan itu secara bergantian.

Teteh, ayo cepet sini saya photo dulu. Maskernya buka,” kata pria itu.

Setelah diphoto secara bergantian di sebuah sudut yang memang disediakan untuk berphoto, para perempuan itu secepatnya kembali memakai maskernya. Satu per satu, mereka duduk kembali.

Sementara, petugas-petugas bandara, terlihat hilir mudik berkeliling. Tetapi, posisi para calon korban TPPO ini, sama seperti Tim Amira, berada di bagian tengah, dan membelakangi counter check in di penerbangan domestik.

Tidak ada komunikasi dengan orang lain, atau pun sesama mereka. Tim Amira sesekali beradu pandang dengan para calon buruh migran tersebut.

Sepertinya, mereka mulai terusik dengan keberadaan Tim Amira. Satu dari ketujuh perempuan itu, rupanya, menyadari gerak geriknya sedang diamati.

Anggota Tim Amira bertanya, “Mau kemana, teh?”

Sebuah pertanyaan standard  yang ditanyakan setiap orang yang berada di bandara kepada orang yang lain.

“Saudi,” kata perempuan itu menjawab. Singkat.

Sekonyong-konyong, temannya yang berada di sebelahnya, berpaling ke arahnya dan memberikan isyarat melalui pandangan mata. Bahwa mereka sedang dalam kondisi tidak boleh berbincang dengan siapapun.

Percakapan pun terhenti. Lalu, mereka berpindah tempat duduk. Sebelum mereka berpindah tempat duduk, terlihat seorang dari mereka memasukkan passport ke dalam kantong jaketnya. Passport berwarna hijau.

Sementara itu, puluhan unit CCTV terlihat berjajar di bagian atas dekat langit-langit di terminal 3. Mustahil, jika gelagat mereka tidak terpantau kamera.

Setelah satu jam, pria paruh baya tadi memanggil dua orang dari mereka, yang duduk paling dekat dengan posisi Tim Amira. Mereka bergegas menuju bagian keberangkatan internasional sambil menenteng tas ransel masing-masing.

Teh, ayok mau masuk ke pesawat. Nanti langsung aja ikutin petunjuk petugas pesawat ya. Jangan sampai salah gate! Sok atuh!” kata pria itu.

Saatnya ponsel dimatikan. Ponsel akan hidup kembali, sekitar 12 jam ke depan. Yakni saat mereka tiba di penampungan. Mungkin, seperti yang dikatakan oeleh seorang dari mereka tadi, di suatu tempat, di Uni Emirat Arab. Dan, mereka diizinkan untuk menelpon keluarga.

Kelima perempuan yang lain saling berpandangan dan menunjukkan gelagat untuk berdiri dan mengangkat tas masing-masing. Namun, pria tersebut mengarahkan tangannya ke depan lalu mengayun ke bawah yang berarti tunggu dulu, duduk.

Mereka menuruti perintah, dan kembali duduk di bangku masing-masing lalu bersikap acuh seolah tak saling mengenal.

Satu perempuan yang duduk di dekat Tim Amira, duduk terdiam seperti patung. Ia menatap lurus ke depan, dengan pandangan mata tak berkedip.

Tim kembali cross check  dengan keterangan dari Ngadijah, seorang korban TPPO yang berhasil pulang kembali ke Indonesia dengan selamat.

Sama seperti keterangan Ngadijah, saat ia dan teman-temannya yang berjumlah 15 orang berada di bandara untuk diterbangkan ke Uni Emirat Arab, mereka pun diphoto satu persatu di areal keberangkatan domestik, dan untuk selanjutnya diarahkan ke keberangkatan internasional.

Seperti seorang calon yang duduk seperti patung itu. Mungkin saja, ia menyadari akan menjadi korban, seterusnya. Tapi, tentu saja tidak ada jalan untuk mundur ke belakang.

Semua telah disiapkan. Termasuk uang saku bagi mereka yang didapatkan dari agen yang menyalurkan mereka.

Tapi, tetap saja, tidak ada jaminan keselamatan bagi mereka di negeri nun jauh di sana. Mungkin saja, mereka akan dilecehkan, dipukuli, dan seterusnya.

Meskipun, senyatanya, tujuan mereka adalah untuk mengubah kehidupan sosial mereka yang terpuruk kemiskinan, hutang dan sejenisnya.

Mengutip Antara, pada Maret 2024 Kepolisian Resor Kota (Polresta) Bandara Soekarno-Hatta (Soetta) Tangerang, Banten berhasil mengungkap dugaan kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) terhadap pengiriman 10 orang Calon Pekerja Migran Indonesia (CPMI) tujuan negara Serbia.

Telah diamankan ketiga pelaku yang memiliki tugas masing-masing untuk menggiring korban TPPO di Bandara Internasional Soekarno Hatta pada 17 Maret 2024. Mereka adalah  FP (40), J (40) warga Jakarta Barat dan WPB (25) warga Kota Bandar Lampung.

TPPO adalah kasus yang seperti benang kusut, sulit diurai namun bukan berarti tidak bisa. Peran Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) dan pihak berwajib dibutuhkan untuk mengamankan segala bentuk perdagangan orang yang hingga saat ini masih marak terjadi. Bahkan, di depan mata banyak orang di Bandara Internasional Cengkareng, dan Tim Amira menjadi saksi atas peristiwa itu.*

avatar

Redaksi