Mengembalikan Entitas “Orang Laut”
Lingkungan & Krisis Iklim
May 13, 2024
Farokh Idris
Perkampungan Orang Laut di sekitar wilayah Singapura. (credits : pinterest)
Kelompok masyarakat yang hidup di laut, dan menjadi suku asli yang hidup di Singapura. Orang Laut, hidup dalam bayang-bayang sejarah lampau Melayu yang agung. Tapi, ketersisihan dalam peradaban menjadi momok yang besar bagi keturunan mereka. Berikut, artikel terkait Orang Laut, suku yang mendiami Selat Malaka sejak lama, untuk pembaca Amira.
ORANG Laut (bahasa Melayu untuk menyebut manusia laut) adalah kaum gipsi laut nomaden yang diorganisasikan ke dalam suku. Mereka menduduki zona maritim di sekitar Selat Melaka.
Mengutip nlb.gov.sg, ketika Inggris datang pada dua abad lalu, dan menduga Singapura adalah wilayah yang tidak berpenghuni. Padahal Orang Laut telah menempati pulau ini.
Mereka adalah pelaut terampil yang mahir mengendalikan arus dan ombak laut. Orang Laut berperan penting dalam sejarah politik Melayu. Dengan menggunakan keterampilan mereka untuk menjaga jalur pelayaran bagi penguasa Sriwijaya dan mengarahkan pedagang menuju pelabuhan Sriwijaya, Orang Laut telah membantu untuk mendirikan kekuasaan kerajaan Sriwijaya dari abad ke-7 hingga ke-11 Masehi, di wilayah Selat Malaka.
Sriwijaya akhirnya digantikan oleh Melaka, yang juga memiliki kekuasaan sebagai pelabuhan. Tetapi, sebenarnya, Melaka tetap bergantung pada kesetiaan Orang Laut.
Namun, peran Orang Laut dalam sejarah Melayu mulai menurun seiring dengan disintegrasi Dinasti Melaka-Johor. Selanjutnya, pada abad ke-18, suku Bugis telah memasuki istana Melayu dan menggantikan posisi penting Orang Laut.
Orang Laut telah bertempattinggal di wilayah Singapura dan di sepanjang pantai Johor yang berdekatan, sebelum kedatangan Inggris pada tahun 1819. Mereka terdiri dari banyak kelompok, dan memiliki banyak nama kelompok.
Suku Gelam, satu dari kelompok Orang Laut dari kepulauan Batam, bermukim dan memiliki perahu dan gubuk di dekat muara Sungai Singapura. Jaraknya tidak berapa jauh dari kampung Melayu.
Suku Melayu dan Orang Laut diperintah oleh seorang temenggung, yang kemudian menjadi bawahan Raja Muda Riau. Suku Gelam melayani temenggung sebagai tukang perahu dan mencarikan ikan. Kepala desa bertindak sebagai pembawa pesan dari temenggung ke Suku Melayu dan Orang Laut.
Beberapa tahun setelah Singapura ditetapkan sebagai pos perdagangan Inggris, sebagian Orang Laut pindah ke tepi laut di Telok Saga dan Selat Sinkheh di Pulau Brani. Yakni sebuah pulau kecil di lepas pantai Singapura.
Sejak awal abad ke-19, kelompok lainnya, yakni Orang Seletar , yang digambarkan sebagai pengembara sungai dengan perahunya, menetap dan berburu di sepanjang tepi Selat Lama di sebelah utara Singapura dan muara Sungai Seletar.
Meskipun mereka kebanyakan tinggal di perahu, tetapi mereka mengumpulkan makanan yang berasal dari pantai dan hutan bakau. Mereka juga menggunakan anjing untuk berburu babi hutan.
Orang Melayu menyebut Orang Seletar sebagai Orang Utan Seletar (Penduduk Hutan Seletar). Orang Seletar berada dibawah perlindungan politik Sultan Johor yang pernah memberikan jasa perdagangan dan ekonomi kepada mereka.
Kelompok yang lainnya, yakni Orang Kallang telah hidup sejak jaman dulu, jauh di dalam kawasan rawa-rawa bakau di Sungai Kallang. Mereka merupakan satu dari sekian banyak suku yang mengikuti temenggung dalam sejarah awal Singapura. Meskipun bersifat nomaden, namun mereka memancing ikan di dekat muara Sungai Kallang.
Setelah Inggris tiba di Singapura pada tahun 1819, mereka berprofesi sebagai pendayung perahu untuk mengangkut penumpang antara kapal yang berlabuh di pelabuhan. Orang Kallang juga mengumpulkan dan mengolah daun nipah untuk dijadikan pembungkus rokok, dan mereka juga mengumpulkanan kayu bakau untuk digunakan sebagai bahan bakar.
Orang Kallang melakukan perjalanan dengan kapal besar yang disebut nadih. Namun kemudian berubah menggunakan sampan yang lebih kecil. Yakni saat ketika mata pencaharian mereka beralih ke penangkapan ikan.
Pada abad ke-20, mereka tersebar ke pulau-pulau lepas pantai di selatan. Seperti di wilayah pantai utara pulau Singapura termasuk Tanjong Irau dan Punggol, serta Geylang.
Kelompok lainnya, Orang Selat, telah mengarungi perairan di sekitar pantai selatan Singapura dan menghuni relung pesisir pulau ini sejak abad keenam belas. Mereka sebagian besar merupakan masyarakat pelaut yang terkadang berdagang ikan dan buah-buahan. Mereka menjajakan dagangan kepada kapal-kapal yang melintas.
Pada tahun 1948, karena adanya jam malam pada masa darurat, Orang Selat yang tinggal di perairan sekitar pantai selatan Johor pindah ke pantai utara Singapura. Mereka memiliki jaringan kekerabatan yang luas di beberapa wilayah Singapura.
Pulau-pulau di selatan seperti Pulau Semakau, Pulau Seraya dan Pulau Sudong, telah dihuni oleh komunitas Orang Laut pada awal sejarah Singapura.
Karena Orang Selat adalah nelayan malam hari, jam malam menyulitkan mereka untuk mencari penghidupan. Oleh karena itu, mereka meminta izin kepada Lurah Punggol untuk bergerak melintasi Selat Tebrau menuju Singapura, untuk mencari hasil laut.
Seiring waktu, Orang Laut berasimilasi dengan budaya Melayu; dengan masuknya mereka menjadi penganut agama Islam, maka secara etnis, mereka pun diidentifikasikan sebagai Melayu.
Sehingga pemerintah Singapura melakukan proyek-proyek pembangunan. Desa-desa dan pemukiman mereka dihancurkan, dan mereka dipindahkan ke perumahan umum di berbagai wilayah di Singapura.
Beberapa tahun terakhir, banyak pihak telah bekerjasama untuk memulihkan entitias Orang Laut. Baik itu pemerintah Singapura, maupun komunitas internasional.
Sebab, sebagai native people, Orang Laut sudah semestinya tercatat dalam sejarah resmi. Sama seperti sejarah kolonialisme yang tercatat rapi, dan dipelajari di sekolah.*