Bandit Sosial Masa Revolusi Di Sumatera Tengah

Resonansi

June 24, 2024

Maiza Elvira*

Kota Jambi, diperkirakan tahun 1920. (credits : Universiteit Leiden)

Penjajahan yang berlangsung lama telah menciptakan kecurigaan berlebihan terhadap apapun yang berbau Eropa, termasuk orang-orang yang dekat dengannya. Selain juga menciptakan kemiskinan akut pada rakyat. Serta Belanda yang datang kembali, dengan mengatasnamakan sekutu, telah mengakibatkan munculnya bandit-bandit sosial di era revolusi di wilayah Sumatera Tengah. Yakni Provinsi Sumatera Barat, Jambi dan Riau pada saat ini. Berikut adalah penelitian yang menggambarkan situasi pada saat itu, untuk pembaca Amira.

SEBELUM kedatangan sekutu ke Sumatera Barat, Belanda telah terlebih dahulu datang dan bermarkas di Hotel Oranje Padang. Mereka juga mengganti nama NICA (Netherlands Indies Civil Administration) menjadi C.C. AMACAB (Chief Commanding Officer, Allied Military Administration Civil Affairs Branch) yang lebih berbau sekutu.

Pada saat sekutu mendarat, modal utama sekutu hanyalah berupa informasi dari NEFIS (Netherlands Forces Intelligence Service), sebuah badan intelijen Belanda pengganti PID (Politieke Intelligent Dienst). Akan tetapi, informasi yang diberikan NEFIS kepada sekutu ternyata tidak sepenuhnya benar, seperti informasi bahwa para pemuda tidak terlalu berminat dengan kemerdekaan, dan masih banyak di antara masyarakat Sumatera Barat yang sangat pro pengembalian kekuasaan Belanda di Sumatera Barat.

Namun, pada saat mendarat di Emmahaven, penurunan peralatan dan perlengkapan sekutu tersebut dibantu oleh banyak sekali kuli-kuli yang tidak seperti kuli, yang sibuk menghitung dan memetakan jumlah barang dan orang yang masuk ke Emmahaven. Bahkan perjalanan dari Emmahaven ke Padang, beberapa kali mereka bertemu dengan parade beribu-ribu pemuda yang menyorakkan pekik kemerdekaan.

Persinggungan pertama antara sekutu dengan orang Republik di Sumatera Barat adalah ketika sebuah pengumuman sekutu yang dikeluarkan oleh Jendral Hutchinson pada tanggal 10 Oktober 1945, dirobek-robek oleh masyarakat. Bendera merah putih yang diturunkan oleh sekutu di beberapa tempat juga menyulut amarah pemuda republik.

Sekutu menyadari bahwa kedatangan mereka tidak diterima dengan baik oleh penduduk Sumatera Barat. Hal ini diungkapkan oleh Gubernur Spits yang melaporkan bahwa keadaan di Sumatera Barat khususnya di Padang tidak jauh berbeda dengan keadaan di Jakarta. Sikap penduduk sangat bermusuhan.

Ketegangan dengan masyarakat, terutama pemuda republik di Sumatera Barat terus terjadi. Sekutu banyak menerima laporan dari masyarakat yang berada di luar wilayah sekutu bahwa mereka sering diganggu oleh tentara republik.

Terdapat juga kelompok-kelompok masyarakat yang saat itu dicurigai oleh tentara republik. Kelompok ini dianggap dekat dengan Belanda. Kelompok-kelompok ini kerap menjadi sasaran tindak kekerasan.

Pasukan sekutu tidak dapat berbuat apa-apa, selain meminta orang yang meminta bantuan tersebut untuk pindah ke wilayah sekutu agar tidak lagi diganggu oleh tentara republik. Hanya saja tidak semua yang mengikuti saran tentara sekutu tersebut.

Puncak ketegangan tentara sekutu dengan tentara republik adalah ketika terjadi pembunuhan brutal terhadap seorang perawat palang merah Nona Allingham dan seorang serdadu Inggris, Mayor Anderson pada awal Desember 1945. Perawat dan mayor Inggris itu dibunuh oleh sekelompok orang yang mengaku sebagai tentara republik ketika sedang mandi di Sungai Beremas, Padang.

Mereka bahkan memperkosa perawat tersebut secara beramai-ramai sebelum akhirnya dibunuh. Kejadian ini membuat tentara sekutu marah dan menyerang tiga perkampungan yaitu Gaung, Bukit Putus dan Bungus, satu barak tentara republik dan kantor BPPI Padang.

Pada peristiwa tersebut diketahui bahwa tindakan tersebut dilakukan oleh beberapa orang yang sebagian merupakan bekas tahanan yang dilepaskan pada masa perang oleh tentara republik. Mereka merupakan anggota dari tentara non regular atau tentara liar yang sama sekali tidak terikat dengan komando militer resmi.

Sedangkan tentara republik direkrut oleh komando militer yang resmi, di Sumatera Barat ramai bermunculan. Laskar-laskar dan gerakan pemuda yang biasanya bergerak secara independen itu telah ada di Sumatera Barat tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Pasca penyerangan dua orang Inggris di Sungai Beremas tersebut, pihak republik melihat bahwa Inggris tidak ada bedanya dengan Belanda, dan harus disikat habis. Hal ini berakibat semakin bebasnya pemuda-pemuda laskar melakukan tindakan-tindakan yang berada di luar jalur komando militer.

Laskar dan gerakan pemuda tersebut biasanya berasal dari partai politik tertentu. Tentara tersebut biasanya aktif di daerah pinggiran kota. Beberapa kali Komando tentara republik mencoba untuk merangkul mereka yang berada dalam teritorial komandonya, namun usaha tersebut tidak berhasil. Mereka tetap saja bergerak independen, dan bahkan menyimpang dari instruksi komando militer yang seharusnya.

Hal ini membuat situasi hubungan antara tentara republik dan tentara sekutu menjadi semakin memanas. Pada awal kedatangan Belanda kembali ke Sumatera Barat, Kepala AMACAB telah menuliskan laporan bahwa sekitar 10.000 pemuda sukarela berkeliaran dengan persenjataan yang lengkap yang disinyalir didapat dari rampasan tentara Jepang. Para pemuda tersebut melakukan propaganda prorepublik.

Selain itu banyak beredar pistol jenis revolver dan juga granat tangan di antara penduduk. Hal ini terus berkembang dan tidak dapat dicegah oleh tentara militer.

Krisis oleh gerakan pemuda dan laskar non militer dengan persenjataan lengkap tersebut terus berkembang dan dengan terangterangan melancarkan aksinya. Misalnya yang terjadi di daerah Baso, yang dipimpin oleh revolusioner radikal Tuanku Nan Hitam.

Aksinya tidak hanya menyasar orang Eropa saja, tetapi juga orang-orang pribumi. Mereka mencegat dan merampok orang-orang yang melewati jalur Bukittinggi-Payakumbuh. Mencuri ternak penduduk di kampungkampung sekitarnya, menculik dan membunuh pejabat lokal terutama yang memiliki kedudukan pada masa kolonial Belanda, dan masih memiliki kedudukan pada masa perang revolusi, untuk dimintai tebusan.

Aksi ini berkembang pasca pidato oleh tokoh komunis Rustam Effendi yang menyerukan bahwa merampok dan mencuri untuk tujuan revolusi diperbolehkan dan merupakan jihad di jalan kebenaran.

Pada awalnya tentara militer republik dapat mentolerir perbuatan gerakan tersebut. Namun lama kelamaan mulai beredar kabar yang tidak baik mengenai kegiatan gerakan tersebut yang semula hanya menjarah dan merampok penduduk setempat, kemudian berkembang dengan menculik perempuan yang telah bersuami untuk mereka perkosa beramai-ramai di markas gerakan mereka.

Hal ini memaksa tindakan tegas dari komandan Divisi Dahlan Djambek untuk menumpas gerakan tersebut pada tanggal 16 April 1946. Setelah berhasil ditumpas, ternyata aksi bandit yang mengatasnamakan revolusi tersebut tidak berhenti begitu saja. Revolusi sosial yang terjadi di Sumatera Timur, wilayah yang mana pemerintah republik kehilangan kontrol terhadap pemuda laskar yang melakukan huru-hara berupa pembunuhan bangsawan, pejabat-pejabat pemerintahan, penjarahan harta benda, ternyata juga berimbas pada perjuangan di Sumatera Barat.

Gerakan laskar dan gerakan pemuda kian merajalela, sehingga tentara militer republik mulai kewalahan menghadapi mereka hinnga setahun kemudian, pada tangal 3 Maret 1947, para bandit tersebut memutuskan untuk mengangkat senjata melawan pemerintahan republik di beberapa wilayah di Sumatera Barat. Mereka berencana untuk melakukan kudeta dengan menculik residen Rasjid dan komandan militer Ismail Lengah. Aksi ini terjadi pasca perjanjian Linggarjati yang tidak disetujui oleh gerakan-gerakan tersebut. Selain itu, pembagian perlengkapan militer yang hanya diperuntukkan bagi tentara reguler saja juga menyulut kemarahan mereka.

Di wilayah Pekanbaru, menurut laporan surat kabar De Vrije Pers dan De Volksrant, setelah orang Eropa dan Sebagian orang Indo-Eropa dipindahkan dari Pekanbaru ke Padang untuk kemudian dievakuasi ke Batavia.

Bangsa Tionghoa, India dan pribumi yang menjadi sasaran kekerasan, lalu menyurati komandan pasukan Belanda saat itu yang berada di Padang, Sumatera Barat, untuk meminta bantuan. Sebab, telah terjadi aksi teror oleh kelompok liar bersenjata yang mengaku dirinya kelompok republiken di wilayah kediaman mereka.

Kelompok itu menjarah semua barang yang mereka miliki secara paksa dan dengan kekerasan. Ada perempuan yang diculik untuk diperkosa dan kemudian dibunuh.

Di wilayah Jambi juga tidak jauh berbeda. Setelah orang Eropa selesai dievakuasi ke Padang dan Palembang pada tahun 1946, terjadi teror mengerikan terhadap sisa orang Indo-Eropa, orang Tionghoa, India dan masyarakat pribumi.

Pemukiman masyarakat yang berada di satu wilayah dengan orang Eropa, dan merupakan distrik bisnis di Jambi kemudian dibakar oleh kelompok pejuang revolusi yang pada saat itu terdiri dari orang komunis dan tentara berseragam. Lebih dari 2/3 wilayah sentra bisnis tersebut ludes terbakar. Hunian orang Eropa, Tionghoa, India dan masyarakat lokal hancur total. Sekitar 7000 orang Tionghoa, 500 orang India, dan puluhan masyarakat lokal kehilangan tempat tinggal.

Tak beberapa lama setelah itu, dengan dibantu oleh tentara republik dan sekutu, mereka mulai dievakuasi sebagian besar ke Padang dan Palembang, menurut Koran Het Nieuwsblad voor Sumatra 11 Februari 1949.

Melihat situasi perjuangan yang terbelah antara tentara gerakan pemuda serta laskar dengan tentara dari militer republik, membuat beberapa tokoh militer memutuskan untuk membuat suatu pertemuan agar kata sepakat dapat dicapai. Aksi gerakan pemuda dan laskar sudah tidak dapat ditolerir lagi.

Kegiatan pasukan mereka telah begitu jauh dari semangat proklamasi dan cita-cita kemerdekaan. Pertemuan tersebut diadakan pada tanggal 14-15 Januari 1949 di Situjuh Batur, Lima Puluh Kota. Pada pertemuan tersebut sekitar 80 pemimpin gerakan pemuda dan militer hadir di sana. Beberapa pejabat tinggi Sumatera Barat yang hadir yaitu Chatib Sulaiman, Kolonel Dahlan Ibrahim—Panglima Komando Militer Sumatera Barat, Abdullah—pemimpin partai MURBA, dan beberapa pejabat militer dan sipil lainnya seperti Tahib, yang merupakan Komandan militer wilayah Payakumbuh.

Akan tetapi, pada dinihari tanggal 15 januari 1949 tersebut, beberapa saat setelah pertemuan tersebut selesai, serdadu Belanda menyerang lokasi pertemuan tersebut, dan berhasil membunuh 69 orang pada malam itu. Di antara yang terbunuh malam itu adalah Chatib Sulaiman.

Kecurigaan mengenai adanya matamata dan pengkhianat mulai mencuat di kalangan tentara laskar rakyat dan tentara militer republik. Kecurigaan jatuh pada Letnan I Kamaluddin dari Batalion Singa Harau.

Kamaluddin yang populer juga dikenal dengan Tambiluak kemudian ditangkap oleh tentara laskar rakyat, disiksa, dipotong telinganya, sampai akhirnya ia berhasil melarikan diri. Namun naas, ia kembali tertangkap ketika akan melapor pada komandan divisinya, Dahlan Djambek di Kamang.

Segera setelah ia tertangkap, seluruh keluarganya kemudian dibunuh oleh tentara rakyat non militer. Walaupun pada akhirnya tidak pernah terbukti keterlibatan Kamaluddin sebagai pengkhianat dalam peristiwa Situjuh Batur, namun peristiwa ini telah memperdalam jurang ketidaksepahaman antara tentara republik dan pasukan non militer di Sumatera Barat.

Penyerangan Situjuh Batur dan kematian Chatib Sulaiman ternyata tidak membuat hubungan antara pasukan militer dan pasukan laskar yang kerap melakukan huru-hara tersebut menjadi lebih baik. Tuduhan pengkhianatan di tubuh pasukan militer republik membuat ketegangan semakin memanas. Selain itu perubahan komando militer di Sumatera Barat sebulan sebelum peristiwa Situjuh Batur oleh pemerintah pusat membuat tentara militer menjadi lebih rapuh.

Pemberhentian Ismail Lengah pada awal Desember 1948, dan dipindahkannya komandan-komandan militer di Sumatera,termasuk di Sumatera Barat membuat Sumatera Barat berada pada posisi tanpa pemimpin yang ‘diakui’ oleh semua lapisan militer.

Banyak di antara pasukan militer yang berasal dari pasukan laskar dan gerakan pemuda yang dulunya direkrut oleh Ismail Lengah memilih kembali bersatu di bawah komando laskar mereka sebelumnya. Mereka kembali menjadi tentara liar dan tentara laskar yang berpencar-pencar di wilayah Pariaman, ke daerah pegunungan sebelah barat Bukittinggi, terutama ke daerah Danau Maninjau. Kekacauan mulai bermunculan seiring dengan semakin menyebarnya kelompok tentara liar dan laskar tersebut.

Rombongan tentara liar tersebut kembali pada sifat gerakannya semula, agresif, tanpa koordinasi, tidak disiplin, yang melakukan berbagai perampokan, penjarahan, pencurian, dan pembunuhan di daerah pedalaman dan pemukiman masyarakat sipil. Hal ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Walaupun kekacauan yang dilakukan oleh gerakan tentara liar dan laskar tersebut semakin meluas dan berkembang di banyak tempat, namun tentara militer republik tidak mempunyai kontrol terhadap aksi gerakangerakan tersebut. Walaupun para pemimpin partai telah mengeluarkan seruan kepada para laskar dan gerakan pemuda untuk mematuhi komando militer reguler, namun sepertinya tentara liar tersebut memiliki pemikiran yang berbeda dengan para pemimpin partai dan komando militer republik.

Akhirnya, pada tanggal 10 Mei 1949, Pemerintah Militer beserta pimpinan partai politik di Sumatera Barat mengeluarkan maklumat mengenai pelarangan keberadaan kekuatan militer selain dari prajurit pasukan reguler dan Barisan Pengamanan Negeri dan Kota (BPNK) yang bertugas menjaga keamanan lokal.

Setelah maklumat ini dikeluarkan, sebagian kecil dari tentara laskar mengikuti maklumat tersebut, dan sebagaian besar lainnya tetap memerankan peran sebagai tentara liar yang kerap membuat keonaran dan kerusuhan di berbagai tempat. Adapun di antara mereka yang bergabung dalam pasukan reguler, ternyata hanya mendapat tempat di BPNK dan tidak dalam komando militer reguler sebagaimana yang dijanjikan semula.*

*Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

avatar

Redaksi