Bank Plecit; Mudah Tapi Menjerat

Ekonomi & Bisnis

April 15, 2024

Jon Afrizal/Salatiga, Jawa Tengah

Larangan bagi Bank Plecit untuk memasuki suatu pemukiman di Kota Salatiga, Jawa Tengah. (photo credits : Jon Afrizal/amira.co.id)

BANK mencari nasabah dengan cara bertemu langsung, kini adalah biasa. Tetapi, bank menagih pinjaman setiap hari dari rumah ke rumah tentu bukan hal biasa.

Khusus di Provinsi Jawa Tengah, penduduk mengenal bank yang berbeda dengan perbankan pada umunnya. Bank Plecit, demikian sebutannya.

Menurut kbbi.web.id, bank plecit  adalah sebutan bagi lembaga bukan bank atau perseorangan yang meminjamkan uang, biasanya dengan bunga tinggi dan penagihannya dilakukan setiap hari.

Bank Plecit juga dikenal sebagai bank keliling. Sebab pola penagihan kepada debitur adalah dengan cara berkeliling dari satu rumah ke rumah yang lain.

Bank jenis ini akrab dengan warga pedesaan, dengan debitur adalah petani atau buruh tani. Tapi, terkadang juga menyasar warga di perkotaan, dengan peminjam dari kalangan pedagang kecil.

Terkadang Bank Plecit menyebut diri sebagai “koperasi”. Meskipun tidak diketahui pasti badan hukumnya.

Mengutip nusantarapedia.net, Bank Plecit menggunakan bujuk rayu melalui akad yang mudah, dan uang langsung cair.

Namun, akad terkadang kurang dipahami oleh calon debitur yang sedang dalam kondisi terdesak. Sebab, bunganya sangat tinggi.

Berdasarkan dari sinilah jeratan Bank Plecit terhadap debitur dimulai. Sebab, Bank Plecit, tentu saja, tidak diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan memiliki aturan “di luar” aturan yang ditetapkan OJK.

Pada awal akad, mungkin saja bunganya cukup murah, atau bahkan lebih kecil dari bank resmi. Tetapi, ditengah jalan, dapat meningkat drastis. Atau, malah, sejak dari awal telah ditetapkan bunga yang tinggi.

Bank resmi atau pegadaian umumnya menerapkan bunga antara 5 persen hingga 10 persen setiap bulan. Tetapi, Bank Plecit menerapkan bunga di atas itu, atau bahkan menjadi berlipatganda jika tunggakan tidak mampu untuk dibayar oleh debitur.

Adapun waktu pengembalian, biasanya satu pekan. Sehingga lilitan hutang akan terus terjadi, sebab pinjaman yang didapat harus secepatnya dikembalikan, dan tanpa sempat dimanfaatkan untuk perputaran usaha yang baik.

Masyarakat telah sejak lama mengenal usaha “perbankan” jenis ini. Seperti rentenir, misalnya, kata yang berasal dari bahasa Belanda (rentenier).

Kata lainnya adalah tengkulak  dan lintah darat. Yakni orang yang memberi pinjaman uang tidak resmi atau resmi dengan bunga tinggi. Tengkulak  beroperasi di saat paceklik, dan petani tidak dapat mengakses bank resmi.

Begitu juga dengan rentenir  yang mencari peluang dari mereka yang di-black list  oleh bank resmi, atau juga pengusaha kecil yang kesulitan mengakses pinjaman dari bank resmi.

Satu kesamaan dari itu semua, adalah, pinjaman tidak memerlukan jaminan seperti sertifikat tanah atau rumah, BPKB kendaraan, atau barang berharga lainnya.

Tetapi, seluruh praktik peminjaman ilegal ini memiliki debt collector  yang sangar bin gahar  untuk menakut-nakuti debitur ketika menagih hutang. Tak jarang dengan cara-cara kasar, merampas barang berharga, mengancam dan seterusnya.

Akhirnya, masalah kesulitan keuangan yang dialami seseorang malah menjadi bertambah dengan tekanan psikologi.

Habis terjatuh, tertimpa tangga pula.*

avatar

Redaksi