Pakaian Eks Impor : Hilangnya Potensi Ekonomi, Resiko Penyakit dan Rusaknya Lingkungan

Ekonomi & Bisnis

January 9, 2024

Zulfa Amira Zaed

(: fostercareaux)

PAKAIAN eks impor, kerap dipandang sebelah mata bagi sebagian orang. Namun tetap digemari karena harga yang terjangkau. Jika beruntung, pemburu pakaian bekas akan mendapatkan pakaian bermerek dan masih layak pakai.

Kota-kota yang merupakan pusat perdagangan dan memiliki akses transportasi air terdapat banyak toko yang menjual pakaian eks impor. peje, beje, thrift, atau rembeng adalah sebutan lain untuk pakaian bekas impor.

Sebut saja Jambi, Pekanbaru, Nunukan, Jakarta, Banten, Batam,Tembilahan, Kuala Tungkal, dan kota lainnya memiliki karakteristik yang sama, yaitu tranportasi air. Karena transportasi air memiliki banyak celah tikus masuknya pakaian bekas dari luar negeri ke Indonesia. Illegal.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor pakaian bekas Indonesia mencapai 26,22 ton dengan nilai USD 272.146 pada 2022. Jumlah tersebut meningkat 230,40 persen dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebanyak 7,94 ton dengan nilai USD 44.136.

Impor pakaian bekas di Indonesia berfluktuasi dalam satu dekade terakhir ini. Barang dengan kode HS 63090000 tersebut mencatatkan impor terbanyak dengan volume 417,73 ton dan nilai USD 6,08 juta pada 2019.

Pakaian bekas termasuk dalam kategori barang yang dilarang impor. Ini tercantum dalam Pasal 2 ayat (3) huruf d Permendag nomor 18 tahun 2021 dan Lampiran II Permendag nomor 40 tahun 2022. Selain pakaian bekas, barang bekas lain yang dilarang secara eksplisit adalah kantong bekas dan karung bekas.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati telah melakukan pemusnahan 638 bal pakaian bekas hasil impor ilegal dari hasil operasi ketiga instansi yakni Bea Cukai, Ditjen PKTN Kemendag, dan Bareskrim Polri pada 10 sampai 15 Oktober 2023 di wilayah Provinsi Banten, Jakarta, dan Jawa Barat.

Mengutip cnbcindonesia, hingga Maret 2023, pemerintah telah memusnahkan pakaian impor bekas sebanyak 14.934 bal dengan total nilai mencapai IDR 118 miliar.

Data Kementerian Perdagangan menyebutkan, pemusnahan telah dilakukan di Pekanbaru sebanyak 730 bal dengan nilai 10 miliar rupiah, di Sidoarjo sebanyak 824 bal senilai IDR 11 miliar, di Cikarang sebanyak 7.580 bal senilai IDR 80 miliar dan di Batam sebanyak 5.800 bal dengan total nilai IDR 17 miliar.

Angka yang fantastis tentunya. Namun setiap negara telah memiliki aturan atas perdagangan yang harus dipatuhi siapa saja.

Betapa tidak, pakaian bekas tetap saja digandrungi masyarakat meski jelas-jelas dilarang. Untuk selembar celana jeans, biasanya dibanderol dengan harga mulai dari IDR 50.000.

Dengan bermodal mulai dari IDR 50.000, pembeli sudah dapat bergaya mengenakan celana jeans bermerek yang harganya ketika masih baru mencapai jutaan rupiah.

BPS menyebutkan pakaian bekas yang masuk ke Indonesia berasal dari Amerika Serikat, Jepang, Singapura, Malaysia,  Tiongkok, Perancis, Thailand, Belanda,dan Inggris.

Tetapi, harus juga disadari terkait bakteri yang menyertai pakaian bekas itu. Bakteri seperti mikroorganisme pathogen yang sering membonceng pakaian bekas impor dapat menimbulkan berbagai penyakit. Sebab pakaian langsung bersentuhan dengan tubuh dan dipakai oleh konsumen dalam rentang waktu yang cukup lama.

Ditjen Standardisasi Perlindungan Konsumen telah melakukan tinjauan laboratorium pada Desember 2014 lalu. Hasil uji laboratorium menemukan bahwa bakteri yang terkandung di dalam pakaian bekas impor dapat mencapai ribuan koloni bakteri.

Pengguna pakaian bekas akan rentan terhadap infeksi kulit seperti kandidiasis, penyakit kulit jamur, furunculosis dan alergi penyakit kulit lainnya. Penyakit yang paling banyak ditemukan adalah kutu tubuh, cacar air, gonore, sifilis, dan hepatitis A, B, C, D, dan G

Indonesia bukan satu-satunya negara yang melarang impor pakaian bekas. Bukan hanya karena hilangnya potensi ekonomi melainkan alasan lingkungan.

Gurun Atacama, Chile menjadi satu tempat pembuangan baik pakaian bekas maupun pakaian yang belum sempat terjual dari beberapa negara. Dampaknya tentu saja kerusakan lingkungan.

Mengurai pakaian bekas perlu regulasi khusus dari pemerintah. Sebab tidak semua orang mampu mengolah pakaian bekas menjadi barang berguna lainnya. Atau, pemerintah dapat bekerjasama dengan NGO/CSO lingkungan yang menyediakan sentra pengolahan pakaian bekas.*

avatar

Redaksi