Api Habis, Hutan Binasa
Lingkungan & Krisis Iklim
October 16, 2023
Jon Afrizal/Sungai Jerat, Batanghari
Ranger Hutan Harapan sedang memusnahkan bibit sawit di areal perambahan di Km 52, Minggu (15/10). (photo credits : Jon Afrizal/amira.co.id)
“BEGINI lah jadinya. Kebun kami terbakar semua,” kata Nurdin dengan wajah kuyu.
Nurdin adalah satu dari 15 orang anggota Kelompok Maliki. Kelompok ini mengusahakan areal seluas 75 hektare.
Kebun mereka berada di konsesi restorasi ekosistem Hutan Harapan. Mereka telah bermitra dengan PT Restorasi Ekosistem Indonesia (Reki) selaku pengelola areal restorasi ekosistem pertama di Indonesia ini.
Kebun milik Nurdin dan anggota kelompok Maliki lainnya adalah kebun campur. Selain ditanami karet, mereka juga menanam pisang dan singkong.
Ranger sedang memadamkan tunggul kayu yang masih terbakar, Sabtu (14/10). Jika tidak, api akan mudah kembali muncul.(photo credits : Jon Afrizal/amira.co.id)
“Tapi kini, lihatlah sendiri. Semua berubah menjadi abu dan arang,” katanya.
Kawasan Sungai Jerat, adalah kawasan yang berada tepat di tengah areal Hutan Harapan. Posisi kawasan Sungai Jerat yang dibelah jalan poros, membuat api terhalang untuk membakar kawasan hutan yang lainnya.
Kawasan Sungai Jerat sempat terbakar pada 2019 lalu. Kebakaran hebat, dan membuat pihak Hutan Harapan meminta pihak kepolisian untuk memproses secara hukum sebanyak 19 orang perambah.
Ini dilakukan untuk memberikan efek jera bagi para perambah. Sebab, tindakan mereka merugikan banyak orang.
Bibit sawit yang ditanam perambah dimusnahkan dengan cara dibakar oleh ranger, Sabtu (14/10). (photo credits: Jon Afrizal/amira.co.id)
Mereka membuka kawasan hutan dengan cara membakar, dan menimbulkan kabut asap. Padahal, tanpa hutan, tidak akan ada lagi udara bersih.
Pun kini, udara sudah tidak bersih lagi. Karena telah berganti dengan kabut asap akibat Karhutla.
Begitu juga dengan sumber air, yang mulai berkurang. Seiring kawasan hutan yang tidak seperti dulu lagi.
Kawasan Sungai Jerat didatangi oleh perambah yang “itu-itu” juga. Sebelumnya para pendatang ini berada di Sungai Jerat, lalu berpindah ke kawasan Tanjung Lebar dan Tanjung Mandiri. Begitu pula sebaliknya, rotasi yang berjalan terus menerus sejak 10 tahun terakhir ini.
Terdapat dua posko karhutla yang dibentuk oleh Hutan Harapan pada musim kemarau ini. Yakni di Sungai Jerat (wilayah Provinsi Jambi) dan Km 49 (wilayah Provinsi Sumatera Selatan). Kedua posko telah bersiaga sejak bulan September lalu.
Adapun wilayah rawan Karhutla adalah Sungai Jerat, Simpang Badak, Sungai Lalan, Km 49, dan Km 52.
Para perambah, secara umum, mengetahui titik-titik itu melalui beberapa orang yang selama ini kerap “bermain” di wilayah itu. Perluasan lahan kebun sawit adalah tujuan utama.
Ini dapat dibuktikan dengan temuan di lapangan berupa tumbuhan sawit yang masih bibit yang ditanam perambah.
Tetapi, akibat dari perambah yang tidak dapat membaca “arah angin”, maka angin membawa api menyebar sekehendaknya, termasuk ke lokasi tempat mereka bertanam sawit.
Koordinator Tim Damkar Hutan Harapan, Dahnil mengatakan satu cara untuk untuk mencegah agar api kebakaran tidak semakin meluas adalah dengan cara membuat sekat-sekat. Sekat-sekat dibentuk seperti pembatas atau sejenisnya.
“Selain upaya pemadaman dengan penyemprotan air, sekat-sekat dapat membantu agar api tidak semakin meluas,” katanya.
Namun, para perambah seperti “main kucing-kucingan” dengan ranger. Ketika ranger datang, perambah akan pergi. Dan ketika ranger pergi, perambah akan datang kembali.
Deputi Linhut Hutan Harapan, Sutoyo mengatakan dalam mengatasi Karhutla akibat perambahan, dua regu damkar terdiri dari 32 orang telah siaga. Juga dibantu 35 orang untuk kondisi situasional. Selain juga masyarakat peduli api (MPA) sebanyak 26 orang, dan tujuh orang mahasiswa magang.
“Juga dibantu empat anggota TNI dua anggota Polri serta dua orang BPBD Kabupaten Batanghari” katanya.
Adapun modus operandi para perambah, yakni mereka datang berkelompok sekitar 20 orang untuk satu hamparan. Setiap orang memiliki tugas masing-masing. Seperti menebas, membakar dan seterusnya.
“Kami bisa saja mengamankan pelaku. Tapi, Karhutla adalah isu nasional. Sehingga kami pun seharusnya di-backup secara penegakan hukum,” Deputi Linhut Hutan Harapan, Sarmita.
Pada situasi saat ini, di saat para ranger bertugas siang dan malam dengan waktu istirahat yang sangat sedikit, semua itu bukan hanya untuk Hutan Harapan saja. Melainkan untuk semua orang di sekitar hutan dataran rendah Sumatera ini, agar dapat menghirup udara bersih setiap saat.
Jika Karhutla terus terjadi, dan tidak ada lagi hutan, maka udara bersih akan berkurang, dan pasokan air dari anak-anak sungai akan mengering.
Sungguh, situasi yang mengerikan yang harus kita cegah, bersama.*