Desa Sumber Jaya; Sepakat Untuk Tidak Bersepakat

Daulat

September 29, 2023

Junus Nuh/Sengeti

Kondisi Desa Sumber Jaya Kecamatan Kumpe Ulu Kabupaten Muarojambi pada tahun 1990 melalui citra satelit, sebelum perusahaan hadir di sana. Terlihat masih banyak kawasan hutan (: berwarna hijau). (credits : EarthTime)

SIDANG perkara pidana dengan terdakwa Bahusni kembali digelar di PN Sengeti, Rabu (27/9). Sidang kali ini menghadirkan dua orang saksi. Kedua saksi itu adalah Abun Yani, anggota DPRD Provinsi Jambi dari Partai Gerindra, dan Frans Doddy Kusumanegara dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

Abun Yani, pada sidang itu menjelaskan tentang objek lahan dimana Bahusni didakwa melanggar Undang-Undang Perkebunan. Menurutnya, adalah benar bahwa lahan itu adalah wilayah pencarian masyarakat.

“Sebelum perusahaan (PT Purnama Tausar Putra) hadir di Desa Sumber Jaya, lahan itu hutan tempat masyarakat mencari penghidupan,” kata Abun Yani di ruang sidang Kartika PN Sengeti.

Ia mengatakan masyarakat pun tidak diberitahu tentang izin perusahaan untuk berkegiatan di sana. Sehingga, puncaknya, camp logging milik perusahaan dibakar oleh masyarakat pada tahun 1998.

Selanjutnya, ketika objek lahan dialihkan atau apapunlah istilahnya, ke PT Fajar Pematang Indah Lestari (FPIL), masyarakat pun tidak diberitahu.

Abun Yani, anggota DPRD Provinsi Jambi yang bersaksi pada persidangan Bahusni di PN Sengeti, Rabu (27/9). (photo credits : Junus Nuh/amira.co.id)

Tetapi, sejak awal perkara pidana ini disidangkan, tiga orang majelis hakim tampak tidak tertarik dengan penjelasan asal usul, sejarah dan budaya lokal yang diberikan para saksi.

Majelis hakim lebih tertarik untuk bertanya tentang “apakah para saksi pernah melihat Bahusni di lokasi” atau “apakah saksi mengetahui bahwa Bahusni mengajak warga untuk mengambil TBS di areal berkonflik itu,” dan pertanyaan serupa.

Meskipun, sebenarnya, adalah hak prerogatif majelis hakim untuk bertanya tentang apa. Tetapi, persoalan konflik tenurial, yang mana di Provinsi Jambi, Undang-Undang Perkebunan sering digunakan sebagai dakwaan terhadap seseorang, tentu tidak seharusnya hanya melihat persoalan dari satu sisi saja.

“Harapan saya, hakim dapat memutuskan dengan seadil-adilnya,” kata Abun Yani.

Sementara saksi kedua, Frans Doddy Kusumanegara juga menjelaskan mengapa peristiwa reclaiming itu terjadi. Ia juga menjelaskan tentang adanya hak masyarakat lokal di sana, karena sebelum perusahaan hadir, lahan itu adalah wilayah kelola masyarakat.

Tetapi, sama seperti saksi-saksi sebelumnya, penjelasan saksi terkait asal usul, sejarah dan budaya lokal tidak menarik perhatian majelis hakim.

Setiap penjelasan saksi yang menjelaskan secara detail terkait asal usul, sejarah dan budaya lokal, selalu dipotong dan diganti dengan pertanyaan seperti “apakah mencuri itu diperbolehkan?”, atau “siapa yang menanam tanaman sawit di sana?”, dan pertanyaan-pertanyaan sejenis, yang hampir sama.

Dari persidangan demi persidangan, dapat dilihat tentang tata cara pemberian izin yang “tidak keruan”. Yang melupakan masyarakat lokal dan haknya.

Sehingga, kata Abun Yani, persoalan konflik agraria PT FPIL dan warga Desa Sumber Jaya termasuk satu dari tujuh persoalan konflik agraria di Provinsi Jambi yang telah dilaporkan ke Kementerian ATR/BPN dan harus diselesaikan secepatnya.

Abun Yani sendiri, adalah warga Kumpe Ulu. Ia mengetahui tentang lahan yang ada di sana. Ia pun adalah anggota Pansus Penyelesaian Konflik Agraria di Provinsi Jambi.

Pada tahun 2022 lalu, Pansus Penyelesaian Konflik Agraria merekomendasikan untuk mencabut izin PT FPIL. Ini tentu dengan melihat banyaknya persoalan konflik agraria di areal perusahaan itu.

PT FPIL juga terlibat konflik agraria dengan warga desa tetangga, Desa Sumber Jaya, yakni Desa Teluk Raya.

“Pihak perusahaan telah kami undang untuk menjelaskan persoalan. Tetapi, tiga kali undangan dari kami tidak pernah ditanggapi oleh pihak perusahaan,” katanya.

Setiap berurusan dengan PT FPIL, warga Desa Sumber Jaya memang tidak pernah bertemu langsung dengan dengan pihak perusahaan. Melainkan dengan pihak pemerintah Kabupaten Muarojambi.

Dalam suatu pertemuan, pernah digunakan penjelasan “Kita sepakat untuk tidak bersepakat.”

Artinya, akar masalah dari persoalan konflik agraria ini tidak pernah disentuh.*

avatar

Redaksi