Hutan Harapan – Tanjung Mandiri Intens Jajaki Perhutanan Sosial
Lingkungan & Krisis Iklim
September 17, 2023
Jon Afrizal
Kondisi ruas jalan di Dusun Tanjung Mandiri Desa Bungku Kecamatan Bajubang Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi. (photo credits: Jon Afrizal/amira.co.id)
KONFLIK yang terjadi lebih dari 10 tahun antara pihak pengelola Hutan Harapan, PT Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI), dengan penduduk di Desa Tanjung Mandiri dan sekitarnya sedikit demi sedikit mulai diurai. Pihak pengelola dan penduduk mulai menjajakinya kesepahaman untuk melaksanakan program Perhutanan Sosial (PS).
“Program ini memberi jaminan keberlangsungan hutan dan juga penghidupan masyarakat di sekitar kawasan hutan,” kata Muchta Lutfi, dari divisi Community Development Hutan Harapan, baru-baru ini.
Pengelola menggandeng pemerintah daerah, yakni Dinas Kehutanan dan BP DAS Batanghari untuk mensosialisasikan program Perhutanan Sosial yang telah disahkan oleh pemerintah pusat itu. Supaya tujuan masing-masing, baik Hutan Harapan maupun masyarakat dapat saling melengkapi.
Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Pematang Talang di Dusun Tanjung Mandiri sepertinya akan melaksanakan MoU dengan Hutan Harapan untuk pelaksanaan Perhutanan Sosial. Gapoktan beranggotakan 56 orang ini adalah satu dari lima Gapoktan yang ada di Dusun Tanjung Mandiri.
Sehingga, tercipta harapan-harapan baru bergabungnya Gapoktan yang lain di Dusun Tanjung Mandiri untuk mendukung program Perhutanan Sosial. Begitu juga dengan Tanjung Lebar dan Pangkalan Ranjau.
Sebab, disadari atau tidak, komunikasi antar pihak pengelola dan masyarakat selama ini tidak terjalin dengan baik. Sehingga muncul konflik dan penolakan dari masyarakat terhadap wilayah restorasi ekosistem pertama di Indonesia ini.
“Sebelumnya, saya tidak memahami apa itu Perhutanan Sosial. Sekarang, sedikit demi sedikit saya mulai paham,” kata Siswanto, pemuka masyarakat Tanjung Mandiri.
Meskipun, jika melihat peta penetapan dari pemerintah, wilayah itu adalah konsesi restorasi ekosistem, tetapi, beberapa wilayah di Desa Bungku juga telah dikuasai dan dimiliki masyarakat.
Urusan “perut” tentunya tidak dapat dengan mudah diselesaikan melalui peta saja. Tetapi dengan bertemu langsung, mendengar dan memahami apa yang dirasakan oleh masyarakat.
Sehingga, menjaga kelestarian hutan dapat dilakukan secara bersama-sama.
Sebab, masing-masing warga telah memiliki minimal 2 hektare lahan. Lahan itu mereka tanami dengan sawit.
Tandan Buah Segar (TBS) sawit mereka jual ke Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang berada di Kecamatan Sungai Bahar Kabupaten Muarojambi.
Sebut saja keterlanjuran. Tetapi, dengan program Perhutanan Sosial ini, warga dapat tetap menikmati hasil sawit mereka hingga satu daur tanam, yakni 25 tahun, tanpa menambah luasan. Sembari melihat potensi-potensi kehutanan yang dapat mereka tanami untuk menggantikan sawit.
Penghidupan masyarakat pun tidak serta-merta hilang, karena sawit harus ditumbang.
Juga untuk membatasi gerak jual – beli lahan di kawasan hutan yang telah ditetapkan negara ini. Sebab, diakui atau tidak, praktek jual – beli di kawasan hutan telah lama terjadi.
Faktor utama adalah administrasi yang membingungkan. Dimana Desa Bungku berda di Kabupaten Batanghari, tetapi secara penghidupan, lebih dekat ke Desa Sungai Bahar.
Dualisme ini akan semakin kentara pada tahun politik. Jika bicara soal “lumbung suara” dan massa akar rumput.
Kekacauan administrasi yang selama ini dimanfaatkan pihak-pihak yang mencari keuntungan untuk diri sendiri. Sehingga, warga terbelah. Beberapa dari mereka memiliki KTP Muarojambi dan yang lainnya memiliki KTP Batanghari.
Akibat kekacauan ini, apa yang disebut sebagai “perambahan” telah meringsek kawasan hutan dataran rendah Sumatera ini. Hutan Harapan, yang berada di lanskap Jambi – Sumatera Selatan adalah kawasan hutan tersisa yang harus diperbaiki karena aktivitas legal logging dan illegal logging sepanjang tahun 1970-an hingga 1990-an.
Sehingga beberapa NGO menginisiasi terciptanya hutan sekitar 1 juta hektare ini, pada awal tahun 2000, untuk perbaikan ekosistem di bagian tengah Pulau Sumatera. Sebagai tempat sumber-sumber air bagi banyak orang yang berada sekitar di lansekap ini.
Rusaknya lingkungan, oleh perlakuan manusia, yang kini biasa disebut dengan “Climate Change”, tentu juga harus diperbaiki oleh manusia itu sendiri. Sebagai subjek utama di bumi.*