Dunia Dalam Tradisi Berkabar
Hak Asasi Manusia
August 19, 2023
Jon Afrizal
SIAPAPUN, terhubung dengan orang lain. Rasa terhubung itulah, baik secara sosial maupun psikologi, yang membuat setiap orang butuh kabar cerita.
Kabar cerita tentang orang lain yang mereka kenal. Kabar akan bersambung cerita, yang kemudian disebut komunikasi.
Komunikasi membutuhkan alat, berupa bahasa yang dapat saling dimengerti, oleh si pembawa kabar, dan yang mendengarkan kabar. Untuk membuat kabar cerita enak didengar, butuh sentuhan, yang kemudian disebut teknik, dan terus berkembang hingga kini, satu diantaranya adalah jurnalisme.
Kitab-kitab suci pun menggunakan pola sejenis itu, yang hanya sedikit dari kita yang menyadarinya. Bahwa apa yang tertulis di sana adalah juga kabar. Kabar tentang hari kemarin, dan kemungkinan-kemungkinan, jika kita menggunakan bahasa manusia, yang kita hadapi di hari ini ataupun hari esok.
Sebuah aliran di sebuah agama pun menggunakan bahasa “berkabar” untuk menyampaikan pesan-pesan dari Sang Pencipta. Sehingga, bercerita dan berkabar adalah sama tuanya dengan peradaban manusia.
Bahkan, ketika anda sedang mengunjungi suatu tempat, secara sadar atau tidak, ketika bertemu dengan orang lain di sana, akan menuju kepada sebuah percakapan, dimana anda dan orang lain itu tengah membicarakan tentang seorang yang saling dikenal.
“Eh, dimana dia sekarang? Apa kabarnya?”
Mungkin itu percakapan sederhana yang akan terjadi. Dan, itu termasuk dalam kategori kabar cerita juga.
Sehingga, keasikan kita semua dalam berkabar cerita, terus beradaptasi sesuai dengan jaman dan teknologi. Sederhanakan semua istilah ini, jika kita mulai dibingungkan dengan definisi. Sebut saja : bertelekomunikasi.
Setiap orang akan bertelekomunikasi dengan siapapun, yang ia kenal atau ingin ia kenal. Sejak lama peradaban manusia telah mengenal huruf tulisan, yang berlanjut menjadi gelombang suara, dan seterusnya: internet.
Pada masa tulisan, mungkin banyak orang yang menyebutnya ketinggalan jaman, terdapat berbagai macam sarana.
Mulai dari surat menyurat, yang kemudian disebut dengan ber-korespondensi.
Hingga kini, banyak dari kantor berita atau media menggunakan kata “koresponden” untuk menjelaskan seorang jurnalisnya yang ditempatkan atau bertugas di sebuah wilayah yang berada di luar kantor pusat mereka.
Lalu, terciptalah koran, yakni sesuatu kabar berita, atau pengumuman yang layak untuk diketahui banyak orang. Koran yang biasanya terbuat dari “kertas reces” itu hampir seabad ini dinikmati banyak orang.
Pada awalnya, hanyalah selembar kertas saja, yang disebut selebaran atau sejenisnya. Untuk kemudian dibagi-bagikan atau ditempelkan di dinding agar banyak orang yang membacanya dan mengetahui apa maksud dari si penulis itu. Bisa saja pemerintah yang sedang berkuasa, atau lembaga, ataupun perseorangan.
Tradisi ini, kini masih ada juga yang menggunakannya. Seperti pamflet, flyer, dan sejenisnya. Karena, sesuai hukum ekonomi dimana ada yang membutuhkan pasti ada yang akan menjual, lalu berubahlah menjadi sebuah industri; industri surat kabar. Atau, dalam bahasa kekinian disebut industri media.
Tidak cukup sampai di sana saja. Sejak era internet mulai memasuki wilayah “maya” di Indonesia, di kitaran tahun ‘90-an lalu, banyak orang mulai berpikir untuk menggunakan sesuatu yang baru seiring peradaban yang terus maju.
Maka, terciptalah berbagai website media. Tentu saja, pada awalnya tidak begitu diminati. Sebab internet “hanya milik beberapa orang saja” terkait uang yang harus dikeluarkan untuk nongkrong di warung internet, pada saat itu.
Sejak pertengahaan 2000, banyak orang yang menyadari bahwa internet adalah kebutuhan. Perlahan-lahan, industri media beradaptasi ke arah sana.
Meskipun, banyak orang yang masih punya kebiasaan menunggu loper koran menyambangi rumah mereka di pagi atau petang hari. Banyak orang yang masih menikmati membaca lembar demi lembar kertas koran, sambil menikmati secangkir kopi, atau nongkrong di toilet.
Itulah sebuah kebiasaan, atau, sebut saja budaya. Sebagai sebuah budaya, tentu saja butuh waktu untuk mengubahnya. Pelaporan dari setiap koresponden media ke redaksi pun cukup beradaptasi.
Mulai dari menggunakan faximile, lalu email, dan sekarang, ehm, hanya dengan menggunakan aplikasi Whatsapp saja.
Tetapi, tidak semua wilayah di negeri ini, yang secara utuh telah disambangi internet. Untuk beberapa wilayah, atau dalam kondisi tertentu, tidak jarang seorang koresponden media melakukan reportase ke redaksi hanya dengan mengandalkan telepon manual saja, yang sangat bergantung dengan pulsa itu.
Jaman memang terus berubah, seiring kapasitas otak manusia yang terus berpikir, berpikir, berpikir dan bertindak. Siapapun yang tidak sanggup mengikuti perubahan, akan tertinggal jauh di belakang.*