Kretek, Warisan Budaya Indonesia Dalam Skema Perang Dagang
Budaya & Seni
December 26, 2025
Jon Afrizal

Pekerja perempuan sedang memetik daun tembakau di lereng Gunung Sindoro, Temanggung, Jawa Tengah. (credits: Flickr)
Jika, anggur Jacob’s Creek adalah warisan nasional Australia, maka, dapat saja, Indonesia mewarisi Kretek.
TEMBAKAU, mungkin, bukanlah melulu tentang racun saja, seperti yang dipersepsikan dan dikampanyekan oleh beberapa kalangan ahli farmasi dan kesehatan saat ini. Fahmi Idris, dalam “Divine Kretek Rokok Sehat” menyebutkan bahwa nikotin pada tembakau sangat istimewa dan bermanfaat bagi tubuh manusia.
Di masa lalu, katanya, tembakau telah dimanfaatkan secara luas sebagai bahan obat-obatan. Demikian yang tertulis di banyak buku dari bangsa-bangsa di berbagai belahan bumi ini. Sehingga, tembakau yang dulu baik dan bermanfaat, tentu saja sekarang pun akan tetap baik dan bermanfaat.
Indonesia mengenal kretek. Yakni rokok yang berasal dari tembakau sebagai bahan utama, yang kemudian diracik dengan cengkeh (Syzygium aromaticum) dan rempah-rempah lainnya.
Sander L Gilman dalam bukunya berjudul “Smoke: A Global History of Smoking” menyebutkan bahwa asal-usul nama “Kretek” berasal dari suara rokok saat dihisap. Sebelum diproduksi menggunakan lapisan kertas halus sejak abad ke-19 Masehi, para Warok Ponorogo telah menghisap Rokok Kretek yang dilapisi klobot dari kulit Jagung.
Rokok jenis ini dikenal dengan Kretek Klobot atau Rokok Klobot. Perilaku Warok yang merokok Kretek Klobot sudah berlangsung ratusan tahun lamanya. Bahkan rokok digunakan sebagai sarana spiritual sebagai sesajen pada pertunjukan Reog.
Mengutip laman Djarum, kisah kretek dimulai dari kota Kudus, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Seorang warga Kudus, Haji Jamhari, pertama kali menemukan rokok kretek pada tahun 1880.

Rokok Klobot. (credits: Flickr)
Ketika itu, Haji Jamhari sedang sakit dada karena penyakit asma. Untuk meredakan sakit itu, maka ia kerap mengoleskan minyak cengkih pada dadanya untuk mengurangi rasa sesak.
Lalu, ia bereksperimen dengan menambahkan cengkih pada rokoknya, dengan harapan agar paru-parunya dapat membaik dengan menghirup asapnya. Pun akhirnya, Haji Jamhari sembuh.
Maka ia pun memasarkan penemuannya yang dinamainya sebagai “kretek” sebagai obat. Nama ini diambil dari bunyi kemeretek yang dihasilkan oleh cengkih saat terbakar.
Selanjutnya, penemuan tidak disengaja dari Haji Jamhari dilanjutkan oleh Nitisemito, yang juga seorang warga Kudus. Ia kemudian memanfaatkannya untuk dipasarkan dan memulai produksi rokok kretek secara massal dengan citarasa baru yang unik itu.
Di saat banyak penduduk yang merokok kretek dengan cara dilinting menggunakan kulit jagung dengan tangan. Dan kretek hanyalah produksi rumahan sederhana, maka Nitisemito meluncurkan rokok kretek merek “Bal Tiga” disertai dengan kampanye pemasaran.
Tetapi, rokok kretek merek “Bal Tiga” bangkrut pada tahun 1955, dikarenakan kemelut ekonomi pada Perang Dunia Kedua. Namun, hingga hari ini sebagai bukti dari warisan budaya kretek, Kota Kudus memiliki “Jalan Bal Tiga”, sebagai satu nama jalan.
Tembakau diperkenalkan di Nusantara oleh ekspedisi para penjelajah Eropa. Yang kemudian tersebar di lebih dari 250.000 lahan budidaya, terutama di Sumatera, Jawa, Bali, dan Lombok, dengan lebih dari 100 varietas tembakau tumbuh di Indonesia.
Tentu saja, perbedaan aroma dan kandungan nikotinnya ditentukan dari daerah asalnya, tingkat kesuburan tanah, curah hujan, ketinggian lahan dari permukaan laut, iklim, dan tradisi pertanian setempat. Namun, tembakau terbaik, tetap, berasal dari daerah Temangggung, Jawa Tengah.
Dengan iklim yang unik di daerah pegunungan, Temanggung menghasilkan tembakau terharum, dan dengan kandungan nikotin tertinggi di dunia.
Sementara, jika bicara kretek, maka cengkih adalah satu tanaman rempah asli Indonesia, tepatnya dari Maluku. Cengkih telah lama digunakan sebagai berbagai obat di Nusantara, karena memiliki banyak khasiat bagi tubuh manusia.
Kretek juga diperkaya dengan kombinasi rempah-rempah Nusantara pilihan. Ekstrak herbal dari bahan-bahan rempah itulah yang membentuk aroma dan citarasa yang berbeda di tiap merek rokok kretek.
Setiap rempah yang dipilih mengandung bahan-bahan yang bermanfaat sebagai penguat rasa, aroma, maupun pengawet alami. Rempah yang digunakan antara lain, adalah; adas manis, bunga lawang, vanili, kayu manis, pala, kapulaga jawa, akar manis, andaliman, kelembak, jintan hitam, dan daun salam.

Museum Kretek, Kudus Jawa Tengah. (credits: Pemkab Kudus)
Proses manufaktur kretek lebih rumit jika dibandingkan dengan jenis rokok lainnya. Selain menggunakan tembakau dan cengkih Indonesia, citarasa tiap merek kretek ditentukan oleh bahan-bahan spesial yang ditambahkan pada saat proses produksi.
Namun, regulasi Amerika Serikat dalam “Federal Food, Drug, Cosmetic Act” pada tahun 2012 melarang produksi dan penjualaan rokok dengan ciri aroma seperti kretek, strawberi, anggur, jeruk, kopi, vanila dan coklat. Tapi, anehnya, tidak memasukkan rokok mentol, produksi negara itu, di dalam regulasi itu.
Sehingga, mengutip laman World Trade Organization (WTO), regulasi teknis Amerika Serikat sangat terkait dengan penjualan dan produksi rokok kretek Indonesia pada waktu itu. Yang menyebabkan ekspor kretek Indonesia tidak ada sama sekali ke Amerika dalam beberapa tahun. Tetapi, WTO memenangkan Indonesia, dan menyatakan Amerika Serikat tidak konsisten dalalm regulasinya sendiri.
Kretek, bagaimanapun, adalah rokok dengan citarasa khas Indonesia, dan, citarasa “berat” bagi perokok pada umumnya.
Saking khasnya, maka rokok kretek legendaris merek “Dji Sam Soe” yang diproduksi oleh Liem Seeng Tee di Surabaya, Jawa Timur sejak tahun 1913, diakuisisi oleh Philip Morris International Inc pada Mei 2005. Kesepakatan ini bernilai sekitar USD 5,2 miliar menjadikan Philip Morris Inc sebagai pengendali utama kretek legendaris Indonesia itu. Demikian mengutip laman IDN Financials dan Stockbit.
Sehingga, semuanya adalah tentang perang dagang, dan bagaimana uang tetap berputar. Dan, tentu saja, sangat jauh dari kata: kesehatan.
Seperti yang dinyatakan Wanda Hamilton dalam buku “Nicotine War”, bahwa gerakan anti-tembakau ibarat mesin pencetak uang, dan pemburu karir bagi para penguasa. Perusahaan-perusahaan obat membayar dengan harga tinggi untuk kerja anti-tembakau dan untuk riset nikotin dan anti-tembakau, demikian pula dengan pemerintah.
Dimana “Perang Nikotin” menguntungkan perusahaan obat dari berbagai segi: mendongkrak laba, membuka jalur obat-obatan baru ke pasar dan mendorong perkembangan negara terapeutik lebih lanjut, yang akan menjamin peningkatan laba di kemudian hari.
Meskipun, menurut Halodoc, kandungan zat berbahaya dalam rokok kretek, terutama adalah kombinasi tar dan eugenol, dapat menimbulkan dampak kesehatan. Beberapa bahayanya, antara lain, adalah; resiko kerusakan paru-paru yang lebih besar, peningkatan risiko kanker, memicu penyakit jantung dan stroke, kecanduan nikotin yang lebih sulit diatasi, dan, gangguan serius pada kesehatan gigi dan mulut.
Merokok jenis apapun, jika terlalu banyak, tentu saja berbahaya bagi kesehatan.
Bahkan, pun jika anda terlalu banyak minum air putih, akan memberikan efek buruk bagi tubuh anda. Yakni dapat membuat perut menjadi kembung.
Sehingga, apapun itu, jika berlebihan tentu saja akan berakibat fatal. Dan, tidak fair untuk melulu menyalahkan kretek warisan budaya dan tradisi Indonesia saja.*
