Koran Kuning; Ketika Sensualitas Masuk Ruang Redaksi

Ekonomi & Bisnis

November 17, 2025

Jon Afrizal

Loper Koran. (credist: Wow Shack)

“Ini jurnalisme apa?” Menteri Penerangan Budiarjo (1968–1973)

SEJAK Reformasi ’98, semangat “terbebaskan” bermedia bertumbuh di Indonesia. Segala jenis koran kuning bermunculan dengan berbagai bentuk.

Jejak “Koran Kuning” di Indonesia, mengutip Iwan Awaluddin Yusuf, telah ada sebelum Indonesia merdeka. Tetapi, pilar utama kelahiran “Koran Kuning” modern adalah Pos Kota, yang terbit pertama kali pada tahun 1970.

Pos Kota, yang digawangi Harmoko dan kawan-kawan hadir sebagai koran populer yang seolah “melawan arus” media mainstream dan budaya media massa kala itu. Dengan “tampil beda”, Pos Kota justru berhasil dalam persaingan bisnis suratkabar.

Terbit pertama kali dengan hanya 3.500 eksemplar, hanya dalam beberapa waktu, Pos Kota mengalami peningkatan oplah menjadi hingga 60.000 eksemplar.

“Ini jurnalisme apa?” tanya Menteri Penerangan Budiarjo, sewaktu itu.

Lantas, Harmoko menjawab, “Pokoknya kalau bukan golongan menengah ke bawah, lebih baik jangan baca.”

Sensasional, itulah kuncinya. Juga, sensualitas, tentu saja.

Pada Pos Kota edisi 15 September 1970, mengutip Perpusnas, menampilkan sosok Cut Zahra Fona, wanita asal Sigli, Aceh. Cut Zahra Fona mengaku sedang mengandung “Bayi Ajaib”, sebab bayi yang dikandungnya sudah dapat mengaji Al-Qur’an.

Pun Wakil Presiden RI Adam Malik sempat mengundang Cut Zahara Fona untuk datang ke Istana Wakil Presiden. Dan, Adam Malik pun sempat menempelkan kupingnya ke perut Cut Zahara Fona untuk mendengar suara “Bayi Ajaib” itu.

“Buya Hamka sebenarnya tidak percaya,” kata sejarawan Universitas Indonesia, Anhar Gonggong, mengutip Detik.

Tapi, katanya, Buya Hamka hanya memberi reaksi dengan menyatakan, “Jika Tuhan menghendaki memang bisa terjadi.”

Setelah semuanya serba membingungkan, dan, Cut Zahra Fona selalu menolak bayinya diperiksa, dengan alasan bahwa bayi yang dalam kandungannya tidak berkenan untuk diperiksa. Dalam pelariannnya, akhirnya, Cut Zahra Fona ditangkap polisi di rumah Kepala Kampung Gambut, Kalimantan.

Koran Pos Kota. (credits: Facebook)

Ditemukan barang bukti berupa satu tape recorder type nomor EL 3302/OOG No. 189984, dan kaset tape berisi suara bayi menangis dan membaca ayat-ayat suci Al Quran.

Namun, Pos Kota juga menghadirkan lembar cerita bergambar atau komik. Seperti “Doyok” dan “Ali Oncom”, misalnya.

Para ahli dan peneliti ilmu-ilmu sosial di luar negeri pun menjadikan Pos Kota sebagai bahan studi. Sebab, Pos Kota dianggap mampu merefleksikan denyut sosial masyarakat perkotaan lapis bawah di Indonesia.

Bahkan, survei Media SPS pada tahun 2000 menyebutkan bahwa pembaca Pos Kota di Jabotabek mencapai 2.304.000 orang. Angka yang jauh mengungguli Kompas yang memiliki jumlah pembaca di Jabotabek sebanyak 1.521.000 orang

Beberapa dekade setelah itu, tepat pada tanggal 26 November 2001, terbitlah koran Lampu Merah. Masih dengan semangat yang sama, berita-berita sensasional, dan kecenderung seksualitas.

Koran Lampu Merah, mengutip Andreas Harsono, diterbitkan dari kantor harian Indo Pos di Kebayoran Lama, Jakarta. Koran ini adalah anak perusahaan Jawa Pos.

Jawa Pos, masih mengutip Andreas Harsono, termasuk satu konglomerat media yang membiarkan sensasionalisme masuk ke ruang redaksi mereka. CEO Jawa Pos sewaktu itu adalah Dahlan Iskan, yang mantan wartawan mingguan Tempo. Dan, Goenawan Mohamad pun ikut punya saham di koran “Lampu Merah”.

Hampir di saat yang bersamaan, muncul pula koran-koran jenis serupa. “Koran Kuning” mampu menarik perhatian masyarakat, dikarenakan berita-berita sensasional yang ditampilkan.

Tapi, koran Lampu Merah adalah fenomena kesuksesan “Koran Kuning” di Indonesia, yang terbit setelah masa reformasi. Dalam waktu yang cukup singkat sejak berdiri tanggal 26 November 2001, Lampu Merah berhasil menjaring pembaca sebanyak 1,3 juta pada tahun 2004, dan mencapai break even point (BEP) hanya kurang dari 1 tahun.

Satu ciri utama koran Lampu Merah, adalah penulisan judul headline berupa kalimat panjang terdiri dari 10 hingga 20 kata. Judul ini umumnya ditulis dalam ukuran besar dengan huruf kapital.

Namun pada edisi tertentu juga memiliki anak judul yang ditulis lebih kecil yang ditempatkan di atas atau di bawah judul utama.

Sensasional, menggungah rasa ingin, dan terkesan jauh dari nalar.

Koran Lampu Merah. (credist: Iwan Awaluddin Yusuf)

Panjang berita headline Lampu Merah berkisar antara 6 hingga 10 paragraf, termasuk lead. Penulisan lead tidak selalu dicetak dengan ukuran huruf yang lebih besar dibanding huruf body berita sebagaimana lazimnya penulisan lead suratkabar.

Masih mengutip Iwan Awaluddin Yusuf, aspek visual yang digunakan oleh “Koran Kuning” antara lain, adalah; scare-heads; yakni headline yang memberi efek ketakutan, yang ditulis dalam ukuran font yang sangat besar, dicetak dengan warna hitam atau merah. Lalu, seringkali materinya berisi berita-berita yang tidak penting.

Kemudian, penggunaan foto dan gambar yang berlebihan. Juga, suplemen pada hari Minggu, yang berisi komik berwarna dan artikel-artikel sepele.

Terakhir, juga menambahkan adanya teknik verbal berbagai jenis peniruan dan penipuan. Misalnya; cerita dan wawancara palsu, judul yang menyesatkan, pseudo-science, dan bahkan judul-judul penuh kebohongan.

Bahkan, mengutip Dewan Pers, Lampu Merah edisi edisi Minggu, 29 Juni 2008 pun telah di-rapat pleno Dewan Pers, pada Senin, 14 Juli 2008. Edisi ini memuat tulisan berjudul “Noni si Nona Nikmat Menghilangkan Penat di Otakku”, dan mendapat banyak keluhan dari masyarakat.

Dalam pertemuan dengan Dewan Pers, Lampu Merah berjanji tidak akan memuat tulisan sejenis dan menyampaikan permintaan maaf kepada masyarakat. Permintaan maaf tersebut termuat di Lampu Merah edisi Rabu, 9 Juli 2008.

Lantas, hari ini, ketika industri media Indonesia masih dalam keterpurukan, dan selalu bersaing ketat dengan pola “fyp” ala media sosial, pertanyaan yang sama akan muncul kembali.

Tentang, “Jurnalisme jenis apa yang kita – semua – inginkan saat ini?”*

avatar

Redaksi