AJI-PFI Dan Polda Jambi Berkomitmen Lindungi Kerja Jurnalis
Daulat
November 15, 2025
Prameswari Rajapatni/Kota Jambi

Kebebasan Pers. (credist: Shutterstock)
KAPOLDA Jambi Irjen Pol Krisno Halomoan Siregar menyampaikan permintaan maaf atas insiden penghalang-halangan jurnalis yang terjadi pada saat wartawan akan wawancara cegat rombongan Komisi III DPR yang berkunjung di Polda Jambi pada 12 September 2025 lalu.
Penghalangan ini dilakukan oleh jajaran Bidhumas Polda Jambi, yakni Kaurpenmas Bidhumas Polda Jambi Ipda Maulana.
Permintaan maaf disampaikan langsung oleh Irjen Krisno H Siregar, dalam pertemuan dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jambi, Pewarta Foto Indonesia (PFI) Jambi, serta tiga wartawan yang menjadi korban penghalangan.
Pertemuan berlangsung di Rumah Kebangsaan Siginjai, Thehok, Kota Jambi, Selasa (11/11).
Krisno mengakui pihaknya tidak berniat menghalangi wartawan untuk melakukan kerja jurnalistik. Ia memahami peristiwa itu sebagai kesalahan anggotanya dalam memahami arahannya.
“Jika rekan-rekan ingin permintaan maaf saya, saya sampaikan, bahwa saya meminta maaf atas peristiwa itu,” demikian Krisno mengatakan, mengutip rilis AJI Jambi – PFI, tertanggal 11 November 2025.
“Baik itu permintaan maaf dari kelembagaan Polda Jambi maupun pribadi. Tidak ada niat kami untuk menghalangi,” tambahnya.
Menurutnya, pertemuan ini adalah bagus, mengingat setiap persoalan harus diselesaikan dengan bai dan jelas.
“Sekarang, semuanya sudah clear,” katanya.

Pertemuan AJI Jambi – PFI Jambi dengan Kapolda Jambi. (credits: AJI Jambi)
Krisno meminta satu jurnalis korban penghalang-halangan aparat untuk angkat bicara. Lalu, Aryo Tondang pun mewakili ketiga korban.
Aryo menjelaskan bahwa peristiwa itu terjadi karena tim Bidhumas Polda Jambi belum memahami betul kerja-kerja jurnalistik. Padahal, sudah ada aturannya yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang “Pers” (UU Pers).
“Kami, wartawan juga tidak lebay. Jika sifatnya hanya gesekan biasa, kita maklumi,” kata Aryo.
Seorang jurnalis memang dituntut memahami tentang dinamika dalam proses liputan. Namun, menilik pada peristiwa September 2025 silam, insiden itu jelas merupakan bentuk penghalang-halangan aparat kepada kerja jurnalis.
Menurut Aryo, pelakunya bahkan menyeret dirinya sampai menjauh dari rombongan narasumber di lokasi. Hal itulah yang sangat disesalkan. Karena itu, ia berharap pertemuan ini juga menjadi awal yang baik agar ke depannya tidak lagi terjadi insiden serupa.
“Tuntutan kita sejak awal ada empat poin, tetapi dua poin yang terkait dengan Polda Jambi, yakni proses hukum bagi anggota yang melakukan penghalangan kerja jurnalis. Kedua, permintaan maaf Kapolda Jambi secara terbuka,” kata Ketua PFI Jambi Irma Tambunan.
Irma menyebut bahwa peristiwa itu selayaknya menjadi evaluasi dan pembelajaran bagi Polda Jambi untuk ke depannya lebih memahami kerja-kerja jurnalis sehingga tidak lagi melakukan penghalang-halangan.
Sementara itu, Ketua AJI Jambi Suwandy Wendy meminta Irjen Krisno menandatangani dokumen komitmen bersama Kepolisian Daerah (Polda) dan jajarannya dengan AJI Jambi dan PFI Jambi tentang perlindungan kerja jurnalistik di lingkup Polda Jambi.
“Dari tingkat Mapolda Jambi sampai level polsek-polsek, di area konflik dan unjuk rasa, kerja-kerja jurnalistik dapat dilindungi. Kami berharap secepatnya dokumen komitmen bersama ini, bisa ditandatangani secara bersama-sama,” kata Wendy.
Dengan menandatangani, setidaknya dapat meredam potensi kekerasan dan kriminalisasi terhadap jurnalis yang sedang melakukan peliputan.
Selanjutnya, advokasi penghalangan tiga jurnalis di Mapolda Jambi dua bulan lalu, dapat dinyatakan berakhir, dengan komitmen dari pihak kepolisian untuk senantiasi melindungi kerja jurnalistik.
Meskipun, kasus penghalangan jurnalis saat liputan telah menjadi cacatan AJI Jambi di tahun ini. Tentu ini akan mempengaruhi survei Indeks Kebebasan Pers (IKP) Jambi, yang tahun 2024 lalu turun dari peringkat 12 menjadi peringkat 32 dari 38 provinsi di seluruh Indonesia.*
