Butet Bukan Dari Batak
Budaya & Seni
August 29, 2025
Farokh Idris

Stasiun Kereta Api Medan, Ooskust. (credits: Tropen Museum)
NAMA “Butet”, lazim diketahui adalah penyebutan dari orangtua untuk perempuan atau anak perempuan Batak. Umumnya, digunakan sebagai panggilan penuh kasih sayang.
Namun, penyusuran sejarah menyatakan bahwa nama “Butet” belumlah tentu berasal dari Tanah Batak.
Akhir Matua Harahap dalam blog pribadinya menjelaskan bahwa, sebelum nama “Butet” dikenal di Tanah Batak, nama Butet sudah sejak lama digunakan oleh orang Eropa sebagai nama seseorang.
Penggunan nama “Boetet” atau “Butet”, adalah, Boetet Schoppe, yang tercatat pada Leydse Courant, edisi 28 November 1725. Lalu, Gerrit Boetet yang tercatat pada Amsterdamse Courant edisi 09 April 1774.
Kemudian, Butet & Co yang tercatat pada Algemeen Handelsblad edisi 05 Januai 1912. Selanjutnya, H.L. Boetet yang tercatat pada Leeuwarder Courant edisi 30 Mei 1913). Juga, notaris LA Butet yang tercatat pada Algemeen Handelsblad edisi 13 Desember 1917.
Bahkan, “Butet” adalah nama marga di Eropa.
Jejak penggunaan nama “Butet” di Oostkust (Sumatera Timur) pertama kali diketahui di awal tahun 1900-an.
Masih menurut Akhir Matua Harahap, pada masa 1919, terdapat seorang perempuan bernama Boetet Satidjah. Perempuan itu berasal dari Padang Sidempuan.
Boetet Satidjah adalah redaktur suratkabar bulanan “Perempoean Bergerak” yang terbit di Medan pada tahun 1919. Demikian mengutip De Preanger-bode tertanggal 19 Juni 1919.

Algemeen Handelsblad. (credits: Delpher)
Edisi pertama koran ini terbit di kantornya di Jalan Wilhelminastraat, Deli, Sumatera Timur pada tanggal 15 Mei 1919.
Motto “Perempoean Bergerak” adalah “De beste stuurlui staan aan wal” (: sahabat terbaik mampu melindungi). Tujuan dari majalah ini memajukan tindakan wanita, sesuai untuk mendukung keinginannya saat ini, dan juga membantu aksi pria.
Selanjutnya, mengutip buku “Seabad Pers Kebangsaan 1907 – 2007” surat kabar ini mencakup semua hal terkait minat wanita. Seperti masalah anak, pendidikan, kehidupan wanita itu sendiri dan urusan rumah tangga.
“Perempoean Bergerak” dapat disebut sebagai koran feminis pertama di Indonesia. Koran ini mencapai ratusan eksemplar setiap kali terbit, tetapi tidak mampu bertahan lama. Edisi terakhirnya terbit di bulan Desember 1920.
Boetet Satidjah adalah wartawati Pewarta Deli. Berpartner dengan Parada Harahap, yang masih menjabat sebagai editor Pewarta Deli, sosok Boetet Satidjah menjadi lebih kuat.
Ini dengan sendirinya, Boetet Satidjah ditempatkan jauh ke masa depan, melampaui peran yang dilakukan tokoh-tokoh wanita sejaman.
Adapun nama lainnya, adalah: Satiaman.
Boetet Satidjah, kemudian, dikenal sebagai istri dari Parada Harahap.
Lagu Batak berjudul “Butet” karya komponis Siddik Sitompul (1904 -1974), misalnya. Lagu ini menceritakan tentang kerinduan seorang ayah yang berpesan kepada anak perempuannya. Ketika itu sang ayah sedang mengikuti perang gerilya.
Mungkin saja, setelah lagu ini, nama “Butet” menjadi nama yang popular untuk panggilan anak perempuan dari orangtuanya. Namun, masih banyak kemungkinan lainnya.
Dan, jika catatan sebelumnya telah menyebutkan penggunaan nama “Butet” di Eropa, berkemungkinan, dapat diartikan bahwa nama “Butet” dibawa bangsa Eropa ke Oostkust, dan menjadi “akrab” dengan penduduk disana, dan lalu digunakan sebagai kasanah lokal.*

