Pembangkangan Sipil Dari Pati

Hak Asasi Manusia

August 19, 2025

Jon Afrizal

Warga Pati Tolak Kenaikan PBB-P2, Rabu (13/8). (credits: Antara)

“Tidak lama kemudian Kerajaan Pajajaran kalah, Kerajaan Tanah Jawa lalu pindah ke Majapahit, adapun yang menjadi rajanya adalah Brawijaya II, yaitu Jaka Pekik namanya, putranya Jaka Suruh. Pada waktu itu Kyai Ageng Pati, yang bernama Tambranegara menghadap ke Majalengka, yaitu Majapahit.” Pupuh Dandanggula

13 Agustus 2025. Ribuan warga Pati, Provinsi Jawa Timur yang bergabung dalam Aliansi Masyarakat Pati Bersatu (AMPB) berdemonstrasi menolak kebijakan Bupati Sudewo. Warga menyebut kebijakan Sudewo ini sebagai “semena-mena” menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) sebesar 250 persen.

Pembangkangan sipil, demikian definisi para ahli politik terkait aktifitas ini. Sebuah istilah yang berawal dari essay Henry David Thoreau berjudul Resistance to Civil Government, yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1849.

Meskipun, senyatanya, aktifitas ini, telah terjadi di banyak tempat di seluruh dunia, bahkan jauh sebelum Henry David Thoreau menuliskan essay ini.

Civil Disobedience (pembangkangan sipil), mengutip Britannica, adalah penolakan untuk mematuhi tuntutan atau perintah pemerintah atau penguasa wilayah atau pendudukan, tanpa menggunakan kekerasan atau tindakan perlawanan aktif. Tujuan umum dari pembangkangan sipil adalah: memaksa pemerintah atau penguasa wilayah atau pendudukan untuk memberikan hak dan izin tertentu.

Perkembangnya, pembangkangan sipil telah menjadi taktik dan filosofi utama dari gerakan nasionalis di Afrika dan India, gerakan hak-hak sipil di Amerika, gerakan buruh, gerakan antiperang, dan gerakan sosial lainnya di banyak negara.

Sebut saja, gerakan nasionalisme Mahatma Gandhi dengan Ahimsa, misalnya. Yang, selanjutnya, menginspirasi gerakan anti-rasial Martin Luther King Jr dengan teriakan “I Have A Dream”.

Pada demonstrasi di Pati ini, Bupati Sudewo menemui warga. Ia hanya bicara beberapa detik saja, dan disambut dengan lemparan sendal dan botol dari warga.

Sejarah mencacat bahwa tidak hanya Bupati Sudewo yang pernah mendapat lemparan sendal (alas kaki). Pada konferensi pers di Baghdad tanggal 15 Desember 2008, Presiden AS George W Bush dilempar sepatu oleh seorang jurnalis Irak.

Dalam budaya Arab, mengutip BBC, alas kaki adalah sesuatu yang najis. Namun, di luar makna Islaminya, implikasi kotor dan merendahkan dari alas kaki melampaui semua batasan agama di Timur Tengah.

Rakyat Pati memiliki sejarah panjang perlawanan terhadap pajak. Mengutip beberapa literasi, gerakan ini, mungkin saja, bermula pada awal tahun 1500-an. Dimana warga Pati memprotes Kerajaan Demak era Tombronegoro atas pajak hasil bumi yang memberatkan. Yang kenaikannya berkisar 30 persen dari sebelumnya.

Lalu, pada tahun 1540-an, di era Ki Penjawi, warga Pati melawan terhadap setoran pajak ke Demak, yang kenaikannya mencapai 20 persen. Akibatnya, Pati mengalihkan dukungan ke Kerajaan Pajang.

Kemudian, di tahun 1620-an, di era Adipati Pragola I, warga Pati menolak upeti beras yang naik sekitar 40 persen oleh Sultan Agung dari Mataram. Bahkan, Pati menolak kewajiban setor beras besar-besaran kala itu.

Alun-alun Kota Pati. (credits: Public Domain)

Beberapa tahun selanjutnya, antara tahun 1627 hingga 1628 era Adipati Pragola II, terjadi peristiwa yang disebut “Pemberontakan Pajak Besar Pati”. Dimana terjadi kenaikan pajak sebesar 50 persen kepada Sultan Agung.

Di era era Pragola III pada tahun 1670-an, kembali terjadi perlawanan menolak kewajiban pajak. Yang kenaikannya sebesar 35 persen.

Sekitar 50 tahun kemudian, pada tahun 1740, warga Pati pengikut Sunan Kuning (Mataram) melawan kenaikan bea perdagangan sebesar 25 persen oleh VOC.

Pada tahun 1741 hingga 1743, terjadi “Geger Pecinan”. Rakyat Pati pengikut  Untung Surapati menyerbu pos VOC, karena  terjadi kenaikan pajak pelabuhan sebesar 40 persen.

Di era Daendels dan Raffles, antara tahun 1811 hingga 1816, Ki Kromo Pati dan pengkikutnya melawan terhadap kenaikan sewa tanah sebesar 30 persen per tahun.

Era Cultuurstelsel tahun 1830, Petani Pati melakukan “Mogok Tanam”. Sebab pajak tanah diubah menjadi kewajiban tanam paksa, setara dengan 66 persen hasil panenan.

Ki Samin Surosentiko dan pengikutnya pada tahun 1880-an melawan Kolonial Belanada yang menaikan pajak tanah dan hasil bumi sebesar 25 persen.

Pada tahun 1942 hingga 1945, Pemerintah Jepang memungut “Pajak Tenaga”. Yakni kerja paksa 60 hari per tahun. Warga melawan.

Agresi Militer Belanda II tahun 1948, warga Pati menolak pajak darurat perang oleh Belanda dengan kenaikan 20 persen setoran pangan.

Pada tahun 1965 hingga 1966, warga Pati menolak pajak untuk “Stabilitas Orde Baru” dengan kenaikan sebesar 15 persen dari hasil panen.

Pada tahun 1998, warga Pati menuntut “Reformasi Pajak dan Korupsi”, dengan pungutan liar rata-rata 10 persen dari harga jual yang memberatkan.

Dan, pada tahun 2025, warga kembali menolak kenaikan Pajak PBB-P2 sebesar 250 persen.

Jika dibandingkan dengan perlawanan tolak pajak dari tahun 1500-an, dapat dikatakan kenaikan Pajak PBB-P2 adalah yang terbesar, yakni 250 persen.

Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 137 tahun 2017 tentang “Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan”, Kabupaten Pati terdiri dari 21 kecamatan, 5 kelurahan, dan 401 desa.

Pada tahun 2017, jumlah penduduknya mencapai 1.283.790 jiwa dengan luas wilayah 1.489,19 kilometer persegi, dan sebaran penduduk 862 jiwa pwer kilometer per segi.

Mengutip Kementrian Pertanian, Pati memiliki lumbung pangan seluas 59.720 hektare. Pada bulan Januari 2018, total luas panen padi Kabupaten Pati yaitu 9.135 hektare atau setara beras 31.927 ton.

Namun, sejauh mana, pajak dari berbagai sektor dapat memperbaiki sendi-sendi kehidupan masyarakat, tentu adalah pertanyaan real time yang harus dijawab dengan pembuktian.*

avatar

Redaksi