“Urang Kanekes” Menjejak Sakralitas

Daulat

July 23, 2025

Jon Afrizal

Urang Kanekes. (credits: Public Domain)

“Kedamaian dan kesejahteraan. Pada tahun Saka 952, bulan Kartika tanggal 12 purnama, hari Hariang, Kaliwon, hari pertama, Wuku Tambir. Hari ini adalah hari dimana raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindiksta Haro Gowardhana Wikramottunggadewa, membuat tanda di bagian timur Sanghyang Tapak. Dibuat oleh Sri Jayabupati, Raja Sunda. Dan semoga tidak ada seorang pun yang diizinkan melanggar hukum ini. Di bagian sungai ini, menangkap ikan dilarang, di area suci Sanghyang Tapak dekat sumber sungai. Sampai batas Sanghyang Tapak yang suci ditandai oleh dua pohon besar. Demikianlah prasasti ini dibuat, ditegakkan dengan sumpah.” Prasasti Sanghyang Tapak

URANG Kanekes (: orang Kanekes), adalah sebutan untuk komunal yang bertempat tinggal di wilayah Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Komunal ini bermukim di daerah aliran sungai Ciujung dan Cikanekes, yakni di sekitar lereng pegunungan Kendeng, Banten.

Dan, entah mengapa, sejak era kolonial, komunal ini secara latah dipersamakan namanya dengan kelompok nomaden Arab Badawi oleh para peneliti, terutama peneliti Belanda. Maka, jadilah komunal ini disebut dengan “Suku Badui”.

Padahal, tempat dan budaya, jelas berbeda. Dan, nama, adalah kesakralan tersendiri pada sebuah komunal.

Mengubah nama, sama artinya dengan mengubah identitas sebuah komunal. Dengan menghilangkan identitas yang lama, dan membentuknya dengan menggunakan identitas yang baru, tentunya, adalah persoalan.

Sesungguhnya, komunal ini, menyebut dirinya sebagai Urang Kanekes, karena itu sangat terkait dengan tempat hidup mereka. Nama lain, yang mereka akui, adalah Urang Cibeo.

Dan, untuk selanjutnya, kata “Badui” dihindari dalam tulisan ini. Aku akan menggunakan kata “Urang Kanekes”, sebagai penghormatan terhadap keleluhuran sebuah komunal.

Geografi Desa Kanekes berbukit-bukit, dan berada di kawasan Pegunungan Kendeng. Pegunungan ini memiliki beberapa sungai, seperti; Ciujung, Cisimeut, dan Ciberang.

Menurut Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten tingkat II Lebak nomor 13 tahun 1990, luas desa ini adalah 5.101,85 hektare. Yang terdiri dari huma, permukiman, dan hutan lindung.

Secara total, Urang Kanekes hidup di sekitar 59 kampung. Mereka, umumnya dibagi menjadi tiga kelompok. Yakni; Tangtu, Panamping, dan Dangka.

Urang Kanekes. (credits: Tiket)

Mereka, secara keseluruhan, tinggal di desa-desa, yang disebut: mandala. Mandala adalah sebuah konsep kumpulan tempat tinggal dalam kepercayaan Hindu/Buddha yang telah diadopsi sesuai kosmologi Nusantara.

Tangtu biasa disebut dengan: Kanekes Dalam, yang berada tiga desa; Desa Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Wilayah di daerah sebelah selatan ini, ditempati oleh 40 kepala keluarga (Kajeroan) inti yang adalah “Tanah Larangan”, dan tidak seorang asing pun diizinkan untuk bermalam.

Sedangkan Panamping berada di wilayah sebelah timur, barat, dan utara. Mengutip Kemdikbud, di wilayah Panamping terdapat di 56 kampung.

Orang asing, hanya dizinkan hingga di wilayah Panamping saja. Dan, tidak boleh menuju ke wilayah Tangtu.

Sehingga, wilayah Panamping adalah “benteng” bagi tempat tinggal utama Urang Kanekes, yakni Tangtu. Penghuni Panamping, biasa disebut dengan Kanekes Luar.

Adapun warga Dangka, yakni Urang Kanekes yang tinggal di luar Desa Kanekes. Mereka tidak kehilangan statusnya sebagai Urang Kanekes. Mereka masih terlibat dan mendukung kegiatan adat komunal.

Urang Kanekes terhubung dengan jejak Kerajaan Sunda Pajajaran.

Tome Pires, yang kemudian didakwa dan ketahui adalah seorang agen intelijen Portugis yang menyamar sebagai apoteker, pada tahun 1512, dalam catatannya berjudul “The Suma Oriental” secara geografis menggambarkan Kerajaan Sunda dengan batas-batasnya yang jelas.

Kerajaan Sunda terletak di seberang Pulau Sumatera, sangat dekat dengan Kerajaan Tulang Bawang dan Way Sekampung. Bahkan dari Way Sekampung, perjalanan menuju Kerajaan Sunda hanya memakan waktu satu hari saja, pada saat itu. Sedangkan jika dari Kerajaan Andalas memakan waktu sehari satu malam.

Wilayah Kerajaan Sunda pada abad ke-16 M, membentang dari ujung Banten hingga Cimanuk di Pulau Jawa.

Tome Pires menceritakan bahwa terdapat mitologi yang dipercayai masyarakat, yang menghubungkan mereka kepada era lampau.

Bahwa, Tuhan telah menciptakan sungai untuk memisahkan Jawa dan Kerajaan Sunda, dan begitu juga sebaliknya. Dan, itu pula, sebagai interprestasinya, alur sungai-sungai ditumbuhi dengan pepohonan.

Pepohonan yang besar dan menjulang tinggi, yang di setiap sisi memiliki cabang yang menyentuh tanah dan condong ke suatu wilayah kerajaan.

Urang Kanekes menganut agama/kepercayaan Sunda Wiwitan. Yakni keyakinan yang didasarkan pada penghormatan atau pemujaan kepada karuhun (arwah nenek moyang), dan kepercayaan kepada satu kuasa, yang disebut dengan: Batara Tunggal.

Wilayah suci bagi Urang Kanekes adalah di sekitar puncak gunung, yang berkemungkinan terletak di sebuah bukit berteras di hulu Sungai Ciujung di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Sebab, tentunya, hanya Urang Kanekes yang mengetahui letak pastinya.

Banyak peneliti, kemudian, menyimpulkan bahwa tempat ini sebagai “Sasaka Domas” atau “Sasaka Pusaka Buana”.

Berkemungkinan, tepat sakral ini adalah merujuk ke sekitar situs komplek megalitik berupa bangunan berundak atau berteras-teras dengan sejumlah menhir dan arca di atasnya. Situs ini, dalam beberapa penelitian, biasa disebut dengan: Arca Domas, Sasaka Pusaka Buana, atau Mandala Parahiyang.

Menurut para peneliti, Urang Kanekes meyakini sebuah tempat sebagai tempat penciptaan bumi oleh Batara Tunggal, sebagai dewa utama, dan sebagai nenek moyang Urang Kanekes yang turun ke bumi, yakni di Arca Domas (: 80 batu).

Prasasti Sanghyang Tapak. (credits: Public Domain)

Namun, yang harus digarisbawahi, jika “Arca Domas” adalah tempat penciptaan bumi, maka “Sasaka Domas” adalah tempat berkumpulnya roh-roh orang mati yang kemudian bersatu dengan Batara Tunggal. “Sasaka Domas” diperkirakan terletak di hulu Sungai Ciparahiyang.

Sejauh ini, baik itu “Arca Domas” maupun “Sasaka Domas” adalah suatu yang keramat, dan tidak dapat dikunjungi oleh sembarang orang, selain Urang Kanekes dan keturunannya yang dipilih. Meskipun, banyak peneliti yang meng-klaim pernah ke sana, tapi “misteri” tetap tidak seharusnya terbuka seluruhnya.

Hingga, hanya didapat sedikit kesimpulan. Bahwa tempat-tempat sakral Urang Kanekes adalah seperti yang tertera di Prasasti Sanghyang Tapak (Prasasti Citatah), terjemahan yang sedikit lariknya dijadikan sebagai pembuka tulisan ini. Prasasti ini bertahun 952 Saka atau 1030 Masehi.

Maka, adalah wajar, jika Urang Kanekes terutama Kanekes Dalam masih berpegang teguh pada prinsip alaminya. Meskipun, Kanekes Luar telah terpengaruh dengan kedudayaan dan ajaran Islam.

Secara umum, Kanekes Luar meyakini bahwa Adam (: nabi Adam dalam ajaran Islam) telah diutus oleh Gusti Nu Maha Suci sebagai otoritas tertinggi, untuk menjalani kehidupan seperti yang dijalani oleh Urang Kanekes.

Dan, sebagai pengejawantahan dari kepercayaan Sunda Wiwitan itu, dalam kehidupan sehari-hari, Kanekes Dalam selalu berpakaian dengan dominasi warna biru tua. Mereka yang laki-laki mengenakan ikat kepala putih.

Kanekes Dalam mengikuti sistem tabu secara tutun-menurun untuk pembelian, yang terkesan kaku dan sangat ketat. Sehingga, dapat membuat mereka mengalami kontak yang sangat minim dengan dunia luar.

Dan, atas keyakinan yang digenggam teguh itu pula, maka, mereka dianggap “beda” oleh masyarakat modern.

Sebab, bagi mereka: tidak ada kendaraan bermotor, tidak menggunakan perangkat elektronik, tidak berpakaian ala masyarakat modern, dan tidak beralas kaki.

Satu lagi, kecuali rumah Pu’un (ketua adat), pintu rumah harus menghadap ke utara atau selatan.*

avatar

Redaksi