“Dim Sum” Silang Budaya
Inovasi
July 16, 2025
Jon Afrizal

Dim sum. (credits: Ang Restaurant)
JALUR Sutera yang mencakup lebih dari 6.400 kilometer adalah jaringan rute perdagangan Asia dari abad ke-2 SM hingga pertengahan abad ke-15 M. Jalur ini menjembatani interaksi antara dunia Timur dan Barat, termasuk Nusantara. Yakni pada bidang perdagangan – ekonomi, budaya, politik dan perluasan wilayah, migrasi penduduk, dan, agama/keyakinan.
Jalur Sutera berawal dari perdagangan tekstil sutera yang sangat menguntungkan yang terutama diproduksi di Cina.
Jaringan dimulai dengan perluasan dinasti Han (202 SM hingga 220 M) ke Asia Tengah sekitar 114 SM. Yakni melalui misi dan eksplorasi utusan kekaisaran Cina Zhang Qian, yang membawa wilayah dibawah kendali terpadu.
Pada abad pertama Masehi, kain sutera produksi Cina banyak dicari di Roma, Mesir, dan Yunani. Komoditas lain yang menguntungkan, adalah; teh, pewarna, parfum, dan porselen, juga madu, anggur, dan emas.
Diantara jalur yang terbentang, mungkin di sekitar abad ke-10 M, kota Kanton (Guangzhou) sangat ramai oleh arus pedagang yang melintas. Warung-warung teh mengambil bagian, dengan menyajikan yum cha (: sarapan pagi).
Yum cha memiliki konsep jat zung loeng gin (: satu cangkir dan dua potong). “Satu cangkir” bermakna sebagai satu cangkir teh. Sedangkan “dua potong” adalah dua potong dim sum. Kata dim sum, kira-kira, memiliki arti: menyentuh hati.

Siomay. (credits: Public Domain)
Meskipun, mungkin saja dim sum telah ada sebelum era itu, tercatat sebanyak 2.000 jenis dim sum. Namun, Kanton adalah tempat dimana dim sum tercatat dalam sejarah modern.
Dim sum umumnya terbuat dari makanan laut, daging cincang, atau sayuran yang dibungkus dengan adonan atau pembungkus tipis, lalu dikukus, digoreng, atau ditumis. Dim sum tradisional mencakup berbagai jenis bakpao kukus, pangsit beras atau gandum, dan gulungan mi beras yang berisi berbagai bahan; daging, ikan udang, dan sayuran.
Dim sum disajikan dengan chili oil sebagai kuah, dengan cara mencocolnya.
Wilayah-wilayah di Nusantara, yang termasuk ke dalam bagian dari “Jalur Sutera”, pun terhubung dengan Kanton. Setelah Kanton, dim sum menyebar cepat ke Nusantara.
Di wilayah-wilayah Pulau Jawa, diketahui adanya dim sum lokal. Bakso, lumpia dan siomay adalah contohnya.
Berkemungkinan, siomay yang ada di Jawa Barat diadopsi dari shumai dari China. Sama seperti dim sum, siomay kerap dianggap sebagai makanan ringan.
Secara tradisi, shumai terbuat dari daging. Namun untuk siomay di sini, daging diganti dengan ikan tenggiri.
Pelengkap lainnya, adalah; kubis kukus, kentang, pare, telur rebus, dan tahu. Saus kacang, kecap manis, saus cabai, dan sedikit air jeruk nipis akan meningkahinya.
Inovasi dari siomay, tentu saja, batagor (bakso tahu goreng). Jika siomay cenderung dikukus, maka batagor mengkhususkan “daging yang digoreng”.

Prangko “pempek”. (credits: Public Domain)
Sejauh ini, tidak ada catatan yang jelas, terkait tahun berapa siomay diadopsi menjadi makanan di Indoensia. Begitu pula dengan sejarah pempek.
Pempek, adalah makanan ringan di Provinsi Sumatera Selatan dan Jambi, di Pulau Sumatera. Dengan sungai-sungai besar yang mengalir dari jantung Pulau Sumatera, yang digunakan di era perdagangan di masa lampau, menuju ke Laut China Selatan.
Hampir mirip dengan siomay, pempek adalah adonan ikan dan tepung tapioka yang dikukus. Pempek disajikan dengan kuah “cuko”.
Kuah “cuko” berbahan dasar gula aren dengan tambahan cabai yang membuatnya berasa pedas.
Meskipun, kemudian, pempek tidak lagi hanya dikukus saja. Melainkan, mengikuti lidah lokal, pempek pun digoreng, walau hanya selayang saja.
Namun, sebelum pempek ada, telah ada dim sum. Dan, berkat Jalur Sutera, dim sum dapat diadopsi menjadi makanan lokal, di sini.*

