Berebut “Kerajaan” Di Samudra Hindia Timur
Ekonomi & Bisnis
July 4, 2025
Astro Dirjo

Cocos Islands. (credits: Public Domain)
PADA tahun 1609, Kapten William Keeling sedang dalam perjalanan kembali dari Hindia Timur. Ia adalah seorang pelaut Inggris, dan bekerja di East India Company (EIC).Ketika pulang dari Pulau Banda, Maluku menuju ke Inggris, ia menemukan jajaran pulau-pulau kecil tak berpenghuni di Samudera Hindia Timur.
Selanjutnya, pulau-pulau kecil yang berjumlah 24 pulau ini, dinamai sesuai namanya: Keeling Islands (Kepulauan Keeling).
Kepulauan Keeling berada di dekat jalur pelayaran utama di Samudra Hindia, dan berdekatan dengan Selat Malaka, Sunda, dan Lombok. Sehingga dapat menjadi pemantau dan pengendali lalu lintas maritim yang efektif antara lautan India dan Pasifik.
Kini, Kepulauan Keeling adalah wilayah Australia. Melewati perjalanan panjang sejak tanggal 23 November 1955, saat pulau-pulau ini dipindah tangankan dari Inggris ke Persemakmuran Australia.
Sebelumnya, Kepulauan Keeling adalah bagian dari koloni Singapura Inggris.Namun, kebudayaan dari 593 jiwa penduduk kepulauan ini, berdasarkan Sensus Australia 2021, dipengaruhi oleh Malaysia dan Indonesia. Sebab, etnis Melayu mendominasi populasi di sini.
Sebanyak 65,6 persen penduduknya beragama Islam. Sedangkan yang lainnya adalah Katolik dan Anglikan.
Penduduk Kepulauan Keeling saat ini adalah keturunan ke-empat atau ke-lima dari pendatang awal di kepulauan ini. Para penghuni pertama di kepulauan ini adalah di awal abad ke -19.
Pada tahun 1825, John Clunies-Ross, seorang Kapten Kapal dan juga pedagang dari Skotlandia, yang sedang dalam perjalanan ke India, berhenti sejenak di pulau-pulau ini. Ketika melihat “paradise” ini, ia pun berencana untuk kembali, dan menetap di sini bersama keluarganya di masa depan.
Tetapi, ada pula orang lain yang berpikiran sama. Joshua Slocum dalam bukunya “Sailing Alone Around the World” menyatakan bahwa seorang Inggris yang kaya raya bernama: Alexander Hare pun memiliki rencana serupa.
Alexander Hare adalah saudara laki-laki Kapten Clunies-Ross.

Ilustrasi Kapal Kapten William Keeling. (credits: Public Domain)
Selanjutnya, Alexander Hare merencanakan untuk menetap di kepulauan ini. Ia merealisasikannya dengan membawa serta 40 wanita Melayu ke pulau-pulau ini.
Alexander Hare memiliki jiwa yang memberontak terhadap peradaban pada saat itu. Joshua Slocum mencatat bahwa Hare “tidak dapat membatasi dirinya pada kehidupan jinak yang diberikan oleh peradaban”.
Selanjutnya, setelah dua tahun berlalu, Clunies-Ross pun kembali lagi ke kepulauan ini. Dan terkejut, ketika melihat Alexander Hare telah berubah menjadi “raja” di kepulauan ini.
Perselisihan pun terjadi.
Para awak kapal yang dibawa oleh Clunies-Ross mulai melakukan invasi. Pun demikian dengan para perempuan Melayu yang dibawa Alexander Hare.
Alexander Hare kalah dalam persaingan. Ia pergi meninggalkan kepulauan ini, menuju Bencoolen, dan meninggal dunia di sana pada tahun 1834.
Kemudian, Clunies-Ross pun merekrut orang-orang Melayu untuk bekerja di kepulauan ini. Para pekerja berasal dari Semenanjung Melayu, Kepulauan Indonesia, Afrika Selatan dan Nugini.
Selain pekerja kontrak, terdapat pula budak atau narapidana yang mencari suaka dari Australia.
Pohon kelapa adalah komoditas utama kepulauan ini. Sehingga wajar, jika pada tahun-tahun sebelum kedatangan Kapten William Keeling, kepulauan ini disebut dengan Cocos Island.

Ratu Elizabeth dan Pangeran Philip berlabuh di Cocos Islands, April 1954. (credits: flickr)
Charles Darwin, naturalis yang terkenal itu, pernah melakukan studi botani di pulau-pulau karang ini. Selama 10 hari, sejak tanggal 1 April 1836. Charles Darwin mengumpulkan sebanyak 21 spesies di kepulauan ini.
Kekuasaan Clunies-Ross di sana, telah membuatnya menerbitkan mata Cocos Rupee. Dengan mata uang ini ia menbayar para pekerja, dan sebagai bentuk monopoli dari wilayah yang terisolasi, mata uang ini hanya dapat ditukar di outlet perusahaannya.Namun, feodalisme Clunies-Ross berakhir di era 1970-an.
Ketika ketidaksukaan pemerintah Australia terhadap aturan-aturan feodal Clunies-Ross semakin meningkat. Akhirnya, pemerintah Australia memaksa keluarga Clunies-Ross untuk menjual pulau-pulau seharga AUD 6.250.000, dengan menggunakan ancaman akuisisi wajib, pada tahun 1978.
Pihak keluarga hanya dapat mempertahankan kepemilikan Oceania House, rumah mereka di pulau itu. Namun, pada tahun 1983, pemerintah Australia mengingkari perjanjian ini dan mengatakan kepada John Clunies-Ross bahwa ia harus meninggalkan Cocos Islands.
Pada tahun 1984, Pengadilan Tinggi Australia memutuskan bahwa Oceania House melanggar hukum. Dan, pemerintahan Australia menerbitkan larangan bahwa perusahaan-perusahaan pemerintah Australia tidak boleh berbisnis dengan perusahaan pelayaran Clunies-Ross.
Perusahaan keluarga John Clunies-Ross bangkrut, dan mereka pun pindah ke Perth, Australia Barat. Meskipun beberapa dari mereka masih tinggal di Cocos Islands.*

