“Sedulur Sikep”; Perlawanan Anti Kekerasan Orang Samin

Hak Asasi Manusia

May 19, 2025

Jon Afrizal

Pekerja paksa di satu lubang tambang di Sawah Lunto, Sumatera Barat, sekitar tahun 1900-an. (credit: KITLV)

TANGGAL  12 Selo 1325 Tahun Jawa atau hari Rabu tanggal 18 Desember 1907. Samin Surosentiko ditangkap oleh Asisten Wedana Randublatung, Blora.

Ia dan pengikutnya dinyatakan melakukan perbuatan makar terhadap pemerintah Belanda. Yakni; menolak membayar pajak, menolak bekerja pada pemerintah kolonial, dan menolak menyetor gabah ke lumbung desa.

Samin Surosentiko, lahir di Desa Ploso, Kediren, sebelah utara Randublatung, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, tahun 1859, dan meninggal di pengasingan di Sawahlunto, Sumatera Barat tahun 1934. Ia, di sana, biasa disebut Mbah Suro.

Samin Surosentiko bernama asli Raden Kohar. Samin Surosentiko adalah anak dari Raden Surowijaya atau juga disebut Samin Sepuh. Raden Surowijaya adalah bangsawan Ponorogo anak dari Raden Mas Adipati Brotodiningrat bergelar pangeran Kusumaniayu, Bupati Sumoroto, Ponorogo.  

Mengutip Pemprov Jawa Timur, Ki Samin memiliki tanah sawah seluas tiga bau atau lima are, satu bau ladang dan enam ekor sapi. Di desanya, Ki Samin disamakan dengan Bimasena (Werkudara), dalam cerita Pandawa.

Dalam penyamarannnya sebagai kawula-alit (petani), ia memilih nama “Samin” karena lebih bernafas kerakyatan. Tindakan ini, sama seperti yang dilakukan oleh Pangeran Handayaningrat, Pangeran Panggung, Ki Kebo Kanigara, dan Ki Kebo Kenanga.

Ki Samin Anom Surosentiko selanjutnya, mempersiapkan Desa Ploso Kediren sebagai basis pemberontakan untuk melawan pemerintah Hindia Belanda.

Pembelajaran tentang realita politik anak jajahan ini, ia dapatkan dari ayahnya, Raden Surowijaya.

Puncaknya, adalah ketika ia berusia 31 tahun, sewaktu itu tahun 1890. Ki Samin mulai menyebarkan ajarannya kepada orang-orang satu desa. Ajaran itu, hingga kini, dikenal dengan nama Saminisme.

Perang Pandawa – Kurawa. (credits: Wiki Commons)

Melalui laku tapabrata, ia memperoleh wahyu, yang selanjutnya disebut dengan Jemus Kalimasada. Jemus Kalimasada terdiri dari; Serat Punjer Kawitan, Serat Pikukuh Kasajaten, Serat Jati Sawit, dan Serat Lampahing Urip.

Istilah Kalimasada, ditafsirkan jika mengutip Dewi Sundari, berasal dari kata: Kalimahosaddha. Kata ini ditemukan dalam naskah Kakawin Bharatayuddha.

Kakawin Bharatayuddha ada pada tahun 1157, saat Kerajaan Kediri berada di bawah masa pemerintahan Maharaja Jayabhaya.

Kalimasada, kemudian, dipilah menjadi “Kali-Maha-Usaddha”. Yang artinya adalah “obat mujarab Dewi Kali”.

Yakni, ketika Yudhistira, pemimpin Pandawa melemparkan Kitab Pusaka Kalimasada ke arah Salya, ketika terjadi perang besar antara Pandawa dengan Kurawa. Dikisahkan, kitab itu berubah wujud menjadi tombak dan menembus dada Salya, panglima dari Kurawa.

Diceritakan, Pusaka Kalimasada atau Jemus Kalimasada menempati peringkat utama di antara pusaka-pusaka Kerajaan Amarta yang lain. Dimana musuh-musuh Pandawa sering berupaya mencuri Jamus Kalimasada. Namun, selalu berhasil direbut kembali oleh Yudhistira dan keempat saudaranya.

Sejak mendapat wahyu Jemus Kalimasada itu, pengikut Samin Surosentiko bertambah banyak. Pengikutnya tidak hanya dari desanya sendiri, tetapi juga orang-orang yang berasal dari desa-desa lain.

Sehingga, membuat rakyat di Desa Tapelan, Ploso, dan Tanjungsari mengangkat Ki Samin sebagai raja, dengan gelar Prabu Panembahan Suryongalam (: cahaya alam semesta). Sebagai Ratu Adil.

Berkemungkinan, pertemuan Orang Samin pada tanggal 11 Juli 1901 di Lapangan Panggoman, Desa Kasiman, Kecamatan Kasiman, Bojonegoro, menjadi dasar peletak sejarah perlawanan anti kekerasan. Yakni seruan untuk: tidak mau dan menolak membayar upeti kepada Kolonial Belanda.

Pada bulan Januari 1903, Residen Rembang melaporkan bahwa pengikut Samin berjumlah sekitar 772 orang di desa-desa Blora selatan, sebagian di wilayah Bojonegoro. Dan, termasuk juga pengikut berasal dari Ngawi dan Grobogan.

Dengan jumlah pengikut Samin yang telah mencapai 3.000 orang, terbetik kabar bahwa pada 1 Maret 1907 orang Samin akan mengadakan perlawanan terhadap pemerintah Belanda.

Ketika itu, sejumlah orang Samin sedang mengadakan selametan (selamatan) pada satu keluarga di Kedungtuban. Kontrolir Belanda melakukan penangkapan, karena ia menganggap orang Samin sedang mengadakan persiapan perlawanan kepada pemerintah Belanda.

Samin Surosentiko, pada saat itu sedang tidak ada di sana, melainkan, ia sedang berada di Rembang.

Samin Surosentiko, kemudian diinterogasi oleh polisi pemerintah Belanda. Selanjutnya, ia dan delapan pengikutnya ditangkap dan diasingkan ke Sawahlunto, Sumatera Barat, hingga akhir hayatnya.

“Wayang Wong” di Sawah Lunto, sekitar tahun 1900-an. (credits: KITLV)

Gerakan tidak membayar upeti pun berlanjut pada tanggal 08 November 1907. Soerokarto Kamidin, pengikut Samin membuat gerakan di Blora dan Bojonegoro, dan gabungan daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Gerakan perlawanan ini, berawal dari tindakan kolonial Belanda yang sewenang-wenang yang menebang dan mengambil pohon jati (Tectona grandis) yang ditanam oleh komunitas masyarakat Samin.

Mengutip Samin Bojonegoro, Raden Surowidjojo adalah nama tua, jika menurut lingkungan ningrat Jawa. Sedang nama kecilnya adalah Raden Surosentiko atau Suratmoko, yang memakai julukan “Samin”.

Adapun arti dari “Samin” adalah akronim dari “Sami-Sami Amin”. Atau, dengan kata lain, jika semua setuju, maka dianggap sah, karena mendapat dukungan rakyat banyak.

Sehingga, Samin bukanlah suku, agama, ataupun kepercayaan. Tetapi, adalah sebuah waham perjuangan melawan penjajahan yang dipimpin oleh Ki Samin Surosentiko.

Sebab, mengutip Dulur Tunggal Sekapal, orang Samin tidak mau dan menolak membayar upeti kepada kolonial Belanda. Ini dengan alasan, bahwa seluruh isi alam adalah milik Tuhan. Sehingga, keberkahan bagi tanah dan bumi pun bukan oleh Belanda, melainkan mutlak dari Tuhan.

Poin inilah, yang dianggap sebagai “pemberontakan” oleh kolonial Belanda.

Ketika Samin Surosentiko berada di Sawahlunto, kolonial Belanda memberinya tugas sebagai mandor di sebuah lubang penambang batu bara, yang biasa disebut “Lobang Mbah Soero”.

Samin Soerosentiko (Mbah Soero), kemudian, diangkat sebagai sesepuh Dulur Tunggal Sekapal Sawahlunto. Yakni; satu persaudaraan, sependeritaan, senasib, dan sepenanggungan.

Adapun “Lobang Mbah Soero” ditutup pada tahun 1920-an. Ini karena terjadinya perembesan air dari Batang Lunto dan kadar gas methan yang terus meningkat.

Lobang itu telah banyak memakan korban jiwa para pekerja paksa, yang biasa disebut dengan: Orang Rantai.

Sawahlunto, juga adalah bukti dari penindasan, pemerasan tenaga buruh paksa, dan pengurasan kekayaan negeri oleh kolonial Belanda.

Pun telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM), tentang: eksploitasi kaum buruh paksa, penindasan yang menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan yang dilakukan kolonial Belanda di Sawahlunto.

Dan, nama Ki Samin Soerosentiko ada di sana.*

avatar

Redaksi