Tragedi Kematian Dua Cucu Nabi

Inovasi

March 21, 2025

Junus Nuh

Husain yang mendampingi Hasan ketika sakratul maut. (credits: Garden of Blessed)

“Engkau tidak memiliki seorang Imam dan aku menjadi sarana untuk menyatukan umat. Keluarga kami lebih pantas mendapatkan pemerintahan daripada siapa pun, dan mereka yang berkuasa tidak pantas mendapatkannya dan memerintah secara tidak adil. Jika engkau mendukungku, aku akan pergi ke Kufah. Tapi jika engkau tidak menginginkanku lagi, aku akan kembali ke tempat pertamaku.” Husain bin Ali, Encyclopaedia of Islam

NABI Muhammad Rasulullah memiliki dua orang cucu, dari pernikahan anaknya, Fatima Zahra, dengan Ali bin Abi Thalib. Kedua cucu itu bernama; Hasan dan Husain.

Al-Hasan bin Ali adalah Imam kedua Syiah dan nenek moyang ibu dari Dua Belas Imam, dari Muhammad al-Baqir hingga Muhammad al-Mahdi, serta para Imam Ismailiyah. Kaum Syiah menyebutnya sebagai Imam Hasan Mojtaba. Nama panggilannya adalah Abu Muhammad. Ia dinyatakan sebagai Ahlul Bait dan Al-Kisa.

Kaum Syiah meyakini bahwa Imamah Hasan bin Ali didasarkan pada hadits Nabi dan Ali Ibnu Abi Thalib, dan sementara itu menegaskan perdamaian, pengunduran dirinya dari jabatan politik tidak membahayakan jabatan sebagai Imamah, dan ia adalah Imam sampai akhir hayatnya.

Kaum Syiah percaya bahwa Imamah Hasan bin Ali tidak diberikan untuk sembarang orang, dan pada prinsipnya, Imamah tidak berpindah ke orang lain melalui kesetiaannya kepada orang lain atau pengunduran diri Imam itu sendiri.

Sementara Al-Husain bin Ali dianggap oleh kaum Syiah sebagai Imam ketiga Syiah dan ayah dari dinasti Imam Syiah dari Dua Belas Imam dari Ali bin Husain hingga Mahdi. Al-Husain juga dikenal dengan nama panggilannya, Abu Abdullah.

Keduanya, mengalami kematian yang tragis. Sama seperti ayahnya, Ali bin Abi Thalib.

Ali dibunuh saat memimpin shalat Subuh pada tanggal 28 Januari 661 (19 Ramadan 40 H) di Masjid Agung Kufah, tanggal lain yang dicatat adalah 26 atau 30 Januari. Ali dipukul di bagian kepala oleh pemberontak Khawarij yang bernama Abdurrahman bin Muljam dengan menggunakan pedang berlapis racun, sebagai balas dendam atas kekalahan mereka dalam Pertempuran Nahrawan. Ali meninggal dunia pada usia 62 tahun.

Julukan-julukan yang biasa digunakan nabi untuk Hasan dan Husain, yakni; seperti Hasanain, Shabar dan Shabir, pemuda penguasa surga, Sabtan dan Reyhanatan. Nama-nama julukan itu menunjukkan semacam hubungan yang saling melengkapi antara Hasan dan Husain.

Kematian kedua cucu nabi ini, sangat terkait dengan jaman yang sama. Yakni pada masa kepemimpinan Yazid bin Muawiyah, pemimpin khalifah Umayyah dari Bani Umayyah.

Al-Hasan bin Ali lahir pada tanggal 15 Ramadan tahun 3 Hijriah (1 Desember 624 M). Mengutip NU online, Hasan dibunuh dengan menggunakan racun oleh istri sendiri, Ja’dah binti As’yats bin Qais.

Suatu hari, Ja’dah menyuguhkan hidangan yang lezat dan menarik perhatian Al-Hasan bin Ali. Tanpa curiga, Hasan pun menikmati hidangan itu.

Beberapa saat setelah mengkonsumsi hidangan itu, Hasan merasa mual, pusing, dan kesakitan yang tak tertahankan. Ia hilang kesadaran, hingga ia berpulang, diantarkan oleh Al-Husein bin Ali, pada tanggal 5 Rabiul Awal 50 Hijriah (2 April 670 M).

Nabi Muhammad biasa memanggil Al-Hasan dengan julukan “Mujtaba”, yang adalah nama yang sangat populer di kalangan Syiah. Meskipun, mengacu pada peristiwa ini, Hasan juga disebut dengan sebutan “Imam yang diracuni”.

Pertempuran Karbala karya Abbas Al-Musavi, Museum Brooklyn. (credits: Wiki Commons)

Sedangkan Al-Husain bin Ali, lahir pada 3 Sya‘ban 4 Hijriah (8 Januari 626 M).

Pada bulan Muharram, hari ke-10, Husain menyiapkan pasukannya, yang terdiri dari 32 penunggang kuda dan 40 infanteri. Ia memberikan sisi kiri tentara kepada Habib bin Muzhahir, sisi kanan untuk Zuhair bin Al-Qain dan bendera tentara untuk Abbas.

Ia juga memerintahkan kayu bakar untuk dikumpulkan di sekitar tenda dan dibakar.

Peristiwa ini dikenal dengan Tragedi Karbala, yang terjadi pada tanggal 10 Muharram tahun 61 Hijriah (10 Oktober 680 Masehi). Dan, hari itu, adalah hari kematian Husain.

Pun, mengutip Wilferd Madelung dalam  bukunya “The Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate” bahwa ketika Al-Hasan berada di akhir nafasnya karena keracunan, ia tidak mengungkapkan kepada Husain tentang kecurigaannya terhadap Mu’awiyah mengenai asal usul racun. Ini, dengan tujuan agar Al-Husain tidak akan membalas perbuatan itu.

Seperti ayat Alquran surat Asy-syura ayat 23, yang dikutip oleh Al-Hasan pada pidatonya di Masjid Kufah. Mengutip NU online, ayat itu ditafsirkan sebagai,

“Itulah karunia besar yang di beritahukan Allah untuk menggembirakan hamba-hamba-Nya yang beriman dan mengerjakan kebajikan yang telah di perintahkan oleh Allah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya. Katakanlah kepada mereka yang kafir itu, wahai Nabi Muhammad, “Aku tidak akan pernah meminta kepadamu sesuatu imbalan apa pun walau sedikit atas seruanku kepadamu untuk beriman kecuali jalinan kasih sayang di antara aku dan kalian dalam kekeluargaan.” Dan barang siapa mengerjakan kebaikan dengan penuh keimanan dan ketulusan akan Kami tambahkan dengan melipat gandakan kebaikan baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun kepada siapa pun yang memohon ampun atas dosa-dosa yang mereka lakukan, Maha Mensyukuri kepada siapa pun dari hamba-hamba-Nya atas perbuatan baik yang telah di lakukannya sehingga Allah menambahkan pahalanya.”

Husain meyakini bahwa “Keluarga Nabi secara ilahi dipilih untuk memimpin komunitas yang didirikan oleh Muhammad, sebagaimana yang terakhir telah dipilih, dan memiliki hak dan kewajiban yang tidak dapat dicabut untuk mencari kepemimpinan ini.”

Tetapi, Husain tetap setia pada janjinya kepada Muawiyah. Meskipun ia tidak puas dengan cara Muawiyah memerintah.

Namun, terbunuhnya Husain telah membuat reputasi Yazid jatuh. Juga telah menggiring perlawanan yang awalnya hanya penentangan terhadap Yazid, namun kemudian berubah menjadi gerakan anti-Umayyah.

Peristiwa ini juga yang semakin mengukuhkan perselisihan dan kesenjangan antara Sunni dan Syiah.

Satu sudut di Masjid Imam Husein, Karbala, Irak. (credits: google photo)

GR Hawting dalam bukunya “The First Dynasty of Islam: The Umayyad Caliphate AD 661-750” menggambarkan pertempuran Karbala sebagai contoh “sangat baik” dari model “penderitaan dan kemartiran” bagi kaum Syiah.

Kematian Husein di Karbala diyakini oleh Syiah sebagai pengorbanan yang dilakukan untuk mencegah korupsi di dunia Islam oleh penguasa tirani. Dan juga, untuk melindungi ideologinya sendiri.

Husain, dengan demikian, diyakini telah sepenuhnya menyadari nasibnya, dan akibat dari pemberontakannya, yang telah ditetapkan oleh Allah. Sehingga, ia dikenang sebagai pangeran para syuhada (Sayyed al-Shuhada).

Meskipun termotivasi secara ideologis, Husain, sebenarnya tidak berniat untuk menjadi pemimpin. Mengutip Rasol Jafarian dalam “Refleksi Gerakan Asyura”, sejak awal, Husain memang bertujuan untuk mati syahid.

Tujuannya adalah untuk mengguncang hati nurani kolektif komunitas Muslim, dan mengungkapkan sifat penindasan dan pelaksanaan yang tidak sesuai dengan perspektif Islam yang sebenarnya dari rezim Umayyah.

Dan, harus diakui, bahwa menurut antropolog Michael Fisyer, peringatan Karbala oleh kaum Syiah tidak hanya menceritakan kembali tentang sejarah saja. Tetapi juga memperkenalkan Syiah pada pola hidup dan norma perilaku yang berlaku pada semua aspek kehidupan.

Banyak peristiwa pembaruan Syiah terjadi di sepanjang sejarah. Beberapa pendapat menyebutnya dengan menggunakan kata “pemberontakan”.

Pembaruan itu, telah terinspirasi oleh peristiwa Karbala.

Revolusi Islam Iran, sebagai contohnya. Revolusi ini diilhami oleh insiden Karbala.

Selama Revolusi Islam Iran, para pendukung Ruhollah Khomeini sering menggunakan frasa “Semua hari adalah Asyura. Semua tanah adalah Karbala” sebagai slogan. *

avatar

Redaksi