Kawasan Hutan Bukan Untuk Kebun Sawit!
Lingkungan & Krisis Iklim
May 22, 2023
Jon Afrizal/Muarojambi
Kawasan hutan restorasi ekosistem yang dirambah waga di Desa Bungku, Bajubang. (credit tittle : Jon Afrizal/amira.co.id)
DESA Bungku, yang seharusnya berada di wilayah konsesi restorasi ekosistem, telah dirambah masyarakat. Masyarakat yang berasal dari luar kawasan ini menanami lahan yang telah mereka pancang itu dengan tanaman sawit.
Persoalan ini telah lama terjadi, dan kini sawit milik masyarakat pun telah berusia sekitar tujuh tahun. Dengan artian, telah mendapatkan hasil panenan tandan buah segar (TBS) selama beberapa tahun.
Sebanyak 780 KK berada di Desa Bungku Kabupaten Batanghari. Yang terdiri dari empat RT. Sementara desa tetangga, Desa Tanjung Lebar, berisi 300 KK.
Kedua desa ini menginduk pada Unit 22 Sungai Bahar Kabupaten Muarojambi. Meskipun senyatanya adalah wilayah Kabupaten Batanghari.
Kedua masyarakat di desa ini berada di areal seluas 10.000 hektare. Areal yang peruntukannya adalah untuk restorasi ekosistem pertama di Indonesia, yakni Hutan Harapan.
Praktek jual beli lahan telah terjadi sejak 10 tahun terakhir. Berdasarkan hasil liputan di lokasi, tercatat beberapa nama yang selama ini terlibat dalam praktek jual beli lahan, atau sebagai guide lokasi atau sebagai pihak yang terlibat dalam praktek ini.
Beberapa nama, yang selama ini, juga “telah menjadi rahasia umum” di kawasan Sungai Bahar dan sekitarnya.
Kondisi di lapangan tentu jauh berbeda dengan peta peruntukan yang sebenarnya. Kawasan yang seharusnya menjadi habitat bagi flora dan fauna ini seperti daerah tak bertuan saja.
Pada satu sisi, kawasan ini adalah Kabupaten Batanghari. Tapi pada sisi lain, kawasan ini adalah Kabupaten Muarojambi.
Ini dapat dilihat dari papan merek yang terdapat di sekolah.
SD di Desa Bungku yang menggunakan alamat Kecamatan Bahar Selatan Kabupaten Muarojambi. (credit tittle : Jon Afrizal/amira.co.id)
Tarik menarik antar kabupaten ini mempersulit tindakan pencegahan dan pemberantasan terhadap praktek jual beli lahan. Terutama ketika “politik” memasuki desa-desa, dan mencari suara di sana.
Diakui atau tidak, daerah-daerah yang berkonflik lahan di Provinsi Jambi, juga terkait dengan “kepentingan politik”. Bagaimana “politik” menterjemahkan keinginan seseorang untuk memiliki lahan, dan lalu menyandingkannya dengan keinginan untuk mendapatkan “pendukung”.
Sebuah hukum sebab-akibat, yang terus terjadi.
Beberapa staf PT Restorasi Ekosistem (REKI), pengelola Hutan Harapan, pernah beberapa kali disandera warga di desa ini. Begitu juga dengan pembersihan areal, pun kerap dilakukan, tetapi gagal.
Temuan di lapangan, para pembeli atau pelaku jual beli, awalnya berasal dari kawasan Sungai Bahar, karena itu adalah lokasi terdekat dari desa-desa ini. Namun kemudian dijual ke pemilik modal, dengan luasan yang bahkan mencapai 100 hektare per pemilik.
“Kami juga membayar pajak,” kata penduduk Dusun VI, Ragil, bukan nama sebenarnya, di pertengahan Mei 2023 lalu.
Namun, ia dan beberapa orang yang mengaku demikian, tidak dapat menunjukkan dokumen pembayaran pajak, jika memang benar ia telah membayar pajak kepada instansi terkait, seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), misalnya.
Tapi yang jelas, Desa Bungku ini memiliki portal untuk pintu masuk dan keluar kendaraan. Setiap kendaraan wajib untuk membayar uang ketip jika melewati portal yang dijaga oleh dua orang itu.
“Untuk biaya perawatan jalan,” kata penjaga portal.
Dari dialek berbicara, nyata bahwa mereka adalah pendatang.
Sementara penduduk yang telah lama berada di sekitar kawasan Hutan Harapan, adalah Orang Batin, atau indigenous people Batin Sembilan. Dan beberapa lainnya adalah Suku Melayu.
Namun, dari pembicaraan dengan penduduk yang mendiami desa, dapat disimpulkan bahwa banyak dari mereka adalah pekerja saja. Sedangkan pemilik dari lahan berada di luar desa, atau bahkan di luar Provinsi Jambi.
Secara administratif, desa-desa ini berbatasan dengan Kabupaten Musi Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan.
Nurcholis, Kadus Dusun VI Desa Bungku mengatakan apa yang terjadi di kawasan ini adalah sebuah keterlanjuran.
“Jika saja pemerintah (daerah) dilibatkan sejak lama, mungkin tidak begini,” katanya.
Tapi, kesan ambigu pun terlihat pada sikap pemerintah. Pemerintah, pada satu sisi, yang telah menunjuk suatu kawasan untuk diperbaiki ekosistemnya. Karena kawasan itu telah rusak akibat logging pada masa berlakunya HPH (Hak Pengusahaan Hutan) dulu.
Namun, pada sisi lainnya, terjadi pembiaran yang berlangsung lama, dengan dibukanya kawasan hutan dan ditanami dengan sawit.
Tidak dapat dipungkiri, dimana beberapa pabrik sawit berada di sekitar Sungai Bahar. Dan, adalah lumrah, bagi warga yang tidak memiliki kebun sawit di Kecamatan Sungai Bahar, menjadi tertawaan umum.
Sawit adalah perlambang status sosial, dan juga berarti kesanggupan seseorang untuk tetap hidup kini dan nanti. Karena ia memiliki tabungan TBS yang dapat dipanen secara berkala sepanjang 25 tahun.
Sebab, perekonomian Kecamatan Sungai Bahar sebagai ibukota kecamatan, sangat bergantung kepada sawit.Berdasarkan Kecamatan Sungai Bahar Dalam Angka tahun 2021 yang diterbitkan BPS, terdata seluas 26.260,00 hektare perkebunan sawit di Kecamatan Sungai Bahar.
Dana bagi hasil pajak Kecamatan Sungai Bahar adalah Rp 478.970.000, dengan alokasi ADD sebesar Rp 5.476.673.000, dan Dana Desa sebesar Rp 9.004.948.000.
Kondisi serupa pernah terjadi di areal Hutan Harapan di Sungai Jerat. Lahan diduduki dalam waktu lama oleh warga, dan terus bertambah. Negosiasi telah berkali-kali dilakukan, dan tidak menghasilkan titik temu.
Tapi, kemudian, diadakan pembersihan oleh pihak perusahaan bekerjasama dengan aparat hukum pada suatu pagi di bulan September 2019. Sebanyak belasan orang pelaku ditahan.
Kini, di tahun 2023, lahan yang diduduki warga itu pun hijau kembali.
PT REKI telah melakukan pola kemitraan dengan 13 desa yang berada di dalam kawasan. Sawit, yang telah terlanjur ditanami masyarakat, dibiarkan tetap tumbuh. Hanya saja, tidak lagi diperbolehkan menambah tanaman sawit baru.
Terkait dua desa ini, pun telah dilakukan negosiasi untuk bermitra. Hanya saja, hingga hari ini pun masih belum satu frekuensi.
Kerugian yang didapat perambah, tentu saja ada. Pihak PLN terpaksa menghentikan pemasangan tiang, karena ini adalah kawasan hutan. Akibatnya, warga tidak mendapat aliran listrik.
Pun demikian dengan sekolah. Berstatus terkatung-katung. Sebab peruntukan areal ini sebagai kawasan restorasi ekosistem, dan bukan pemukiman apalagi perkebunan sawit.
Sehingga yang dirugikan adalah masyarakat sendiri. Mereka memiliki administrasi kependudukan yang kacau, dan sedang berada di wilayah yang juga kacau.
Sebab legalitas kependudukan yang sah adalah kebutuhan mutlak setiap orang, agar memiliki hak sebagai warga negara. Juga, berkewajiban menjalankan aturan yang telah ditetapkan negara.*