Menghianati Keris Si Ginjei
Daulat
October 31, 2024
Jon Afrizal
Penyerahan dua simbol Kesultanan Jambi, Keris Si Ginjei dan Keris Singo Merjayo oleh Pangeran Ratu Marta Ningrat (tiga dari kiri) dan Pangeran Prabu Negara (tujuh dari kiri) kepada Residen Belanda untuk Jambi, Oscar Louis Helfrich (lima dari kiri), antara tahun 1903 hingga 1904, di Jambi. Dua benda pusaka Kesultanan Jambi itu, terletak di atas meja, dalam bungkusan kain. (credits: KITLV)
JIKA benda pusaka, panji atau simbol sebuah kerajaan telah diserahkan kepada pihak lain, artinya, kerajaan itu telah ditaklukan. Telihat lah potongan sejarah kelam dari sebuah kerajaan yang kalah; Kesultanan Jambi.
Catatan GJ Velds dari Angkatan Bersenjata Belanda dalam De Onderwerping van Djambi, 1901-1907, menyebutkan bahwa pada tanggal 26 Maret 1904, residen Jambi Oscar Louis Helfrich telah menerima penyerahan dua simbol kerajaan Djambi. Yakni; Keris Si Ginjei dan Keris Singo Merjayo. Dalam catatan itu, Keris Singo Merjayo disebut sebagai Keris Senja Merjaya.
Dengan catatan, terkait tanggal yang disebutkan, setidaknya dilakukan cross check ulang. Sebab, dengan teknologi pada masa itu, pesan yang dikirim dari Jambi ke Batavia, tidak serta merta dapat diterima dengan cepat, seperti teknologi hari ini.
Tak tanggung-tanggung, dua keris pusaka. Kedua pusaka itu, yakni Keris Si Ginjei diserahkan oleh Pangeran Ratu, dan Keris Singo Merjayo oleh Pangeran Prabu Negara.
Terlepas dari apakah itu secara suka rela atau paksaan, yang jelas, Jambi telah takluk, dan perangkat kesultanan tidak lagi berkuasa.
Warto dalam Makna Keris Dalam Budaya Jawa menyebutkan bahwa keris sebagai senjata orang Melayu, telah digunakan lebih dari 600 tahun lalu. Keris digunakan untuk mempertahankan diri, dan sebagai alat kebesaran diraja.
Keris adalah juga lambang kedaulatan orang Melayu.
Terminology yang sedikit lebih modern adalah regalia. Regalia adalah seperangkat lambang, simbol, atau perlengkapan yang menunjukkan status kerajaan, serta hak prerogatif, dan hak istimewa yang dimiliki oleh seorang penguasa.
Beberapa lambang, simbol, atau perlengkapan yang dimiliki oleh para penguasa merupakan representasi visual dari status kekaisaran, kerajaan, atau kedaulatan.
Ketika keris, sebagai senjata pusaka telah diserahkan kepada pihak Belanda, artinya, yang berkuasa di wilayah Jambi bukan lah kesultanan, melainkan adalah Belanda, dengan kekuatan perangnya.
Lalu, dimanakah Sultan Thaha Syaifuddin kala itu?
Keris Si Ginjei. (credits: Museum Nasional)
Sultan Thaha Syaifuddin, berbeda dengan sultan-sultan sebelumnya. Ia menolak untuk bekerjasama dengan Belanda. Tentu saja, persoalannya, adalah monopoli perdagangan yang diterapkan Belanda terkait lada hitam (piper nigrum) dan rempah lainnya, juga cukai tembakau.
Terhitung sejak kemangkelan Belanda pada tahun 1858 itu, serangan bertubi-tubi dilakukan terhadap Sultan Thaha. Hingga, Sultan Thaha pun melakukan pelarian dan memimpin kerajaaan dari wilayah huluan.
Sebelumnya, Keris Si Ginjei dipegang oleh Sultan Thaha. Kemudian, ia berikan kepada Pangeran Ratu, sebagai putra mahkota yang akan menggantikan kedudukannya.
Trik-trik dilakukan Belanda. Bahkan, Belanda, benar-benar telah berkuasa di dalam istana kesultanan, Istana Tanah Pilih yang sekarang berada di wilayah Kota Jambi.
Dan tercatat, bahwa Belanda dapat mengganti siapa kerabat istana yang dapat menjadi sultan (pemimpin) sesuai keinginan mereka.
Sultan Boneka, demikian kira-kira. Yakni seorang sultan yang kemudinya dipegang oleh Belanda.
Tercatat juga, Panembahan Prabu bergelar Sultan Ahmad Nazaruddin pun diangkat oleh Belanda untuk menjadi Sultan Jambi.
Adapun Pangeran Ratu Marta Ningrat, bergelar Pangeran Anom Kesumo Yudho. Ia adalah anak dari Sultan Thaha Syaifuddin dan Permaisuri Ratu Halijah, menurut versi stamboom Van Kraton Djambi.
Keris Si Ginjei, adalah pegangan Pangeran Ratu. Yang artinya, Pangeran Ratu adalah Putra Mahkota, sebagai pengganti Sultan Thaha yang sedang dalam pelarian.
Dan, sangat rumit untuk memahami, kenapa seorang Sultan Thaha sebagai sultan yang sah, tidak membawa serta keris pusaka. Dan, ia dengan kerelaan dan kepercayaan menyerahkan Keris Si Ginjei kepada Pangeran Ratu, tentu agar kesultanan Jambi tetap dalam posisi memiliki raja.
Atau, mungkin, ada keris pusaka yang lainnya, yang dibawa serta oleh Sultan Thaha?
Sangat disayangkan, belum ditemukan catatan terkait senjata pusaka yang melekat atau digunakan oleh Sultan Thaha dalam pelariannya.
Dalam beberapa catatan, Pangeran Ratu dinyatakan ditangkap Belanda dan diajak untuk berunding. Dan, mengapa seorang anak mampu, berani dan tega untuk menghianati ayahnya yang sedang dalam pelarian? Tentu, akan menjadi sebuah tanda tanya besar dalam sejarah kesultanan Jambi.
Tetapi, ibarat pepatah, “Habis Manis Sepah Dibuang”. Setelah Pangeran Ratu menyerahkan Keris Si Ginjei, ia dibuang oleh Belanda ke pulau Celebes (Sulawesi) pada tahun 1904. Sewaktu itu, usianya sekitar 17 atau 18 tahun.
Pengeran Ratu meninggal di pembuangan pada tahun 1907, dan tidak memiliki keturunan.
Pada tanggal 26 atau 27 April 1904, atas bantuan seorang Demang kaki tangan Belanda, Sultan Thaha dibunuh di persembunyiannya, diantara daerah Sungai Aro hingga Betung Bedarah, yang sekarang termasuk wilayah Kabupaten Tebo. Sangat disayangkan, tidak ditemui catatan yang paling akurat terkait nama tempat ia dibunuh.
Atas dasar itu, maka wilayah Kesultanan Jambi yang dikuasai Belanda, dan selanjutnya dijadikan Keresidenan Nederlandsch Indie.
Atas keberhasilannnya, Oscar Louis Helfrich diangkat menjadi residen pertama Jambi. Melalui Surat Keputusan nomor 20 tanggal 4 Mei 1906 oleh Gubernur Jenderal Johannes Benedictus van Heutsz. Pelantikannya dilaksanakan pada tanggal 2 Juli 1906.
Budaya Keris berasal dari Kepulauan Jawa, dan keris purba telah digunakan antara abad ke 9 Masehi hingga abad ke 14 Masehi. Senjata ini terdiri dari tiga bagian, yaitu; mata, hulu dan sarung.
Adapun keris orang Melayu, memiliki kecenderungan lebih pendek dibandingkan keris orang Jawa. Ini karena luk (lekuk) pada keris orang Melayu pun cenderung lebih pendek dari luk keris orang Jawa.
Orang Melayu pada masa lalu sering mengaitkan keris dengan kuasa mistik. Terdapat pula kepercayaan bahwa keris mempunyai spirit, dan juga pamor-nya sendiri.
Keris menurut amalan Melayu tradisional, perlu dijaga dengan cara diperasapkan pada masa-masa tertentu, seperti pada malam Jumat, misalnya. Atau ada juga amalan asam limau bagi keris sebagai cara untuk menjaga logam keris dan juga untuk menambah bisa-nya.
Lantas, jika amalan itu tidak terjadi pada Keris Si Ginjei dan Keris Singo Merjayo dalam waktu lama, apa akibatnya, bagi wilayah Jambi ataupun Kesultanan Jambi?*