Bung Besar Di Pesisir Barat Sumatra

Inovasi

October 2, 2024

Jon Afrizal/Kota Bengkulu

Rumah pengasingan Bung Karno di Bengkulu. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)

“Sesuai salinan telegram rahasia dari Residen Benkoelen tanggal 9 Mei No.95 di bawah ini, Ir. Sukarno tiba di Benkoelen pada tanggal 9 Mei,” ANRI

RUMAH berhalaman luas di Jalan Soekarno-Hatta, Kelurahan Anggut Atas, Kecamatan Gading Cempaka Kota Bengkulu ini berstatus sebagai Cagar Budaya Nasional (CBN). Sebagai rumah tempat diasingkannya Soekarno oleh pemerintah Belanda, pada tahun 1938 hingga 1942.

Tak berapa jauh dari rumah itu, terdapat rumah Fatmawati. Rumah berarsitektur lokal, yakni rumah panggung seperti rumah orang Melayu pada umumnya.

Fatmawati menikah dengan Soekarno pada tanggal 1 Juni 1943.

Fatmawati adalah keturunan Indrapura, yang merupakan sebuah kesultanan, yakni Kesultanan Indrapura, di Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Ayahnya bernama Hasan Din, seorang pedagang dan tokoh Muhammadiyah di Bengkulu. Sementara ibunya bernama Siti Chadijah.

Rumah pengasingan Bung Besar ini, masih terawat dengan baik. Perabotan pada masa itu, lampu gantung, buku-buku, tempat tidur dan sepeda onthel yang pernah digunakan Bung Besar.

Di rumah ini pun diberikan sebuah spot photo. Dimana terlihat Bung Karno yang sedang tertawa gembira sedang bersepeda onthel. Dan, pengunjung dapat duduk di sadel bagian belakang.

Begitulah Bung Karno sebagai Guru Bangsa. Yang telah membawa seluruh rakyatnya menuju pintu gerbang suka cita kemerdekaan.

Memasuki rumah Bung Besar, membawa pengunjung memahami masa perjuangan. Bagaimana Bapak Bangsa ini harus diasingkan dari kehidupan sosialnya, di Batavia, karena aktivitas politiknya, yakni keinginan untuk Kemerdekaan Indonesia.

Melalui Surat Keputusan Gubernur Hindia Belanda no. 2z tertanggal 14 Februari 1938, Bung Karno segera diberangkat dari pengasingannya di Ende menuju ke Bengkulu.

Suasana senja di “Bundaran Fatmawati”, Bengkulu. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)

Mengutip suaramuhammadiyah, koran lokal Muhammadiyah di Bengkulu pada masa itu, Penaboer, telah memuat tulisan tentang kedatangan Bung Besar di Bengkulu.

“Bung Karno telah tiba di Bengkulu sejak tanggal 9 mei 1938 melalui Lubuk Linggau dengan menggunakan angkutan bus yang ada pada saat itu.” Demikian mengutip Penaboer No 12 tahun II 1938.

Hal ini berkesesuaian dengan keterangan M Ali Chanafiah dalam Bung Karno Dalam Pengasingan di Bengkulu. Ia adalah saksi kedatangan Bung Karno di Bengkulu.

“Begitulah pada permulaan Maret 1938 kami menerima berita dari Batavia, bahwa Bung Karno telah tiba di kota itu. Keluarganya terus ke Bandung. Dia sendiri langsung dilarikan ke Merak melewati Lampung dan dengan kereta api menuju Lubuk Linggau. Kemudian selanjutnya dengan bis terus ke Bengkulu.” 

Bung Karno secara cepat bergelut dengan isu kerakyatan di Bengkulu. Ia terlibat aktif dalam merancang Masjid Jamik. Masjid itu, hingga kini masih digunakan dan terawat rapi.

Ia juga aktif di kepengurusan Muhammadiyah dan Taman Siswa. Dan juga menggagas Konferensi Besar Daerah.

Tak berapa jauh dari rumah Fatmawati, kini telah dibangun patung Fatmawati. Pada patung itu, terlihat sosok Famawati tengah menjahit. Kawasan ini dikenal dengan nama Bundaran Fatmawati.

Fatmawati lah yang menjahit bendera pusaka, yang dikibarkan pada saat Proklmasi tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur nomor 56, Jakarta Pusat.

Selain itu, rumah pengasingan Bung besar juga menyimpan kostum pertunjukan. Di Bengkulu, Bung Karno ikut andil dalam sebuah grup drama musikal bernama Monte Carlo.

Ia menulis naskah-naskah drama untuk pertunjukan. Sembari memasukan nilai-nilai sosial dan nasionalisme di dalam setiap naskah yang ditulisnya.

Jika kita mengenal Bandara Internasional Soekarno Hatta di Cengkareng, maka Bengkulu memiliki Bandara Fatmawati.

Sehingga, tak lengkap rasanya, jika tidak berkunjung ke Bengkulu. Untuk memahami sejarah sebuah bangsa: Indonesia.*

avatar

Redaksi