Jembatan Ampera; Menyatukan Ilir dan Ulu
Inovasi
May 5, 2024
Jon Afrizal/Palembang, Sumatera Selatan

Jembatan Ampera di waktu malam hari. (photo credits : Jon Afrizal/amira.co.id)
“Di Sungai Musi dan di anak-anak air sunyi senyap, sebab hari telah jauh malam. Di tepian, di muka atau di sisi rumah rakit tertambat beberapa sampan dan jukung dan di tengah sungai berlabuh beberapa penes dan kapal-kapal kecil. Jauh di sebelah hulu dekat muara Sungai Ogan, tampaklah sebuah perahu menghilir. Pada bentuknya nyata kelihatan, bahwa perahu itu datang dari uluan” (Dian Yang Tak Kunjung Padam – Sutan Takdir Alisyahbana)
KETIKA pemerintah kolonial Belanda menguasai Palembang pada tahun 1823, maka Kesultanan Palembang pun dihapus. Untuk menguatkan kedudukannya, Belanda membagi Palembang menjadi dua keresidenan; Ilir dan Ulu.
Kedua wilayah ini dibelah oleh Sungai Musi. Sungai ini memiliki panjang 720 kilometer. Berawal dari Curup, Rejang Lebong menuju ke Selat Bangka.
Kenyataanya, pembagian itu malah membuat persoalan baru, yakni bagaimana untuk menghubungkan dua daerah; ilir dan ulu, agar dapat tetap berada dalam pengawasan Belanda.
Sejak tahun 1906, Belanda berencana untuk menghubungkan Seberang Ulu dan Seberang Ilir dengan sebuh jembatan. Tetapi, hingga Belanda hengkang dari Palembang pun, pembangunan jembatan ini tidak terlaksana.
Setelah jaman kemerdekaan, maka dengan anggaran Kota Palembang sebesar IDR 30.000, DPRD Peralihan Kota Besar Palembang mengusulkan pembangunan Jembatan Musi, nama awalnya, melalui sidang pleno 29 Oktober 1956.
Setelah mendapat persetujuan dari Presiden Soekarno, pembangunan jembatan ini dimulai pada bulan April 1962. Biaya pembangunannya diambil dari dana pampasan perang Jepang sebesar USD 4.500.000. Tenaga ahli pun berasal dari Jepang.
Tanggal 30 September 1965, Letnan Jenderal Ahmad Yani meresmikan Jembatan Bung Karno. Nama jembatan di atas Sungai Musi ini didedikasikan untuk jasa Sukarno.
Namun setelah terjadi pergolakan politik pada tahun 1966, jembatan ini berubah menjadi Jembatan Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat). Saat itu, gerakan anti-Soekarno sangat kuat.
Melisa dalam Ampera dan Perubahan Orientasi Ruang Perdagangan Kota Palembang 1920an-1970an menyatakan terealisasinya jembatan ini telah mengubah watak pemukiman masyarakat. Sungai, secara perlahan mulai ditinggalkan, dan warga lebih memilih untuk bertempattingal di darat.
Jembatan Ampera memiliki panjang 1.117 meter dan lebar 22 meter. Pada bagian tengah memiliki lebar 71,90 meter. Sedangkan berat total 944 ton, dan dilengkapi pembandul seberat 500 ton.
Tinggi jembatan ini 11,5 meter dari atas permukaan air, tinggi menara 63 meter dari permukaan tanah dan jarak antara menara 75 meter.
Bagian tengah jembatan dapat diangkat naik. Tujuannya agar kapal-kapal besar dapat lewat di bawah jembatan.
Namun sejak tahun 1970 bagian tengah sudah tidak dapat diangkat lagi. Bandul pemberatnya pada tahun 1990 dibongkar karena dikhawatirkan dapat membahayakan.
Hingga hari ini, jembatan yang kini berwarna merah ini masih dapat digunakan oleh penduduk Seberang Ulu dan Seberang Ilir. Dan menjadi ikon Kota Palembang, kota dengan luas 352,51 kilometer persegi, dan berpenduduk 1.772.492 jiwa pada tahun 2023, menurut data BPS.*
