Mantra Pada Masyarakat Melayu

Daulat

September 2, 2024

Jon Afrizal

Ritual Besale pada indigenous people Batin Sembilan Provinsi Jambi. (credits: Hutan Harapan)

”Hei si ama kuning

Si ama gila

Si ama kasih sayang

Aku nak mintamu kasih sayang kepada aku”

MANTRA adalah sebuah tradisi “berbahasa” dalam masyarakat Melayu. Dalam sastra, mantra juga dikenal sebagai gaya puisi lama, dengan tambahan: memiliki kekuatan magis.

Bagi masyarakat Melayu, yang tersebar di Sumatera, Semanjung Melaka, dan Kalimantan, mantra adalah sebuah rapalan untuk maksud dan tujuan tertentu. Maksud dan tujuan itu, terkadang baik, kadang juga tidak baik.

Beberapa catatan menyebutkan bahwa mantra, atau juga jampi-jampi, menggunakan campuran dari berbagai pengaruh kepercayaan. Sejak dari animisme dan dinamisme, Hindu Budha, hingga Islam.

Sehingga, dalam penerapannya, mantra terkadang adalah campuran dari bahasa lokal, Arab, dan juga Sanksekerta.

Masyarakat Minangkabau, misalnya. Meraka mengenal manto, jampi-jampi, sapo-sapo, kato pusako, kato, katubah, atau capak baruak. Istilah-istilah itu, adalah juga nama lain dari mantra.

Tidak hanya masyarakat Melayu saja, mantara yang bersifat sakral itu pun berkembang, sebagai budaya lama, di masyarakat Jawa, Sunda, Banten, Bali, Bugis, Banjar, dan wilayah-wilayah lainnya di Nusantara.

Masyarakat Melayu Ngabang di Kalimantan Barat mengenal Betungkal.  Yakni mantra yang digunakan untuk tolak bala.

Masyarakat Melayu di Hulu Gurung Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan Barat, mengenal Tawar Ntamba. Yakni ritual yang dipercaya dapat menyembuhkan penyakit yang diderita seseorang.

Sebagaimana indigenous people Batin Sembilan di Hutan Harapan Provinsi Jambi, yang mengenal tradisi Beterkas dan Besale. Yakni tradisi pengobatan dengan memanfaatkan ritual, mantra dan tumbuhan hutan sebagai media bagi seorang dukun untuk berhubungan dengan alam supranatural, tempat bersemayam para dewa.

Mantra, adalah upaya manusia untuk terhubung dengan dunia gaib. Mantra adalah juga usaha bujuk rayu manusia terhadap penghuni alam gaib, dengan tujuan tertentu.

Diakui atau tidak, sebetapa modernnya dunia saat ini, mantra, toh, pada kenyataannya, masih ada dan berkembang di tengah-tengah masyarakat.

Edi Suwatno dalam tulisan Bentuk Dan Isi Mantra menyebutkan kesakralan mantra, yang mengandung unsur magis, membutuhkan seorang pawang atau dukun untuk menyalurkannya. Sehingga tidak boleh orang kebanyakan, tetapi, harus ahlinya.

Mantra telah digunakan pada ritual-ritual kuno di banyak kelompok masyarakat di dunia. Sebagai sebuah kegiatan yang terangkai dalam berbagai bentuk simbol dan memiliki stratifikasi sifat kesakralan dalam kelompok masyarakat tertentu.

Sehingga, mantra memiliki bahasa sendiri. Bahasa yang berbeda dengan bahasa pada umumnya yang digunakan di sebuah kelompok masyarakat.

Mantra di Nusantara memiliki ciri pengulangan-pengulangan bunyi. Sehingga, mantra mampu memberi efek tertentu bagi pada pendengarnya.

Penggunaan rima sebagai bunyi bahasa dalam mantra adalah unsur yang sangat penting. Lebih penting dari makna.

Mantra, harus diakui, tidak membangun suatu makna yang utuh yang dapat dipahami melalui akal manusia.

Madu yang didapat seorang Orang Rimba Bukit Duabelas Provinsi Jambi, melalui ritual Nomboi Naek Sialong dan Nomboi Ngambek Mani Rapa. (credits: warisanbudaya)

Namun, mantra, juga diyakini mempunyai kekuatan magis. Sehingga mampu menyembuhkan penyakit, mengusir roh jahat atau mencegah bala.

Terlebih juga, mantra, aji-ajian dan jampi-jampi digunakan untuk urusan percintaan.

Sebagai warisan budaya tak benda, Suku Kubu atau Orang Rimba dari Bukit Duabelas Provinsin Jambi mengenal tradisi Nomboi Naek Sialong dan Nomboi Ngambek Mani Rapa. Dua ritual yang saling terkait dan berdekatan dalam waktu pelaksanaanya.

Sialong (sialang) adalah batang pohon tempat lebah bersarang.

Terdapat beberapa jenis pohon di hutan tempat lebah bersarang. Umumnya, adalah pohon yang memiliki batang dengan kulit yang licin. Seperti jenis kedundung, misalnya.

Mani Rapa, adalah juga yang dalam bahasa Indonesia disebut: madu lebah.

Bagi kelompok Orang Rimba, setiap pohon memiliki dewa. Dewa itulah yang menjaga atau berdiam di pohon.

Panen madu sialang dilakukan melalui ritual khusus, dan juga dengan mantra-mantra. Dengan satu tujuan, agar lebah tidak berpindah pohon, dan agar madu dapat dipanen dengan baik.

Sebagai ritual dan kepercayaan, tentu saja, selalu ada pantangan. Yakni, berlaku bagi sesiapa yang akan menaiki pohon sialang dan mengambil madunya.

Seperti, berpantang untuk tidak memakan boung, ikan tono, kepuyu, tikus dan daging babi serta beberapa hewan lainnya. Sebab, berdasarkan keyakinan Orang Rimba, hewan-hewan itu ada memiliki kemiripan sifat dengan lebah.

Panen madu dilakukan pada sore menjelang malam. Setiap beberapa meter ke atas pohon, akan ditancapkan beberapa kayu berukuran kecil. Kayu itu itu berfungsi sebagai injakan kaki atau anak tangga bagi si pemanen. Prosen penancapan kayu-kayu kecil ini disebut melantak sialong.

Lalu, dari bawah pohon, ketika si pemanen berada di atas, dilantunkan rayu-rayuan kepada lebah. Tentu saja dalam bahasa lokal, dengan tujuan agar rapa (lebah) tidak berpindah pohon.

Dengan pola ini, maka panen madu sialang, dapat berlangsung hingga beberapa malam.

Sehingga, bentuk dan isi yang menciptakan estetika, seperti Theory of Literature dari Rene Wellek, tidak terungkap secara gamblang di sini.

Sebab, mantra bukanlah bahasa manusia.

Melainkan sebagai alat bagi seorang yang meminta dukun sebagai perantara untuk mencapai tujuannya. Dimana fungsi bahasa hanyalah satu bagian dari keseluruhan ritual saja.*

avatar

Redaksi