Sumpah Setia 12 Kalbu Di Kesultanan Djambie

Budaya & Seni, Daulat

May 6, 2023

Junus Nuh/Kota Jambi

Stempel kerajaan yang digunakan Kesultanan Djambie pada masa Sultan Thaha. (credit tittle : Junuh Nuh/amira.co.id)

 “Ke atas idak bepucuk,

Ke bawah idak berakar,

Di tengah digerek kumbang.”

SUMPAH setia diberlakukan kepada seluruh orang kerajaan atau petugas kerajaan kepada Kesultanan Djambie, pada masa Sultan Thaha. Adalah Singo Kumpe, atau Raden Mattaher yang menjadi panglima perang Kesultanan Djambie pada masa itu.

Masa perang 70 tahun lamanya, telah membuat rasa curiga kepada siapapun. Sebab, pengkhianat, jika itu memang ada, umumnya adalah orang terdekat. Maka, Singo Kumpe pun mengambil sumpah setia kepada seluruh orang kerajaan, agar peperangan melawan pendudukan Belanda dapat tetap dilalukan, dan pengkhianatan dapat diminimalisir.

Sumpah setia itu diminta kepada 12 bangsa (: kalbu). Yakni Jebus, Pemayung, Marosebo, Awin,
Petajin, VII (tujuh) Koto dan IX (sembilan) Koto, Mestong, Penagan, Kebalen, Miji, Air Hitam dan Pinokowan Tengah.

Peta Pulau Sumatera, tahun 1725.

Sumpah setia kepada Kesultanan Djambie adalah sakral. Jika ada anggota kalbu yang melanggar, maka akan temakan janji, ia dikutuk sultan dan tidak akan mendapatkan kehidupan yang tenang, sampai ke anak-cucunya.

Sumpah setia itu adalah penggambaran hidup seorang adalah manusia yang dicontohkan dari sebuah pohon. Pohon yang tidak lagi memiliki pucuk-pucuk daun yang baru, dan tidak lagi memanjangkan akar serabutnya, serta di bagian tubuhnya dimakan ngengat atau rayap. Arti harfiahnya adalah mati meranggas.

Pada beberapa dusun di Provinsi Jambi, sumpah ini  masih berlaku. Meskipun bersifat sebagai kutukan, yakni ditujukan bagi mereka yang melanggar adat istiadat. Dan, tentunya, adat istiadat yang berlaku di Provinsi Jambi saat ini adalah berasal dari masa lalu, yakni era Kesultanan Djambi.

Kembali kita pada ke-12 Kalbu, setiap kalbu memiliki tugas masing-masing. Berdasarkan “Memori Residen HLO Pitrie”, kalbu Jebus bertugas sebagai raja satu hari, sebelum raja dinobatkan. Kalbu Pemayung bertugas untuk memayungi raja jika ia keluar dari istana. Kalbu Muarosebo bertugas menjaga keamanan di dalam negeri Kesultanan Djambie.

Kalbu Awin adalah pengawal raja, yang tempatnya berada di belakang raja, dengan memegang senjata tombak. Kalbu Petajin bertugas untuk urusan pembanguna bangunan, jembatan dan jalan. Kalbu VII Koto dan IX Koto memiliki peran untuk menghalau musuh yang datang dari luar kesultanan.

Kalbu Mestong untuk urusan perlengkapan persenjataan perang. Kalbu Penagan bertugas sebagai pengawal raja, dilengkapi dengan senjata tombak, tetapi mata tombaknya harus mengarah ke bawah. Sedangkan kalbu Kebalen adalah pengawal raja, yang berada di sisi kiri dan kanan raja, dengan senjata pedang.

Kalbu Miji bertugas untuk urusan kesehatan raja dan kamar tidur raja. Kalbu Air Hitam bertugas untuk urusan rumah tangga dan konsumsi. Dan Kalbu Pinokawan Tengah berurusan terkait kurir.

Kalbu-kalbu itu menghuni kawasan hilir hingga ke kawasan tengah Provinsi Jambi saat ini. Mulai dari Dendang di Kabupaten Tanjungjabung Timur saat ini, Tanjung Pasir di Seberang Kota Jambi, Sekernan dan Pijoan di Kabupaten Batanghari, hingga ke Betung Bedarah dan Sumay di Kabupaten Tebo.

Kepala Kalbu adalah semua bangsawan dalam lingkungan kraton Kesultanan Djambie, yang memiliki tanggungjawab mengepalai bangsa-bangsa. Dan kita memahami bahwa kalbu-kalbu tadi adalah daerah-daerah dari bagian hilir hingga ke tengah Provinsi Jambi.

Tetapi seloko adat Djambie pun telah menjelaskan batas wilayah Kesultanan Djambie. Yakni “Dari ujung Jabung sampai Durian Takuk Rajo, Dari Sialang belantak besi sampai Bukit Tambun Tulang”.

Maka, batas wilayah yang disebut itu adalah Provinsi Jambi saat ini.

Kesultanan memiliki lima suku (jenis) bangsawan. Satu yang pernah berkhianat atau berkerjasama dengan VOC disebut Suku Purban. Sultan Sri Ingologo yang berkhianat telah mengadakan kerjasama politik dengan VOC pada tahun 1690. Kala itu yang menjabat sebagai Sultan Djambie adalah Sultan Cakranegara (Kiyai Gede).

Konsekwensi dari pengkhianatan yang dilakukan Sultan Sri Ingologo, adalah gelar mereka diturunkan menjadi Raden Purban. Anak-anak Sultan Sri Ingologo hanya mendapatkan jabatan tidak lebih dari Pangeran Mangku, dan jabatan itu tidak dapat diturunkan lagi ke anaknya.

Berkaca dari kejadian sebelumnya, maka adalah benar jika Raden Mattaher, cucu dari Pangeran Adi, yang adalah saudara kandung Sultan Thaha mnegambil sumpah ke-12 kalbu itu. Agar pengkhiatan tidak terjadi lagi di Kesultanan DJambie.

Singo Kumpe adalah kepercayaan Sultan Thaha. Karena Belanda membuka rumah dagang (loji) yang mencari merica hitam di Moeara Kompei, dan merugikan rakyat dan kesultanan, maka terjadilah perang besar, “Perang Kumpe” pada tahun 1885. Pasukan kesultanan berhasil menenggelamkan kapal perang Belanda di Sungai Kumpe, di Kabupaten Muarojambi saat ini.

Dari persitiwa itulah Raden Mattaher mendapat gelar Singo Kumpe. Atas kesetiannya kepada Kesultanan Djambie.

Atas keberaniannya itu, pada tanggal 10 November 2020, ia mendapatkan gelar Pahlawan Nasional.*

avatar

Redaksi