Memastikan Rantai Pasok Ekspor Karet Yang Seimbang

Lingkungan & Krisis Iklim

August 4, 2024

Jon Afrizal/Bungku, Batanghari

Rohana, warga indigenous people Batin Sembilan sedang menyadap getah di kebunnya. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)

PUKUL 08.30 WIB. Sinar ultraviolet di musim kemarau terasa menyengat. Ketika Rohana, warga indigenous people Batin Sembilan sedang menyadap karet (hevea brasilliensis) yang dikelola oleh kelompok mereka, Kelompok Tani Hutan (KTH) Lamban Jernang, di areal Hutan Harapan.

Kelompok ini mengusahakan sekitar 10 hektare tanaman karet, yang dikelola oleh empat orang petani. Tanaman bergetah ini ditanam sekitar tahun 2017 lalu.

Kini, tanaman itu telah menghasilkan latex. Yakni getah kental yang dihasilkan oleh tanaman karet. Getah ini, terkadang mirip susu, dan dapat membeku ketika terkena udara bebas.

KTH Lamban Jernang, adalah satu dari empat KTH yang beranggotakan indigenous people Batin Sembilan yang bermitra dengan PT Restorasi Ekosistem (REKI), pengelola Hutan Harapan.

Ketiga KTH lainnya adalah KTH Maju Besamo, Gelinding, dan Tanding. Keempat KTH ini memiliki, diantaranya, 103 petani karet, yang mengelola 128 hektare tanaman karet. Sementara anggota-anggota lainnya memilih untuk bertanam tanaman hutan lainnya.

Dari keempat KTH itu, hanya KTH Maju Besamo yang paling banyak menanam karet alam yang ditanam pada masa tanam tahun 2010. Yakni karet yang mereka biak-kan sejak dari biji.

Biji-biji karet yang kemudian menjadi bibit itu, umumnya mereka dapatkan dengan cara mengumpulkannya dari tanaman karet di sekitar areal penghidupan mereka. Beberapa dari mereka menyatakan indukan karet itu telah hadir di sana sejak puluhan tahun lalu.

Sedangkan KTH lainnya, lebih memilih untuk menanam jenis IRR, yang mereka dapatkan dari pembibitan di PT REKI. Jenis ini, diperbanyak dengan sistem okulasi.

Meskipun, harus diakui, karet alam lebih tahan terhadap berbagai jenis hama, seperti hama akar putih, misalnya. Ketimbang karet jenis IRR.

Mungkin, karena karet alam memang telah beradaptasi dengan alam “Hutan Hujan” ini. Kendati demikian, terkait dengan hasil produksi, sangat jauh berbeda. Bahkan, hingga 100 persen. Perbandingannya, kira-kira, jika karet alam hanya menghasilkan 50 kilogram per hektare per dua minggu, maka, karet okulasi adalah 100 kilogram.

“Karet alam dapat disadap ketika berusia tujuh tahun. Sedangkan karet okulasi cukup lima tahun saja,” kata Salim, petani karet dari KTH Maju Besamo.

Salim memiliki 300-an batang karet di lahan seluas 1 hektare, yang ia tanam sejak 2017 lalu. Kebunnya mampu memproduksi 100 kilogram getah karet per dua minggu.

“Saya sekarang punya penghasilan tetap. Sebelum berkebun karet, penghasilan saya tidak menentu,” katanya.

Setiap 1 hektare umumnya ditanami sekitar 400 tanaman karet. Tanaman ini, ditanam dengan pola menyisip. Yakni tidak dengan membuka kebun secara luas, melainkan dengan cara menanam bibit karet diantara tegakan kayu yang telah ada terlebih dahulu.

Pola tanam menyisip, yang tidak merusak pohon yang telah ada, juga mendukung upaya konservasi di areal yang dulunya adalah kawasan logging ini. Pola ini memberikan ruang bagi satwa terutama mamalia untuk tetap berada di habitatnya.

Tak jauh dari kebun KTH Lamban Jernang, sekitar 7 kilometer, diketahui sebagai areal perlintasan harimau Sumatera (panthera tigris) dan beruang. Staf Hutan Harapan dan warga Batin Sembilan sering melihat kedua satwa ini melintas di sana.

Sejauh ini, pakan bagi satwa mamalia itu masih banyak di dalam hutan. Sehingga kekhawatiran satwa akan menyerang manusia terhitung kecil.

Terkecuali, jika dalam kondisi dimana manusia yang “menyerang” satwa itu terlebih dahulu.

“Pengetahuan mengenai konservasi selalu kami berikan kepada para petani secara berkala dan dilakukan secara terus menerus,” kata Reda Nugraha – senior staf lapangan penyuluh karet PT REKI, awal Agustus 2024.

Seperti tidak menumbang tegakan pohon, tidak melakukan pembakaran dan menimimalisir penggunaan pupuk berbahan kimia.

Jika pun ingin membasmi hama, penggunaan bahan-bahan ramah alam sangat dianjurkan. Seperti penggunaan belerang untuk membasmi hama akar putih, misalnya.

Latex dari tanaman karet yang dikumpulkan oleh masyarakat Batin Sembilan setiap hari. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)

Indigenous people ini mengumpulkan latex setiap hari. Terutama jika hari tidak hujan.

Selanjutnya, karet yang berbentuk bongkahan-bongkahan berbentuk empat persegi itu akan ditimbang di koperasi Berkah Kunangan Mandiri (BKM) per tanggal 15 dan 30 pada setiap bulannya. Selanjutnya, pihak pabrik datang ke koperasi untuk membeli.

“Pola ini kami terapkan untuk menghindari calo atau pengepul. Sehingga jual beli dilakukan langsung oleh petani dan pihak pabrik,” katanya.

Adapun harga terakhir, pada 30 Juli 2024, adalah IDR 12.500 per kilogram. Dan, KTH Lamban Jernang berhasil mengumpulkan sekitar 100 kilogram latex.

Sementara harga latex di bursa efek Singapura saat ini, mengutip sgx, adalah USD 166,0 per kilogram.

Harga ini, adalah latex yang telah memenuhi standar Technically Specified Rubber (TSR) melalui pengolahan pabrik, dan juga jenis Ribbed Smoked Sheet (RSS).

Provinsi Jambi sejak puluhan tahun lalu telah dikenal sebagai daerah penghasil karet alam. Meskipun, terjadi penurunan drastis pada 10 tahun terakhir ini. Karena, banyak petani yang beralih ke sawit, dengan kecenderungan deforestasinya.

Menurut Keputusan Menteri Pertanian nomor 472 tahun 2018 tentang Lokasi Kawasan Pertanian Nasional, kabupaten yang menjadi sentra pengembangan karet nasional di Provinsi Jambi adalah Batanghari, Muarojambi, Tebo, Merangin dan Sarolangun. Dengan luas areal 378,7 ribu hektar dan produksi karet mencapai 315,7 ribu ton pada tahun 2018 lalu.

Mengutip data BPS Provinsi Jambi, ekspor karet dan olahannya adalah berjumlah USD 28.134.172 pada Desember 2023 lalu. 

Ekspor karet Provinsi Jambi menyasar pada 12 negara. Yakni Japan, India, China, Canada, Belgium, Polandia, Amerika Serikat, Turki, Afrika Selatan, Slovenia, Taiwan dan Italia.

Sehingga, aturan yang terkait dengan supply chain di Eropa, sedikit banyak pun dirasakan oleh petani karet di Provinsi Jambi.

Corporate Sustainability Due Diligence Directive (CSDDD), yang telah disetujui oleh Parlemen Uni Eropa pada tanggal 24 April 2024 lalu, pun harus dilaksanakan oleh pabrik karet.

Dimana undang-undang ini mewajibkan perusahaan-perusahaan Uni Eropa dengan 1.000 karyawan atau lebih dan omzet sekitar UE 450 juta memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa mereka sendiri, pengguna produk mereka, dan pemasok mereka tidak melanggar hak asasi manusia, keanekaragaman hayati, dan lingkungan.

Serta mengambil tindakan pencegahan dan perbaikan, dan melaporkan tindakan yang telah mereka lakukan.

Maka, latex yang berasal dari petani karet di areal Hutan Harapan pun harus terdata dengan rapi. Dan, PT REKI selaku pengelola areal restorasi ekosistem pertama di Indonesia ini, pun berkewajiban untuk memastikan agar tidak melanggar undang-undang itu. Karena latex akan diekspor oleh pabrik ke Eropa.

Transparansi pun diterapkan sejak dari petani hingga koperasi. Yang tidak hanya menyangkut masalah uang saja, tapi juga terkait lokasi kebun, bongkahan panenan yang dijual dan sebagainya.

Caranya cukup gampang diterapkan oleh bagi petani, dengan ketrbatasannya. Yakni, pada setiap kegiatan pemanenan dan penjualan, maka petani diminta untuk memphoto kegiatan, dengan tanpa lupa menghidupkan lokasi sehingga muncul watermak titik koordinat di setiap hasil jepretan photo.

Dari sini lah, selanjutnya, pengelola Hutan Harapan mendata setiap produk yang dijual petani.

Dengan cara itu, penjualan latex tetap dapat dilakukan, dan diekspor oleh pabrik hingga ke Eropa.*

avatar

Redaksi