Amuk Di Djambi

Daulat

July 30, 2024

Jon Afrizal

Sungai Batanghari, dipotret pada Midden Sumatra Expeditie, 1877 hingga 1879. (credits: Tropen Museum)

TERCATAT pernah terjadi serangan terhadap para pejabat Belanda di Jambi. Yakni pada tanggal 23 Mei 1885, di tempat hiburan klub De Eendracht di Kota Jambi, kala itu.

Serangan itu, dalam laporan Belanda, disebut amuk massa. Ketiga tersangka dalam kasus penyerangan ini; masing-masing adalah Panglima Poetih, Hadji Lamzah dan Yusuf. Ketiganya harus menjalani proses hukum kolonial, dan dijatuhi hukuman mati.

Kondisi ini, yang kemudian, semakin mempersulit pemerintah kolonial untuk bergerak di Djambi. Hingga akhirnya menimbulkan pemberontakan rakyat melawan Belanda.

Amuk, atau mengamuk, mengutip Dictionary, adalah budaya di Asia Tenggara. Kata berbahasa Melayu ini pertama kali terekam pada medio 1865 hingga 1870.

Mengutip Cambridge, amok atau amuck adalah kondisi dimana seseorang menjadi berada di luar kendali dan bertindak dengan cara yang liar atau berbahaya. Dengan tambahan dari Dictionary, yang diikuti dengan dorongan untuk membunuh.

Mengutip Historiek, dari seluruh pulau-pulau di Hindia Belanda, harus diakui, Pulau Sumatera adalah pulau yang paling sulit untuk ditaklukan oleh Belanda. Pada tahun-tahun dimana pemerintah Belanda selalu dibuat sibuk untuk menangani Aceh. Aceh adalah kawasan dimana pemerintah kolonial selalu mengalami kekurangan personel dan amunisi, dan juga tidak tepatnya penggunaan strategi militer.

Dengan demikian, tidak banyak sumber daya militer yang ada di Jambi. Sehingga, pada tanggal 23 Mei 1885, terjadi serangan dari dua orang pribumi terhadap pejabat pemerintah kolonial di De Eendracht, yang, seperti disebutkan, telah menyebabkan kematian dan kerusakan di sana.

Sementara, pemerintah Belanda di Batavia menahan diri untuk tidak mencampuri urusan pemerintahan Belanda di Jambi. Namun, kenyataannya, amuk ini tidak dapat terkendali.

Faktanya, amuk di Jambi memberikan kesan bahwa kekuasaan Belanda tidak diakui di wilayah ini. Juga terkait dengan pemberontakan dan pembunuhan, dan juga perebutan kekuasaan internal kesultanan telah menjadi sebuah situasi yang sangat sulit untuk dipahami oleh pemerintah kolonial.

Menurut “Sumatra Courant” tanggal 4 Juni 1885, terkait kerusuhan di klub De Eendracht, menyebutkan bahwa pada malam tanggal 23 Mei lalu, sekitar jam setengah tujuh, dua orang pribumi berpakaian haji dan bersenjatakan klewang memasuki klub dimana pengawas, panglima wilayah, petugas kesehatan Van Heijcop Ten Ham, letnan Bueninck, Jocobs dan Lucher, serta penerima bea masuk dan ekspor, Jackson berada.

“Para perusuh membunuh petugas kesehatan Van Heijcop Ten Ham dan memukul lengan kanan atas Letnan Bueninck. Para penyerang mencoba dengan sia-sia untuk mempertahankan diri di sekitar meja biliar dan kemudian melarikan diri ke meja makan. Kecuali pejabat Jackson, yang juga melarikan diri, tetapi menderita luka serius selama pemulangannya. Jenazah korban dibawa ke kantor oleh patroli militer, dimana korban luka juga dirawat di rumah sakit.”

“Para penyerang selanjutnya melarikan diri, setelah terlebih dahului melukai seorang penulis pribumi,” demikian lanjutan dari “Sumatra Courant”.

Namun, berdasarkan laporan itu, terdapat dimensi dimana Haji, adalah sebagai simbol dan gelar keagamaan, yang telah memberikan tekanan bagi pemerintah kolonial pada masa itu.

Dan, tentunya, tempat hiburan dan tempat berkumpul kaum Eropa, dimana terdapat tongkat-tongkat biliar berada, yang ternyata tidak dapat digunakan oleh society clubber untuk melawan klewang.

Maka, menurut Java-Bode pada tanggal 5 Juni 1885, “Djambi selalu dan masih menjadi sarang pemberontakan dan fanatisme. Kurangi perdagangan di sana dan di seluruh area akan terbakar di beberapa titik.”

Mungkin saja, surat kabar kala itu terlalu berlebihan. Dengan penggunaan kata-kata, seperti; konspirasi, konspirator, dan pembunuhan massal.

Namun, lanjut Java-Bode, pemerintah kolonial harus ingat bahwa penduduk asli Djambi, yang jumlahnya lebih banyak, tidak lagi takut kepada Belanda, dan cenderung membenci Belanda.

Berdasarkan analisa Java-Bode, kondisi ini terjadi karena lemahnya pemerintah kolonial dalam menghadapi Aceh selama bertahun-tahun.

Dan, terungkaplah ketakutan Belanda. Campuran dari rasa frustasi melawan Aceh, dan rasa takut menghadapi penduduk asli Djambi.

Sehingga, bagi pemerintah kolonial kala itu, mengubah kebijakan non-intervensi mempunyai beberapa konsekuensi. Inilah yang harus dipikirkan dan didiskusikan secara hati-hati, baik oleh dewan direksi di koloni tersebut maupun oleh pertemuan-pertemuan para pemimpin di Den Haag.

Bataviaasch Dagblad bulan Agustus 1885 menulis artikel panjang tentang kasus kerusuhan di klub ini dalam konteks politik. Dan, memberikan analisa, bahwa para pelaku kerusuhan telah berpikir dengan nalar dan sadar.

“Panglima Poetih, Hadjie Lamzah dan Yusuf bertindak atas nama Sultan Jambi yang diusir Belanda, dan menolak mengakui kekuasaan Belanda,” tulis Bataviaasch Dagblad.

Selama persidangan, ketiganya, semua dugaan dan kemungkinan terkait intrik politik dibuka secara gamblang.

Lalu, Bataviaasch Dagblad memberikan solusi kepada pemerintah kolonial. Bahwa pemerintah kolonial tidak boleh terlalu ikut campur dalam perebutan kekuasaan di kesultanan Jambi.

Sebab, dengan ikut campur dalam perebutan kekuasaan di Kesultanan Jambi, maka hanya akan membangunkan elemen-elemen yang tertidur.

Ketiga tersangka mencoba cara keringanan hukuman dari pemerintah kolonila, dan mengajukan permohonan pengampunan setelah vonis hukuman mati yang mereka terima. Namun, ditolak oleh persidangan.

Akibat lanjutan dari dari vonis mati ini, adalah perlawanan rakyat Djambi melawan Belanda pada bulan Oktober 1885.*

avatar

Redaksi