Penentuan Hak Atas Wilayah Melalui “Senandung Jolo”

Resonansi

July 22, 2024

Jon Afrizal/Pulau Mentaro, Muarojambi

Pementasan “Bejolo Di Ujung Tanjung” di Desa Pulau Mentaro, Sabtu (20/7). (photo credits: Jon Afrizal/amira.co.id)

BEJOLO Di Ujung Tanjung, dipentaskan di Desa Pulau Mentaro, Kecamatan Kumpeh Kabupaten Muarojambi, pada Sabtu malam (20/7). Melibatkan ratusan orang, sejak dari anak-anak dari Desa Tanjung, hingga para penari, teater, pemusik, kreografer, sampai ke soundman.

Sebuah pentas kolosoal terkait seni tradisi bertutur: Senandung Jolo, yang mulai terkikis, dan kini dihidupkan lagi.

Seperti seni-seni tradisi pada umumnya, yang tercerminkan adalah adat dan tradisi yang telah dan masih berlaku di daerah itu. Sayang, dengan tuturan lokal, yang hanya masyarakat lokal yang memahami, maka penonton dari luar daerah tidak diberikan bantuan narasi berbahasa Indonesia, untuk memahami makna pantun tutur Bejolo.

Aku berusaha untuk memaknai, dengan keterbatasan pemahaman terkait bahasa dan dialek lokal, yang seharusnya menjadi sarana penting dalam berkomunikasi, terutama dalam irama dan lagu.

Jika, seandainya, ada niatan untuk menampilkan kembali seni tradisi ini di tempat-tempat lain, yang berbeda budaya dan bahasa, agar penonton dapat larut didalamnya, maka bantuan narasi dalam bahasa Indonesia atau bahasa lainnya, tentu saja diperlukan.

Mari kita mulai dengan sejarah lokal. “Kumpe”, dan entah mengapa dipaksa menjadi “Kumpeh”, padahal dalam catatan Belanda tertulis “Kompei”, yang artinya secara phonology memang tidak ada huruf “-h” diakhir kata “Kumpe”. Dan, tentunya sangat mengganggu dalam penelusuran sejarah sebuah bangsa, jika melihatnya melalui kesatuan gramatikal dalam morphology.

Kumpe adalah jajaran, yang dapat dilihat sejak dari kawasan Kumpe Ulu saat ini hingga ke Suak Kandis. Sebagai kawasan bersejarah, dengan temuan-temuan artefak lama, sejak era Hindu-Buddha, Islam, hingga ke masa kolonialisme.

Baik itu makam-makam tua, candi-candi, gerabah dan keramik, juga manik-manik, keris dan sebagainya.

Hingga, kini, di Sungai Kumpe, yang menuju ke Sungai Berbak di Suak Kandis, banyak pencari harta pusaka lama menyelam hingga ke dasarnya.

Itulah Kumpe, yang dicatat sejarah melalui makam Rang Kayo Hitam, dan telah menyematkan nama Raden Mat Taher bergelar Singo Kumpe. Sebuah sejarah agung, bagi anak negeri.

Senandung (: lagu dengan irama), pada awalnya adalah dari suara manusia, dan tanpa alat musik. Sehingga, ketika diharuskan mengikuti aturan seni musik modern, jika tidak bijak, maka akan terdapat nada-nada false.

Terutama, ketika gambang yang berasal dari kayu mahang menampilkan bunyi yang nyaring ketika diketuk, dan menjadi musik pengiring yang meningkahi lantunan Bejolo. Dan, bagaimana seni musik modern menterjemahkan nada yang keluar dari kayu mahang sebagai sebuah jeritan dari lingkungan yang rusak.

Mirip dengan pengejawantahan suara wah wah yang keluar melalui efek gitar elektrik “baby cry”. Yang bersumber dari sebuah kesedihan: blues.

Bejolo adalah seni para pemuda-pemudi ketika berada di sawah dan ladang bagi kaum perempuan, dan di sungai untuk mencari ikan bagi laki-laki. Anggap saja cara mengusir sepi, atau cara untuk mencari jodoh. Dan, tentunya, kita hanya akan membicarakan traditional gender, di sini.

Ketika seorang laki-laki yang bersenandung, dan mendapatkan gena (tempat) atau melempar jolo (jala), maka senandungnya yang terdengar bagi orang lain, adalah juga pemberitahuan, bahwa itu adalah tempatnya, dan janganlah diganggu.

Jika pun, nantinya, ada pihak atau orang lain, yang kemudian datang ke tempat itu dan mencari ikan di sana, maka akan terjadi persinggungan negatif (konflik). Sehingga, seperti tradisi Melayu Jambi, setiap konflik dapat diselesaikan dengan “bulat kata dimufakat”.

Duduk bersama untuk berunding, dan menyelesaikan persoalan dengan sebaik-baiknya.

Pola patriarki, yang tidak dapat untuk dikatakan menyepelekan matriarki. Sebab, sebagai sebuah kesatuan, laki-laki adalah pengemban tugas, dan perempuan adalah penasehat.

Keduanya saling bertautan dan memiliki peran penting. Dimana tugas sudah ditetapkan, jika laki-laki adalah pencari laukpauk (mencari ikan), dan perempuan adalah penjaga kebutuhan pokok (padi di sawah).

Sama seperti peran Adityawarman sebagai raja Melayupura, dengan ibunya, Dara Jingga (Puti Reno Merak) yang berperan sebagai penasehatnya, dan juga ibu dari seluruh kaum (Bundo Kandung).

Maka, teramat sedih jika Bejolo hilang dan bhumi. Sehingga, tiga penutur lokal; Wak Zuhdi, Wak Degum dan Wak Mariam mengorak kembali tradisi ini, tentunya bukan tanpa alasan.

Wak Zuhdi, pada awal ia membentuk “Sanggar Seni Mengorak Silo”, mungkin saja, karena hanya itu hiburan yang ada di sana pada saat itu. Sehingga, sebagai hiburan, Bejolo dapat digunakan di saat-saat pesta pernikahan dan pesta-pesta lainnya.

Namun, kata dan bahasa adalah ucapan tentang tradisi dan budaya. Maka, Bejolo pun menceritakan tentang berbagai aspek kehidupan penduduk di sana.

Dan, sudah semestinya, sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB), Bejolo tidak seharusnya hanya menjadi seremonial semata.*

avatar

Redaksi