Seni, Topeng, Dan Band Indie

Lifestyle

February 25, 2025

Zachary Jonah

Sukatani. (credits: @sukatani.band)

TIDAK gampang menjadi bagian dari sebuah band. Terlebih, jika itu adalah band indie (independent). Band yang lebih banyak berfokus pada ideologi bermusik, ketimbang mencari duit.

Mulai dari susahnya membagi waktu, karena personil sedang fokus kerja utama. Hingga ke urusan duit buat recording. Kebayang?

Satu band indie Indonesia yang sekarang sering disebut-sebut namanya, adalah: Sukatani. Duo aliran electro punk, atau katakanlah: New Wave, asal Purbalingga, Jawa Tengah.

Band ini, sejujurnya cukup keren dan memiliki visi.

Dalam setiap pementasan, sesuai namanya, mereka kerap membagi-bagikan sayur-sayuran segar kepada penonton gigs. Sebagai penggambaran dari sikap bangsa agraris, tentu saja.

Disebabkan lagu dan liriknya yang berjudul “Bayar, Bayar, Bayar”, mereka harus berhadapan dengan pihak berwajib. Lantaran, lirik lagu itu dianggap sebuah kritik tidak membangun.

Akibatnya, mereka pun menggunggah video permintaan maaf. Melalui akun Instagram @sukatani.band, selain meminta maaf, mereka juga menyatakan menarik kembali lagu “Bayar, Bayar, Bayar” dari berbagai aplikasi di internet.

Meskipun, realitanya, kedelapan lagu mereka di album “Gelap Gempita” dapat didownload secara bebas. Toh, ini adalah jamannya mp3, dan bukan lagi masa tape recorder kaset pita.

Dan, yang sekarang sedang diributkan banyak orang, adalah, dua personel Sukatani; Muhammad Syifa Al Lufti aka Alectroguy (gitar) dan Novi Citra aka Twister Angel (vocal), tidak menggunakan topeng saat menyatakan permintaan maaf. Topeng, yang telah menjadi identitas mereka.

Begitu banyak komentar terkait sikap mereka yang tidak menggunakan topeng. Sudah lumrah.

Pussy Riot. (credits: Wiki Commons)

Hingga, muncullah tagar #kamibersamasukatani.

Itulah sikap, dan itulah resiko.

Kita masih bicara tentang band indie yang menggunakan topeng. Pussy Riot, band aliran punk rock feminist dari Moscow, Russia.

Lirik-lirik lagu milik mereka, kadang, dianggap provokatif, oleh pemerintah Russia.

Band yang dirikan oleh Nadezhda (Nadya) Tolokonnikova pada tahun 2011 ini terdiri dari 11 anggota perempuan. Dengan “pembagian kerja” yang tidak tetap, dalam memegang alat musik masing-masing.

Band ini mengadakan pertunjukan secara “gerilya”, yang tidak sah, dan terkesan provokatif di tempat umum. Pertunjukan-pertunjukan mereka, kemudian difilmkan sebagai video musik, dan diupload ke internet.

Mereka menentangan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Presiden Rusia Vladimir Putin, terutama hubungannya dengan pimpinan Gereja Ortodoks Rusia.

Pada 21 Februari 2012, empat orang personel band ini pun melakukan pertunjukan di dalam gedung Katedral Kristus Juru Selamat di Moskow. Tujuannya, adalah memprotes dukungan para pemimpin Gereja Ortodoks terhadap Putin selama kampanye pemilihannya.

Akhirnya, oleh pendeta Ortodoks, band ini dikutuk telah melakukan “pengrusakan”. Pertunjukan dihentikan oleh petugas keamanan gereja.

Mereka harus berhadapan dengan hukum. Dan, sejak saat itu, band ini menjadi The Most Wanted oleh pemerintah Russia.

Masked Intruder. (credits: Wiki Commons)

Kedua band; Sukatani dan Pussy Riot, memiliki beberapa kesamaan.

Mereka menggunakan musik punk rock yang kerap dinyatakan sebagai alat untuk protes. Pun, personel mereka ada yang perempuan.

Keduanya, memiliki lirik dengan nuansa protes sosial. Dan, menggunakan topeng yang hampir mirip dalam setiap pertunjukannya.

Hampir mirip, jika kita mengacu pada topeng mereka, adalah topeng yang kerap digunakan oleh anggota gerakan native America, Zapatista.

Sebagai personel band, Nadya Tolokonnikova dan Maria Alyokhina dari Pussy Riot, juga, kini kerap diketahui tidak menggunakan topeng. Wajah aslinya mulai terlihat, setelah pertunjukan protes di Katedral Kristus Juru Selamat di Moskow, dan keduanya harus berhadapan dengan hukum.

Sementara, setiap anggota gerakan sosial Zapatista, jika berada pada saat “parade” dan di depan umum, selalu mengunakan topeng rajutan. Sebagai bagian dari anonym, mereka memiliki nama yang sama: Marcos.

Tetapi, band bukanlah sebuah tindakan “mengangkat senjata”. Band adalah penyaluran perasaan. Perasaan sebagai tingkatan tertinggi dari: menjadi manusia. Filosofis? tentu saja.

Terlepas dari, apakah personel band adalah “Orang Gerakan” atau mendukung social movement.

Musik, sebagai jenis dari seni dan budaya, dapat saja dilepaskan dari itu semua, dan menjadi berdiri sendiri. Musik hanya sebagai seni.

Oh ya, meskipun sedikit berbeda, mari kita senggol band Masked Intruder. Band punk rock satu ini, terdiri dari empat orang laki-laki.

Hampir mirip, kempatnya, menggunakan topeng dengan warna-warna menyala. Dengan lirik lagu, yang “terlalu jujur” terkait perasaan kecintaan laki-laki terhadap perempuan, sebagai lawan jenisnya.

Maka, terlepas dari bertopeng atau tidak, itu adalah konsekwensi, dan sebagai bagian dari resiko.

Yang terpenting, adalah tetap berkarya. Dan membaca resiko.*

avatar

Redaksi