Senandung Jolo; Merawat Sastra Lisan

Budaya & Seni

July 21, 2024

Jon Afrizal

Dua dari tiga penutur Bejolo; Wak Zuhni dan Wak Degum, minus Wak Mariam. (photo credits: Jon Afrizal/amira.co.id)

BERTEMUNYA ide antar seniman dan penutur Senandung Jolo telah melahirkan karya bertajuk Bejolo di Ujung Tanjung. Karya itu dipentaskan di Desa Pulau Mentaro Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muarojambi, Sabtu malam (20/7).

Pagelaran seni tradisi ini melibatkan ratusan anak-anak sekolah. Mereka adalah pewaris seni tradisi bertutur, dan juga aktor utama yang merawat ekosistem seni budaya.

Senandung Jolo adalah tradisi sastra lisan yang ada di Desa Tanjung, Kecamatan Kumpeh. Tradisi terus berkembang karena masyarakatnya padek (pintar) mengolah pantun dan menbgubahnya menjadi nyanyian, untuk merespons lingkungan.

Terbatasnya jumlah penutur Senandung Jolo membuat tradisi ini terancam punah. “Sanggar Seni Mengorak Silo” yang menjadi rumah bagi Senandung Jolo, yang kini menyisakan tiga penutur yakni Wak Degum, Wak Zuhdi dan Wak Mariam.

Pada tahun 2024 ini, mereka menerima hibah Dana Indonesiana dari Kemdikbudristek. Untuk mewujudkan merdeka belajar dan merdeka berbudaya mereka pun berkoloborasi dengan seniman musik yakni Muhammad Taufiq Hidayat, Fino Andreka, Dwi Putra Yan Ramadona dan Anggi Okfrida. Kemudian seniman tari perempuan, Ajeng Briliant serta seniman teater Suwandi Wendy.

Wujud kolaborasi mementaskan karya “Bejolo di Ujung Tanjung” yang menawarkan pengalaman impresif dan imersif. Sebuah karya pertunjukkan yang menggabungkan berbagai elemen seni dan teknologi. Dan menggunakan pendekatan interaktif dan multisensorial untuk merayakan kekayaan kesenian Senandung Jolo sembari menjebatani tradisi dan inovasi kontemporer.

Dalam dunia yang semakin global, penting untuk menjaga dan mempromosikan warisan budaya kita dengan cara yang dapat diterima dan dinikmati generasi muda dan audiens internasional. Bajolo do Ujung Tanjung bukan hanya tentang pengembangan kesenian tradisional dalam upaya menjaga warisan budaya tapi juga tentang menciptakan masa depan yang lebih kaya, beragam dan harmonis.

“Kolaborasi bersama maestro adalah kunci untuk menghormati masa lalu sambil membangun jembatan menuju masa depan yang lebih baik,” kata Muhammad Taufiq Hidayat, Sabtu (20/7).

Menurutnya, kombinasi antara musik, tari, teater dan sastra pada pementasan “Bejolo di Ujung Tanjung” telah menciptakan sebuah narasi yang mengajak penonton, untuk menjelajahi dan merasakan berbagai aspek dari setiap kreativitas, perjalanan emosional dan kultural setiap individu dalam menafsirkan harmoni antara tradisi dan modernisasi.

“Setiap elemen seni tidak hanya ditampilkan secara terpisah tetapi juga diintegrasikan secara harmonis untuk menghasilkan pengalaman yang tak terlupakan yang diharapkan dapat memperkaya pemahaman audiens tentang Senandung Jolo dan potensi kreatifnya dalam konteks dunia hari ini,” katanya.

Senandung Jolo berkembang di Desa Tanjung. Tetapi pewarisan tak terbatas ruang dan waktu yang mencari media untuk bertumbuh di setiap jaman. Dengan mengajarkan Senandung Jolo kepada ratusan anak yang berada di Kecamatan Kumpeh, maka proses pewarisan sudah berjalan. Setidaknya dalam diri anak-anak muncul rasa kepemilikan terhadap karya budaya yang telah menjadi Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia.

“Kami ingin mewariskan tradisi Bejolo kepada generasi selanjutnya. Agar proses pewarisan lebih kuat dan mendalam, kita harus berkolaborasi dengan seniman lain dan banyak pihak,” kata Wak Zuhdi.

Ketua “Sanggar Seni Mengorak Silo” ini merasa terharu ketika anak-anak naik ke atas panggung dengan penuh percaya diri. Senandung Jolo dirayakan dengan gemilang dan diapresiasi secara mendalam.

“Agenda yang berjalan sudah sesuai amanat Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan,” kata Wak Zuhdi.

Meskipun pewarisan sudah berjalan dengan baik, Wak Zuhdi masih menyisakan kecemasan, sebab daya dukung ekosistem karya budaya Senandung Jolo selalu terganggu. Gangguan budaya asing, tentu berpotensi meruntuhkan kebanggan generasi muda terhadap budaya lokal.

Sehingga, ia berharap karya budaya yang telah menjadi WBTB Indonesia dapat diajarkan ke sekolah secara rutin.

Seniman tari Perempuan, Ajeng Briliant menilai aktivitas tradisi Senandung Jolo begitu kuat dengan aktivitas para Perempuan. Aktivitas perempuan di sawah mulai dari gotong royong menugal (tanam padi) sampai dengan panen senantiasa menyelipkan Senandung Jolo.

Aktivitas Senandung Jolo yang berkaitan dengan pertanian mulai menurun. Sebab telah terjadi pergeseran mata pencarian dari sawah ke perkebunan sawit. Sehingga perempuan yang terlibat dalam aktivitas Bejolo semakin sedikit.

Seniman teater, Suwandi Wendy, telah melakukan kritik sosial dalam garapan “Bejolo di Ujung Tanjung”. Terkait dengan menurunnya kualitas lingkungan, yang turut mempengaruhi Senandung Jolo.

Sebab, kayu mahang, sebagai bahan baku alat musik gambang, yang digunakan untuk menunjang pertunjukkan Bejolo kini sudah sulit ditemukan di alam.

Penyebab utamanya tentu alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit secara masif. Sehingga keberadaan kayu mahang sulit ditemukan. Padahal kayu mahang menjadi bahan baku utama, yang tak bisa digantikan dengan bahan lain.

“Kita harus melihat Senandung Jolo secara utuh. Tidak ada alat musik gambang yang baik, jika tidak ada kayu mahang. Semua itu berhubungan dan saling mendukung,” kata Wendy.

Pertunjukkan “Bejolo di Ujung Tanjung” mementaskan pertunjukkan tradisi; mulai dari arak-arakan kompangan. Selanjutnya penonton pun digiring suara-suara Senandung Jolo untuk menghampiri panggung-panggung kecil.

Pada panggung-panggung itu, anak-anak telah bersiap untuk menghibur penonton dengan keterampilan memainkan berbagai instrumen musik, gerak, permainan anak tradisional dan silat kampung.

Pada pementasan ini pun dibacakan “Piagam Batanghari”. Dengan tujuan untuk mengingatkan publik tentang kearifan leluhur dalam menjaga mata air, hutan, sungai dan lingkungan.*

avatar

Redaksi