Reformasi DPR; Etika Dan Kinerja

Daulat

September 13, 2025

Astro Dirjo

Elemen Estetik di kompleks Gedung MPR-DPR-DPD RI. (credits: MPR)

“Publik tidak bisa terus mentoleransi DPR sebagai panggung yang lebih sibuk menciptakan sensasi ketimbang merumuskan kebijakan publik. Demokrasi yang sehat menuntut aturan main yang jelas, institusi yang kuat, dan aktor politik yang bertanggung jawab. Reformasi pemilu adalah syarat minimum bagi hadirnya demokrasi yang berfungsi.” Titi Anggraini, Dosen Hukum Pemilihan Umum FHUI

PIMPINAN DPR RI meminta maaf kepada publik atas kekurangan dan kekeliruan lembaga dalam menjalankan tugas serta fungsi perwakilan rakyat. Permintaan maaf ini, disampaikan menyusul aksi demontrasi Agustus/September 2025 beberapa waktu lalu.

“Tentunya permintaan maaf ini tidak cukup tanpa evaluasi dan perbaikan menyeluruh,” kata Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad pada pertemuan Pimpinan DPR RI dengan Perwakilan Mahasiswa di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta, Rabu (3/9), mengutip lama resmi DPR RI.

Reformasi DPR, katanya, ditujukan untuk menghadirkan DPR yang lebih baik, transparan, dan akuntabel di mata publik. Selain evaluasi internal, juga, pentingnya kerjasama dengan pemerintah untuk menangani sejumlah isu strategis yang menjadi sorotan masyarakat.

“DPR membuka ruang partisipasi publik, termasuk dari kalangan mahasiswa dan organisasi masyarakat sipil, dalam proses evaluasi. Kami akan memastikan setiap aspirasi dapat tersampaikan secara langsung maupun melalui jalur institusional,” katanya.

Titi Anggraini, Dosen Hukum Pemilihan Umum Fakultas Hukum Universitas Indoneia (FHUI), menyebutkan, terdapat empat langkah mendasar yang harus ditempuh untuk mengkoreksinya agar parlemen dapat berbenah dan kembali pada khitahnya.

Pertama, perbaikan desain sistem pemilu proporsional terbuka saat ini harus dievaluasi secara mendasar karena mendorong kompetisi brutal antarkandidat yang berujung pada praktik banal politik uang.

Gedung MPR-DPR-DPD RI. (credits: MPR)

“Sistem pemilu harus diarahkan pada model yang mampu memperkuat representasi substantif, meminimalisasi biaya politik, dan membuka peluang lebih besar bagi kelompok yang selama ini termarjinalisasi. Dalam konteks ini, sistem pemilu campuran dapat dipertimbangkan sebagai alternatif,” katanya, mengutip Hukum Online.

Kedua, penegakan transparansi akuntabilitas pendanaan politik sebagai prasyarat utama bagi demokrasi yang sehat. Reformasi harus memastikan adanya regulasi yang lebih ketat, instrumen audit yang efektif, pemberlakuan pembatasan belanja kampanye yang masuk akal, serta pemanfaatan teknologi informasi untuk pelaporan dan pengawasan publik.

Ketiga, demokratisasi internal partai politik melalui regulasi untuk membuka mekanisme kaderisasi dan rekrutmen secara lebih meritokratis, partisipatif, dan akuntabel.

“Regulasi juga harus memberi insentif bagi partai yang berhasil mendorong keterwakilan kelompok perempuan, pemuda, dan kelompok rentan lainnya,” katanya.

Keempat, pembaruan seleksi penyelenggara pemilu yang harus dipisahkan dari intervensi partisan. Sehingga, dibutuhkan mekanisme independen yang melibatkan pakar, masyarakat sipil, dan lembaga non-partisan untuk memastikan bahwa hanya figur dengan integritas dan kompetensi yang terpilih.

Sementara itu, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia, mengatakan bahwa reformasi parlemen tidak cukup bersifat kosmetik, melainkan harus sistemik. Sebab, Indonesia butuh sesuatu yang lebih dari itu, sesuatu yang sifatnya lebih jangka panjang dan menyasar kepada sesuatu yang sistemik.

“Langkah-langkah jangka pendek seperti pemotongan tunjangan atau penonaktifan anggota memang diperlukan, tetapi tidak boleh berhenti di sana,” katanya, mengutip situs resmi UGM.

DPR dan pemerintah, katanya, harus segera menuntaskan rancangan Undang-Undang yang menjadi kebutuhan publik. Sebab, tanpa perangkat hukum yang tegas, korupsi akan tetap berulang karena tidak ada efek jera yang nyata.

“Perubahan sistemik parlemen harus dimulai dari partai politik (parpol),” katanya.

Selama ini, menurutnya, ketergantungan anggota legislatif pada ketua umum partai membuat reformasi menjadi sulit. Dan, praktik politik di Indonesia masih kental dengan pola oligarki yang menyerupai perusahaan keluarga.

“Pola pewarisan kepemimpinan politik yang eksklusif membuat banyak orang di luar lingkaran keluarga tidak punya kesempatan setara. Situasi ini, jelasnya, menghambat regenerasi kader yang lebih kompeten dan berintegritas,” katanya.

Dan, parpol seringkali lebih sibuk mengurus kepentingan internal ketimbang mengawal agenda rakyat. Padahal, katanya, parpol adalah institusi yang memegang mandat publik untuk mengkader pemimpin dan menyusun arah kebijakan negara.

“Sumber dari segala kekacauan yang terjadi di Indonesia besar potensinya dihasilkan dari proses politik ini,” katanya.*

avatar

Redaksi