Petani Kumpe Rapatkan Barisan

Hak Asasi Manusia

November 5, 2023

Junus Nuh/Kumpe Ulu

Rapat akbar anggota STK di Balai Desa Sumber Jaya, Jum’at (3/10) (photo credits : citizen journalist/amira.co.id)

MASYARAKAT Desa Sumber Jaya Kecamatan Kumpe Ulu Kabupaten Muarojambi, yang tergabung dalam Serikat Tani Kumpe mengadakan rapat akbar di Balai Desa Sumber Jaya, Jum‘at (3/10). Rapat akbar ini dalam agenda persiapan pledoi Bahusni, ketua STK yang dituntut satu tahun penjara oleh JPU di PN Sengeti atas dakwaan pelanggaran terhadap Undang-Undang Perkebunan. 

Rapat akbar ini diikuti oleh sekitar 200-an orang anggota masyarakat Desa Sumber Jaya. Termasuk juga kaum ibu dan perempuan. Beberapa dari anggota serikat berhalangan hadir. Tetapi diwakilkan oleh anggota masyarakat lainnya.  

“Masyarakat Desa Sumber Jaya adalah anggota STK. Anggota STK adalah juga masyarakat Desa Sumber Jaya,” kata tokoh masyarakat Desa Sumber Jaya, Rasidi.

Rapat itu sendiri juga dihadiri oleh perangkat desa, kuasa hukum Bahusni dan perwakilan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

“Dalam kondisi apapun, kekompakan dan satu suara harus didahulukan,” kata Bahusni dalam rapat itu.

Banyak hal yang dibahas antar anggota yang hadir. Termasuk juga kemungkinan-kemungkinan yang bakal mereka hadapi bersama setelah putusan vonis terhadap Bahusni dibacakan.

Kondisi yang telah mereka hadapi selama dua tahun ini. Sejak mereka melayangkan surat ke banyak pihak termasuk PT Fajar Pematang Indah Lestari (FPIL) untuk menduduki areal yang kerap dinyatakan perusahaan sebagai HGU mereka. Meskipun, senyatanya, HGU yang dimaksud itu tidak terdata di aplikasi android “Sentuh Tanahku” milik kementrian ATR/BPN.

“Menangkap Bahusni adalah menangkap kami semua,” kata mereka bersama-sama.

Serikat ini sarat dengan nuansa religi. Shalawat dan doa secara agama Islam telah menjadi tradisi dalam setiap pergerakan mereka.

Mereka adalah petani biasa, orang-orang dusun yang terpinggirkan hak kelolanya dan kehilangan sumber-sumber agraria, sejak kedatangan perusahaan secara silih berganti, dimulai sejak akhir tahun 1990-an.   

Sebagai petani, keahlian memegang cangkul dan parang telah diwariskan oleh pendahulu-pendahulu mereka. Bahkan jauh sebelum wilayah dusun mereka ditetapkan menjadi bagian dari Daerah Tingkat (Dati) II Batanghari.

Nama-nama pendahulu mereka tercatat dalam sejarah Djambi, yakni sejak masa Kesultanan Djambi. Meskipun beberapa kisah sejarah belum tercatat secara detail, tapi telah menjadi ingatan koletif, dan dapat dibuktikan dengan adanya banyak keramat (makam) di dusun mereka.

Mereka adalah keturunan orang-orang bagak yang bertugas untuk melindungi Sultan Djambi dan Kesultanan Djambi. Semangat itu yang terlihat dalam gerakan reforma agraria di desa ini.     

Sehingga, apapun yang mereka dapatkan dari reclaim lahan seluas 322 hektare itu tidak hanya untuk kepentingan pribadi per pribadi saja. Mereka membiayai sekolah setingkat SD, ambulance, dan kini tengah mengumpulkan uang untuk rumah ibadah.

“Sebelum ada serikat, kami tidak memiliki apapun secara kolektif,” kata Rasidi.

Sifat religi ini yang membuat mereka untuk tetap memberikan hak sosial kepada janda dan anak yatim. Hak sosial disini adalah bahwa dalam setiap yang dihasilkan, selalu ada hak untuk untuk mereka.

“Jika tuduhan mencuri diberikan kepada kami, maka klausul apa yang harus diberikan kepada perusahaan yang mengangkangi tanah kami, dan tanpa izin kami?” tanya Bahusni.

Anggota masyarakat menuntut hakim untuk bersikap adil. Memvonis dengan melihat  kondisi-kondisi yang terjadi saat ini.

“Yang benar pasti akan terlihat jelas, dan itu pasti,” kata Bahusni.*

avatar

Redaksi