Pengungsi Rohingya Ditolak di Aceh
Hak Asasi Manusia
November 22, 2023
Zulfa Amira Zaed
Pengungsi Rohingya (: reuters)
SUDAH lebih dari dua pekan, pengungsi Rohingya berdatangan ke Aceh menggunakan kapal kayu. Dulu, masyarakat Pidie, menerima mereka, memberikan bantuan makanan, dan menampungnya.
Ini bukan kali pertama, namun telah berulang sejak tahun lalu. Sebelumnya, sebanyak 343 pengungsi ditampung di penampungan sementara Gedung Yayasan Mina Raya, Kecamatan Padang Tiji, Kabupaten Pidie, Aceh yang 103 di antaranya adalah anak-anak dan balita.
Kini, masyarakat Aceh menolak kedatangan para pengungsi selanjutnya. Penduduk setempat melakukan itu karena khawatir dengan konflik atau gesekan yang mungkin saja terjadi setelah gelombang pengungsi berdatangan ke wilayah mereka.
Dikutip dari BBC Indonesia, sejumlah pria dipaksa kembali ke kapal kayu yang berjarak sekitar 30 meter dari bibir pantai di Desa Ule Madon, Kabupaten Aceh Utara pada Kamis (16/11). Selanjutnya, kapal yang berisi lebih dari 200 pengungsi juga ditolak warga saat memasuki Kuala Pawon, Kabupaten Bireuen.
Meski demikian, masyarakat yang berada di sekitar bibir pantai membekali para pengungsi tersebut dengan makanan dan pakaian pantas pakai sebelum kembali ke kapal kayu yang mereka tumpangi.
Penolakan yang dilakukan masyarakat Aceh bukan tanpa alasan dengan menilik perilaku pengungsi Rohingya sebelumnya. Kabid Humas Polda Aceh Kombes Joko Krisdiyanto mengatakan kepada detik.com, warga bahkan sempat meminta pengungsi yang sudah turun ke darat untuk kembali naik ke kapal karena menolak kedatangan mereka.
“Satu alasan penolakan yang berkembang, adalah karena imigran Rohingya yang pernah terdampar sebelumnya berperilaku kurang baik dan tidak patuh pada norma-norma masyarakat setempat,” kata Joko.
Sejak beberapa tahun silam sudah banyak pengungsi Rohingya yang mendarat dan ditampung di sejumlah wilayah di Aceh. Beberapa dari mereka sempat membuat ulah, di antaranya kabur dari penampungan, hingga melakukan tindakan kriminal. Bahkan disinyalir, pengungsi Rohingya yang tiba di Aceh terlibat perdagangan orang.*