Partisipasi Pemilih Di Pilkada Turun, Rakyat Jenuh?
Daulat
December 7, 2024
Farokh Idris

Ilustrasi pemilihan umum. (credits: pexels)
TAHUN 2024 adalah kali pertama pilkada dilaksaakan secara serentak di seluruh wilayah. Yakni pada 27 November 2024.
Waktu pelaksanaan pilkada serentak ini, hanya sekitar sembilan bulan setelah masyarakat memberikan suaranya pada pilpres dan pileg pada 14 Februari 2024 lalu.
Namun, mengutip Kompas, tingkat partisipasi pemilih pada Pilkada 2024 ini justru menurun, jika dibandingkan Pilpres dan Pileg 2024 lalu.
“Tingkat partisipasi Pilkada 2024 secara nasional tak sampai 70 persen,” kata Kooridnator Divisi Sosialisasi dan Partisipasi Masyarakat KPU RI August Mellaz, mengutip Kompas, Jumat (29/11).
“Dari data masing-masing provinsi, katanya, partisipasi antara 54 presen hingga 81 persen,” katanya.
Pilkada Jakarata, misalnya. Menurut analis politik dari Universitas Indonesia, Cecep Hidayat, masyarakat Jakarta itu dekat dengan paparan isu-isu politik nasional sehingga mereka menjadi apatis.
“Terlebih, janji-janji paslon tidak menyentuh dan mempengaruhi kehidupan sehari-hari mereka,” katanya, mengutip BBC.
Sedangkan, pakar hukum kepemiluan Universitas Indonesia, Titi Anggraini mengatakan bahwa masyarakat masih lelah dengan dinamika pemilu legislatif dan presiden yang cukup menguras konsentrasi mereka. Dan harus menghadapi pilkada yang juga disertai banyak kontroversi.
“Para pemilih Jakarta merasa seperti dikhianati partai yang baru saja mereka pilih di pemilu legislatif,” katanya.
Sehingga, ada atau trust issue (isu kepercayaan) terhadap partai dan elite politik atas rentetan peristiwa yang terjadi sejak pemilu sampai dengan penyelenggaraan pilkada,“ katanya.
Selain itu, katanya, koalisi antara partai dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus di tingkat nasional yang direplikasi ke Jakarta juga menimbulkan apatisme di masyarakat yang relatif terdidik dan melek politik.
“Calon kepala daerah yang ditentukan elit di tingkat pusat dan lemahnya penegakan hukum oleh Bawaslu, adalah faktor lainnya.
Ia menilai, waktu pelaksanaan Pemilu dan Pilkada yang berdekatan, menjadi alasan logis turunnya tingkat partisipasi pemilih. Sehingga harus ada jeda yang jelas, agar evaluasi terkait penyelenggaraan pemilu dapat diimplementasikan pada pilkada selanjutnya.
Samsul Arifin, dosen hukum Universitas Muhamamdiyah (UM) Surabaya mengatakan, meski Pulau Jawa merupakan wilayah dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia, namun tingkat partisipasi pemilih masih menjadi tantangan.
“Tingginya angka golput dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti kurangnya kepercayaan terhadap proses politik, kendala teknis dalam pemungutan suara, hingga kurangnya informasi yang diterima oleh pemilih terkait pentingnya partisipasi dalam pemilu,” katanya, mengutip Suara Surabaya, Minggu (1/12).
Menurutnya, sebagian masyarakat cenderung bersikap skeptis, bukan terhadap para calon yang berkontestasi dalam Pemilu, tetapi terhadap proses pemilihannya.
“Dalam pandangan masyarakat, berbagai dugaan kecurangan, manipulasi, dan ketidakadilan dalam penyelenggaraan pemilu telah menciptakan persepsi negatif yang mendalam,” katanya.
Pandangan ini, katanya, mencerminkan ketidakpercayaan yang signifikan terhadap sistem demokrasi, yang mana idealnya suara rakyat menjadi penentu utama.
Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto berpendapat bahwa pemilih jenuh. Sebab, jarak waktu antara pilpres, pileg, dan pilkada terlalu berdekatan.
Sementara, Wakil Ketua Komisi II DPR Dede Yusuf juga berpendapat bahwa waktu pelaksanaan yang berdekatan antara Pilkada dan Pemilu 2024 melelahkan bagi public. Sehingga angka partisipasi Pilkada 2024 tidak sampai 70 persen.
“Patut dipertimbangkan untuk memisah tahun pelaksanaan pemilu dan pilkada,” katanya.*

