“News” Dan Media Sosial
Hak Asasi Manusia
June 15, 2023
Novita Sari
NENEK saya, Aina Daud (79) sambil tergopoh-gopoh memegang gawainya bercerita bahwa ia baru saja melihat berita di aplikasi Tik-Tok, bahwa seorang artis senior Indonesia meninggal pada Senin (17/5) lalu.
Di lain hari, seorang teman sesama mahasiswa menyebutkan bahwa ia telah mendapatkan jawaban untuk menyelesaikan tugas menulis artikel berita karena melihat contoh ide yang berseliweran pada aplikasi video pendek Tik-Tok. Padahal, tugas ini seharusnya mencari sumber informasi kredibel dari media cetak atau media elektronik.
Meski keduanya adalah kejadian yang berbeda, namun terdapat satu kesamaan yang dapat dilihat dengan jelas, yakni aplikasi video pendek (Tik-Tok) yang menjadi sumber kepercayaan dua orang itu. Alih-alih mendapat informasi melalui sumber yang kredibel, keduanya justru percaya bahwa apa yang ia lihat di aplikasi itu telah menjawab pertanyaan dan memberikan informasi yang mereka butuhkan. Meskipun, nyatanya, mereka merujuk pada konten di media sosial yang tidak terjamin kebenarannya.
Arus informasi yang saat ini semakin deras dari berbagai platform media sosial telah membuat masyarakat mencari informasi di sana. Tidak ada lagi mendengar berita melalui saluran radio, membaca koran, dan menyaksikan televisi, yang telah mulai ditinggalkan.
Potongan-potongan berita dari media massa yang disambung seperti maunya konten kreator, tanpa memahami kaidah jurnalistik, memenuhi linimasa media sosial. Dan dianggap sebagai “news” yang sesungguhnya.
Media Massa versus Media Sosial
Amanat Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 jelas menyebutkan tentang kemerdekaan pers yang bersumber dari kebutuhan masyarakat akan pentingnya informasi yang benar. Setidaknya ada empat hal yang mendasari undang-undang ini dikutip dari website dewan pers, mulai dari sebagai wujud kedaulatan rakyat, hak asasi manusia dalam kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai hati nurani serta memperoleh informasi, wahana komunikasi penyebar informasi dan pembentuk opini, hingga ikut menjaga ketertiban dunia.
Riuhnya berbagai bentuk informasi, percakapan, atau konten di media sosial tetap tidak bisa mengalahkan kejernihan peran pers. Bayangkan saja jika informasi tak terbatas di media sosial hadir tanpa adanya kontrol dan sumber dari media massa, kekacauan informasi dan dalam berbagai bentuk dapat saja terjadi.
Hadirnya media massa seperti air bah. Media massa menampilkan berita dan membentuk opini. Meski saat ini tuntutan dan inovasi pers semakin tinggi agar tidak ditinggal pembaca dan kalah dengan pernyataan influencer. Transformasi media massa juga sudah merambah media sosial. Tidak hanya website, konten berita kini banyak tersebar di media sosial, bahkan juga berbentuk video dengan durasi relatif singkat. Namun sekali lagi, ini pembedanya, media massa tetap menjunjung tinggi kaidah jurnalistik.
Kelalaian Dalam Penerapan Jurnalisme
Meski bekerja dengan harapan membawa visi besar pers untuk mampu menyumbangkan pengetahuan bagi orang banyak, akan tetapi pada praktiknya mereka yang menulis berita dan bertanggungjawab melakukan kerja-kerja jurnalistik pun mungkin saja melakukan kelalaian.
Seperti, perlu adanya cover both side, dan melakukan check and recheck kepada para pihak yang terlibat didalamnya termasuk sumber pernyataan yang dimuat. Dan, tentu saja butuh waktu untuk melengkapi itu semua.
Kode etik jurnalistik telah menyebutkan bahwa jurnalis Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Pembelajaran tentang jurnalistik tidak boleh terputus dari akarnya, mengenai pemahaman kode etik dan kode perilaku jurnalis. Tidak hanya berbekal keterampilan menulis dengan unsur 5w+1 H yang sering diajarkan di bangku universitas saja. Sebab, mereka yang memilih untuk menjadi jurnalis, juga telah memilih untuk berperan mencerahkan banyak orang.*