Finansial Di Titik Nadir

Ekonomi & Bisnis

January 22, 2024

Jon Afrizal

Kerusuhan yang terjadi menjelang turunnya Suharto pada Mei 1998. (: kaskus)

INDONESIA pernah mengalami masa suram. Ketika sektor ekonomi terpuruk dan terjerembab, yang pada akhirnya berimbas pada krisis politik. Masa itu, yakni pada tahun 1997 hingga 1998, biasa disebut Jaman Krismon (Krisis Moneter).

Mengutip indonesia-investments, kondisi ini bermula dari krisis keuangan Asia. Ketika  pemerintah Thailand yang saat itu dibebani utang luar negeri yang besar, memutuskan untuk mengembangkan mata uang baht. Kebijakan ini diambil setelah serangan yang dilakukan para spekulan mata uang terhadap cadangan devisa negara Thailand. Krisis itu terjadi pada tanggal 2 Juli 1997.

Kebijakan moneter Thailand yang bertujuan untuk merangsang pendapatan ekspor ini ternyata tidak berhasil. Sehingga, dengan cepat menular ke negara lainnya di Asia.

Investor asing yang telah menanamkan uang mereka di Asia sejak satu dekade sebelum 1997, kehilangan kepercayaan di pasar Asia. Takut resiko merugi, mereka pun  membuang  mata uang – mata uang dan aset-aset Asia secepat mungkin.

Indonesia, menjadi negara yang paling terpukul karena krisis ini tidak hanya berdampak terhadap ekonomi tetapi juga terhadap sistem politik dan kondisi sosial di Indonesia.

Pada saat tekanan terhadap rupiah Indonesia akhirnya terlalu kuat, rupiah diputuskan untuk float freely  (diambangkan bebas) pada bulan Agustus 1997. Dan sejak saat itu mulailah terjadi depresiasi rupiah yang sangat signifikan.

Pada tanggal 1 Januari 1998, nilai nominal rupiah hanya 30 persen dari nilai yang pernah dicapai pada bulan Juni 1997.

Pada tahun-tahun sebelum tahun 1997 banyak perusahaan swasta di Indonesia yang memperoleh pinjaman luar negeri jangka pendek yang tidak dilindungi terhadap gejolak unhedged  (nilai tukar) dalam mata uang USD. Utang sektor swasta yang sangat besar ini adalah bom waktu yang menunggu waktu untuk meledak.

Depresiasi rupiah memperburuk situasi secara drastis. Perusahaan-perusahaan di Indonesia berlomba-lomba membeli USD. Yang mengakibatkan lebih banyak tekanan terhadap rupiah dan memperburuk situasi utang yang dimiliki oleh perusahaan.

Perusahaan-perusahaan dan bank-bank di Indonesia menderita kerugian yang amat besar. Persediaan devisa menjadi langka karena pinjaman-pinjaman baru untuk perusahaan-perusahaan di Indonesia tidak diberikan oleh kreditur asing.

Situasi krisis yang tidak mampu diatasi ini membuat pemerintah Indonesia mencari bantuan keuangan dari Dana Moneter Internasional (IMF) pada bulan Oktober 1997.

Ketika paket bailout sebesar USD 43 miliar dari IMF tiba di Indonesia, sebagai imbalannya IMF menuntut beberapa langkah reformasi keuangan yang mendasar. Yakni penutupan 16 bank swasta, penurunan subsidi pangan dan energi, dan menyarankan agar Bank Indonesia menaikkan iklim suku bunga. 

Namun reformasi moneter tahap awal ini gagal. Penutupan 16 bank malah memicu penarikan dana besar-besaran pada bank-bank lainnya. Sehingga membatasi kemampuan bank untuk memberikan pinjaman. Juga, memaksa Bank Indonesia untuk memberikan kredit dalam jumlah besar kepada bank-bank yang masih ada untuk mencegah krisis perbankan yang semakin parah.

IMF, sayangnya, tidak pernah berusaha untuk mengekang sistem patronase yang dimiliki Suharto; yang merusak perekonomian negara dan juga merusak program IMF. Sistem patronase ini adalah alat yang dijalankan oleh Suharto untuk mempertahankan kekuasaan; dalam imbalan atas dukungan politik dan keuangan, ia memberikan jabatan yang kuat kepada para keluarga, teman dan musuh.

Perkembangan lain yang berdampak negatif terhadap Indonesia menjelang akhir tahun 1997 adalah kekeringan parah yang disebabkan oleh El Nino. Kekeringan ini telah menyebabkan kebakaran hutan dan hasil panen yang buruk.

Peningkatan spekulasi ketidakpastian politik tentang memburuknya kesehatan Suharto pada saat itu, pun menjadi pemicu Indonesia menuju krisis politik.

Di saat ekonomi semakin terpuruk pada Januari 1998, lalu Indonesia melakukan kesepakatan kedua dengan IMF. Kesepakatan itu berisi 50 pokok program reformasi, termasuk pemberian jaring pengaman sosial, penghapusan secara perlahan subsidi-subsidi tertentu untuk masyarakat dan menghentikan sistem patronase Suharto dengan cara mengakhiri monopoli yang dijalankan oleh sejumlah kroninya.

Namun, Suharto enggan untuk melaksanakan program reformasi struktural ini. Dan IMF pun terlalu memaksakan banyak program reformasi dalam waktu yang sangat singkat. Kondisi semakin memburuk.

Lalu, dilakukan lagi kesepakatan ketiga dengan IMF pada bulan April 1998. Yang meliputi pemberian subsidi pangan yang besar untuk rumah tangga berpenghasilan rendah dan defisit anggaran dibiarkan semakin melebar. Juga privatisasi badan milik negara, tindakan cepat untuk melakukan restrukturisasi perbankan, pembuatan hukum kepailitan baru dan pengadilan baru untuk menangani kasus-kasus kepailitan. IMF telah  masuk  terlalu jauh.

Realita di luar istana, kekuatan-kekuatan sosial sedang menyusun barisan. Kritik dan aksi demonstrasi terhadap pemerintah Suharto yang terpilih kembali sebagai presiden dan membentuk kabinet baru pada bulan Maret 1998, pun semakin menekan.

Setelah pemerintah memutuskan untuk mengurangi subsidi BBM pada awal bulan Mei 1998, pecahlah kerusuhan besar di Medan, Jakarta dan Solo.

Ini, tentunya, tidak terlepas dari kebijakan IMF yang memberikan waktu kepada Suharto untuk mengurangi subsidi secara bertahap hingga bulan Oktober 1998. Pemerintah pun terkesan terlalu percaya diri untuk mengatasinya.

Tekanan sosial terus  mengepung  istana. Yang mengakibatkan Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden pada tanggal 14 Mei 1998.

Krisis finansial telah sepenuhnya berubah menjadi krisis sosial dan politik.

Perbaikan sektor ekonomi mulai dilakukan oleh Bacharuddin Jusuf Habibie. Ia adalah wakil presiden, dan secara hukum dan konstitusi, menggantikan Suharto sebagai presiden Indonesia yang sah.

Kesepakan keempat dengan IMF ditandatangani pada bulan Juni 1998. Kemungkinan terjadinya defisit anggaran yang lebih longgar, dan dana baru dialirkan ke dalam perekonomian.

Beberapa bulan setelah itu, nilai tukar rupiah terhadap USD mulai menguat. Dari IDR 16.000 per USD pada pertengahan Juni 1998, menjadi IDR 8.000 per USD pada bulan Oktober 1998.

Inflasi membaik secara drastis, saham-saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) mulai bangkit dan ekspor non-migas mulai hidup kembali menjelang akhir tahun.

Sektor perbankan, sebagai pusat dari krisis ini, telah menyebabkan peningkatan utang pemerintah secara tajam. Utang-utang ini disebabkan oleh penerbitan obligasi untuk restrukturisasi perbankan.

Namun, perekonomian Indonesia mulai membaik secara bertahap selama tahun 1999. Sebagian disebabkan oleh membaiknya lingkungan internasional yang menyebabkan kenaikan pendapatan ekspor.*

avatar

Redaksi