BNN Riset Ganja Untuk Kepentingan Medis

Inovasi

May 25, 2025

Mikel Gabrila

Ilustrasi laboratorium. (credits: pexels)

BADAN Narkotika Nasional (BNN) saat ini tengah melakukan riset penggunaan ganja (Cannabis sativa) untuk kepentingan medis. Riset ini untuk menindaklanjuti permintaan Komisi III DPR, dan dilaksanakan dengan koordinasi Pusat Laboratorium BNN dalam pelaksanaan riset itu.

“Kami memulai riset karena ini perintah dari DPR,” kata Kepala BNN Komjen Pol Marthinus Hukom, mengutip BeritaSatu, Selasa (20/5).

Menurutnya, riset yang dilakukan BNN ini adalah karena BNN sebagai lembaga koordinatif dibidang pemberantasan dan penyalahgunaan narkotika.

Dari hasil riset ini nantinya, katanya, yang akan menentukan apakah penggunaan ganja bagi kepentingan medis dapat dilakukan atau tidak. Sebab, jika memang hasil riset menyatakan dapat digunakan untuk kepentingan medis, maka diperlukan adanya aturan dari Kementerian Kesehatan yang mengatur penggunaan ganja di bidang kesehatan.

“Ini bukan berarti BNN melegalisasikan ganja, tetapi mencoba untuk mengakomodir semua permintaan publik. Jika memang dapat digunakan untuk medis, maka kita akan mencari apakah ini nanti diaturnya seperti apa,” katanya.

Namun, masih ada persoalan lain.

Menurut Marthinus, saat ini terdapat sekitar 1,4 juta penduduk Indonesia yang tercatat sebagai pengguna narkotika jenis ganja. Namun, pemerintah hanya mampu merehabilitasi sebanyak 15.000 orang pertahun.

“Ini akan menambah masalah sosial bagi pemerintah,” katanya.

Berdasarkan Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 tentang “Narkotika” dan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 9 tahun 2022 tentang “Perubahan Penggolongan Narkotika”, maka tanaman ganja adalah “Narkotika golongan I”.

Ilustrasi obat-obatan medis. (credits: pexels)

Sementara itu, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) mengapresiasi komitmen BNN untuk melakukan riset terhadap penggunaan ganja untuk kepentingan medis.

“Riset medis tidak boleh terjebak hanya mengukur kadar toksisitas dari kandungan ganja saja. Tetapi juga kegunaan ganja baik untuk mengobati penyakit dan meredakan rasa sakit,” kata Direktur LBHM Albert Wirya, pada siaran pers tertanggal 6 Mei 2025.

Selain itu, katanya, pemerintah pun harus membuka keterlibatan publik yang bermakna dalam riset ini. Bukan hanya Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Kementerian Kesehatan yang memiliki kompetensi dalam menjalankan riset ini, melainkan juga masyarakat sipil, khususnya akademisi di bidang medis dan farmakologi yang selama ini memang sudah lama menaruh perhatian pada isu-isu narkotika.

Juga, katanya, penelitian pun harus mencangkup pemanfaatan ganja oleh masyarakat adat. Sebab, bagaimanapun, ganja adalah tanaman yang sudah tumbuh ratusan tahun di Indonesia.

“Dan pemerintah perlu memberikan transparansi dalam pelaksanaan riset ini,” katanya.

Mengutip Cleveland Clinic, para peneliti tidak mengetahui secara pasti apakah ganja akan aman jika digunakan untuk kepentingan medis.

Sebab, meskipun para peneliti telah secara ekstensif mempelajari efek dari tetrahydrocannabinol (THC) dan cannabidiol (CBD), yakni zat kimia dalam ganja, namun belum jelas diketahui mengapa respons tubuh setiap manusia terhadap zat-zat kimia yang terkandung dalam ganja selalu berbeda-beda.

Inilah alasannya, mengapa Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat, yakni sebagai lembaga pengatur dan pengawas obat dan makanan, hingga kini tidak menyetujui produk ganja untuk kepentingan medis sebagai obat yang diresepkan. Tentunya, karena belum ada uji klinis yang ketat untuk mendukung bahwa produk ini aman dan efektif untuk berbagai tujuan medis yang digunakan pasien.

Selain itu, yang menjadi pertimbangan, adalah, bahwa tidak ada cukup informasi yang tersedia untuk mengetahui apakah manfaat ganja medis lebih besar daripada risikonya, ketika orang per orang menggunakannya untuk kepentingan medis.*

avatar

Redaksi