ABT: Tidak Berwenang Mengusir Masyarakat
Lingkungan & Krisis Iklim
December 14, 2024
Jon Afrizal/Kota Jambi
Masyarakat yang menduduki areal ABT di Muaro Bulan Desa Pemayungan meminta “tali asih”, pada Oktober 2023. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)
ALAM Bukit Tigapuluh (ABT) sebagai perusahaan pemegang izin konsesi restorasi ekositem, tidak memiliki kewenangan untuk mengusir masyarakat. Demikian dinyatakan General Manager ABT Taufiq Hidayat.
Taufiq Hidayat mengatakan bahwa kebijakan perusahaan adalah mengedepankan pendekatan persuasif kepada masyarakat yang telah terlanjur membuka di dan mengelola lahan dalam kawasan yang saat ini menjadi areal kerja ABT.
“Model pengelolaan hutan ABT berfokus pada perlindungan hutan dengan kesejahteraan manusia sebagai tujuan utama,” katanya, melalui rilis yang diterima Amira, Kamis (12/12).
Satu dari peraturan pemerintah yang menjadi pedoman ABT adalah Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 285 tahun 2024 tentang “Kemitraan Konsesi Hutan dalam Entitas Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan”.
Kebijakan ini mengatur kerjasama pemanfaatan hutan secara produktif antara pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) dengan kelompok masyarakat di dalam dan/atau di sekitar areal kerja PBPH.
Berdasarkan aturan ini, katanya, ABT mengajak masyarakat untuk bekerjasama dalam penanaman agroforestry. Perusahaan akan memberi bantuan kepada masyarakat berupa bibit sesuai dengan aturan pengelolaan hutan negara.
“Ajakan kerjasama ini dilakukan melalui proses persetujuan di awal tanpa paksaan (PADIATAPA/FPIC – Free Prior Inform Consent). Penekananya adalah bahwa kemitraan ini tanpa paksaan kepada masyarakat,” kata Taufiq Hidayat.
Berdasarkan Undang-Undang nomor 41 Tahun 1999 tentang “Kehutanan dan peraturan turunannya”, pengelolaan hutan negara di Indonesia memerlukan izin resmi dari pemerintah, yakni Menteri Kehutanan.
Izin yang dikeluarkan adalah terkait kewajiban yang harus dipatuhi oleh pemegang izin. Seperti, aspek administrasi hingga teknis implementasi kegiatan sesuai izin yang diberikan.
“Penataan batas ini telah menjadi kewajiban ABT sebagai pemegang izin konsesi kepada pemerintah sebagai pemilik kawasan hutan,” kata kepala KPHP Tebo Barat Unit IX, Feri Irawan.
Proses ini dimulai dengan instruksi kerja dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH), dan melakukan pertemuan dengan pemangku kepentingan, termasuk pemerintah daerah, desa, masyarakat, dan aparat terkait.
Penataan batas ABT telah dimulai dengan terbitnya Instruksi Kerja pertama pada 2016. Penataan batas pada blok 1 telah selesai pada 2017. Dengan diterbitkannya berita acara Tata Batas untuk blok 1.
Pondok yang telah ditinggalkan perambah di areal ABT di Muaro Bulan Pemayungan, Oktober 2023. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)
PT ABT mengelola 38.000 hektare hutan di Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi. Dengan tujuan untuk mendukung kesejahteraan masyarakat.
Hutan ini merupakan bagian dari Kawasan Bukit Tigapuluh, zona penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT), serta Daerah Aliran Sungai Batanghari yang penting bagi masyarakat di Provinsi Jambi.
ABT melindungi areal kerjanya berdasarkan kebutuhan habitat satwa; 120 ekor Gajah Sumatra, harimau, orangutan, dan satwa dilindungi lainnya.
Selain itu, kawasan ini adalah rumah bagi indigenous people Talang Mamak dan Suku Anak Dalam (SAD). Juga, masyarakat asli Melayu Tuo yang hidup di desa-desa di sekitar Kawasan.
Nyatanya, aktifitas manusia yang tidak bertanggungjawab dan fenomena alam telah mempersempit ruang hidup satwa liar dan manusia.
Mengutip laporan Eyes on the Forest (EOF), telah terjadi pembukaan lahan secara ilegal di kawasan Bukit Tigapuluh. Bahkan juga pada kawasan hutan negara dengan fungsi sebagai Hutan Produksi.
Aktifitas ilegal ini termasuk, antara lain, perkebunan sawit di dalam kawasan hutan.
Dampak dari berkurangnya tutupan hutan, adalah; peningkatan suhu, banjir, hilangnya beberapa jenis ikan dan tumbuhan obat, hingga interaksi negatif dengan satwa liar.
Sehingga, keberadaan ABT dan entitas dengan misi serupa diperlukan agar kawasan ini tetap terlindungi dan masyarakat tetap mendapatkan manfaat dari hutan.*